JAKARTA, (MO) – Kalau saja jarum jam bisa diputar balik ke posisi 1972, Indonesia akan menemukan kembali momen membanggakan dalam keberadaannya di ASEAN.
Empat dekade lalu, ASEAN yang didirikan pada 8 Agustus 1967, baru terdiri atas lima negara pendiri: Indonesia, Singapura, Malaysia, Thailand dan Filipina. Jumlah ini hanya separuh dari total anggota ASEAN saat ini (2012). Brunei Darussalam, Vietnam, Laos, Myanmar dan Kamboja belum lagi menjadi anggota.
Dengan lima anggota saja, suara, pengaruh dan peran Indonesia begitu dominan. ASEAN yang beranggotakan negara non-komunis, demikian diperhitungkan oleh negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang dan Eropa Barat.
Tidak selamanya harus Presiden Soeharto yang tampil di forum ASEAN. Cukup dengan pejabat setingkat Menteri Luar Negeri Adam Malik saja, para anggota ASEAN lainnya, sudah cukup respek. Menlu yang dijuluki “Si Kancil” itu sangat kredibel di mata para pemimpin ASEAN.
Selain dominan, pengambilan keputusan pun melalui konsesus, lancar. Komunikasi antar para pemimpin dari semua negara anggota relatif bagus dan tentu saja soliditas dan solidaritas pun, cukup kuat. KTT ASEAN yang berlangsung setiap tahun, belum dikenal. Namun ASEAN sangat kokoh dan kekokohan itu menambah wibawa Indonesia sebagai negara terbesar.
Sejatinya persoalan yang dihadapi ASEAN pada era 70 sampai tahun 80-an, bukanlah hal yang mudah. Selain dunia masih dihantui oleh Perang Dingin antara Blok Barat dan Blok Timur pertumbuhan ekonomi dan perdagangan di kawasan ASEAN relatif masih rendah. Kecuali Singapura, di bidang politik, Thailand, Malaysia, Filipina dan Indonesia, semuanya masih menghadapi gangguan subversi dari dalam.
Sementara bagi rakyat Indonesia sudah ada kebanggaan tersendiri. menjadi warga ASEAN. Indonesia seperti memiliki status sosial yang lebih bergengsi di antara sesama anggota. Ini dibuktikan dari sikap sesama anggota ASEAN manakala warga Indonesia berkunjung ke negara-negara tetangga itu.
Sambutan warga Singapura, Malaysia, Thailand dan Filipina terhadap warga Indonesia, hangat dan bersahabat. Praktis tidak ada ejekan ataupun pelecehan yang dilakukan oleh warga dari empat negara anggota ASEAN. Bertandang ke Singapura misalnya, para petugas imigrasi tidak akan menatap wajah orang Indonesia dengan mimik dan bahasa tubuh yang meremehkan.
Bagi Singapura, setiap pendatang dari Indonesia pasti memiliki uang yang banyak untuk berbelanja barang elektronik atau baju dan sepatu berkualitas buatan Eropa. Padahal ketika itu tingkat perekonomian Indonesia masih jauh lebih rendah dibanding di 2012. Nyaris belum pernah terdengar ada warga Indonesia yang memiliki apartemen di Singapura.
Manakala berkunjung ke Manila, ada satu kebanggaan sekaligus bercampur rasa haru. Karena di lampu-lampu merah di kota itu, terdapat begitu banyak pengemis. Hal yang hampir tak terlihat di Jakarta.
Pada era itu, Filipina sudah menjadi negara pengekspor tenaga kerja ke luar negeri. Sementara tenaga kerja Indonesia, masih enggan mencari penghidupan di luar sebuah lowongan pekerjaan di dalam negeri masih cukup banyak tersedia.
Masuk ke hotel bintang lima di Manila, tamu kebanyakan asal Indonesia akan diantar ke kamar oleh dua atau tiga orang staf hotel, bagaikan tamu VIP. Ini sekadar memberi aksentuasi betapa menjadi warga Indonesia di lingkungan ASEAN pada empat dekade lalu sudah seperti warga dunia kelas satu.
Saat itu boleh jadi bukanlah era keemasan Indonesia. Kendati begitu dalam lingkup ASEAN, Indonesia seakan menjadi pusat kekuatan dari lima negara anggota organisasi regional itu.
Masih di era yang membanggakan itu. Thailand yang pernah mengalami kesulitan BBM, pernah minta dibantu pasokan minyak dari Indonesia. Permintaan bantuan, disanggupi. Indonesia yang saat itu menjadi anggota OPEC (Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak) dengan cepat mengulurkan bantuan. Minyak yang dijual ke Thailand dibandrol dengan “harga ASEAN” atau harga yang diberi keringanan.
Buntut positif dari bantuan Indonesia ini dibalas Thailand dengan cara yang lebih mengesankan. Balasan itu terjadi pada 28 Maret 1981, ketika pesawat “Woyla” milik Garuda dibajak oleh teroris lokal kemudian diterbangkan ke bandara Dong Muang, Bangkok. Untuk membebaskan pesawat sipil itu, pemerintah Thailand mengizinkan regu anti teroris Indonesia mendarat di Don Muang.
Pemberian izin tersebut sempat menimbulkan pertanyaan di berbagai negara. Sebab izin seperti itu tidak lazim terjadi di dalam hubungan antar negara. Ada asumsi sebaik apapun hubungan antar dua negara, tapi mengizinkan pasukan asing mendarat dengan alasan mau membebaskan pesawat yang sedang dibajak, tetap merupakan sebuah pelanggaran kedaulatan sebuah negara.
Tapi Thailand yang mau membalas budi, mengabaikan pertanyaan dan kontroversi tersebut. Bagi Thailand itulah makna persahabatan antar sesama anggota ASEAN. Itulah salah satu bentuk penghormatan kepada Indonesia sebagai pemimpin ASEAN.
Keinginan untuk memutar kembali jarum jam itu mengemuka setelah mengikuti perkembangan ASEAN dalam beberapa tahun belakangan ini. Sebab respektasi terhadap Indonesia sepertinya sudah pudar ataupun mengecil. ASEAN yang dibesarkan Indonesia mulai menjadi “asing”. Markas Besar ASEAN yang berkedudukan di Jakarta, seakan berjarak jauh dengan Pejambon ataupun Istana Merdeka. Ini sebuah ironi kalau tidak mau disebut dilema dan tragedi Indonesia.
Yang paling nyata kejadian di KTT Kamboja, November baru lalu. Di KTT ASEAN yang ke-21 tersebut, Kamboja yang baru bergabung dengan ASEAN per 16 Desember 1998, sudah berprilaku seperti anggota senior bahkan bertindak sekehendaknya.
Kamboja misalnya memanipulasi salah satu kesepakatan internal ASEAN. Akibatnya Presiden Filipina Benigno Aquino III melakukan protes. Sejarah ASEAN belum pernah terjadi protes terbuka oleh seorang Presiden. Dan Indonesia sebagai negara pendiri, hanya bisa menyaksikan protes itu tanpa melakukan interupsi apalagi ikut meluruskan.
Padahal yang menjadi persoalan adalah isu yang sangat sensitif yang bisa memecah ASEAN. Protes Aquino itu menyangkut potensi ancaman China terhadap Filipina yang berpangkal pada sengketa kepemilikan pulau oleh dua negara tersebut di Laut China Selatan.
Kamboja memilih lebih membela China, sekalipun harus mengorbankan Filipina, sesama anggota ASEAN. Keberpihakan Kamboja ini merupakan pengingkaran atas semangat ASEAN.
Sikap Kamboja di KTT ASEAN itu tentu tidak akan diprotes Aquino apabila tidak diawali oleh sebuah peristiwa yang memalukan. Para Menlu ASEAN yang bersidang (di Kamboja) – sebagai persiapan untuk KTT, tidak bisa mencapai kesepakatan tentang rancangan deklarasi bersama. Baru kali ini peristiwa serupa terjadi di ASEAN. Lalu tidak dibahasnya masalah Laut China Selatan di KTT ASEAN, juga tidak lepas dari peran tuan rumah. Kamboja menuruti keinginan China.
Perubahan dan pergeseran pengaruh Indonesia dalam ASEAN bagaimanapun patut disayangkan. Sebab ASEAN yang mempunyai mitra dialog tetap dengan Amerika Serikat, Rusia, Uni Eropa, Jepang, China, Korea Selatan dan Australia, sudah berpostur besar. ASEAN sudah memiliki pengaruh. Dan semua itu tidak lepas dari peran Indonesia selama hampir setengah abad.
Hanya saja seperti yang menjadi inti dari pembahasan, ketika ASEAN sudah menjadi besar, peran Indonesia justru mengecil. Sesuatu yang cukup merugikan.(inilah)