Prediksi cuaca bisa salah dan benar.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi memberikan manfaat yang tak sedikit bagi umat manusia. Kemudahan demi kemudahan pun diperoleh berkat inovasi-inovasi mutakhir. Tak terkecuali terkait prediksi cuaca suatu kawasan untuk keesokan hari.
Seperti apakah cuaca besok kini bisa mudah diketahui lewat prakiraan tersebut. Entah hujan, berawan, cerah, mendung, dan lain sebagainya. Tetapi, capaian ini memunculkan pertanyaan besar tentang boleh tidaknya prakiraan tersebut menurut Islam?
Apakah prediksi cuaca itu termasuk kategori ramalan atau praktik pernujuman yang dilarang agama? Lalu, bolehkah meyakini hasil pembacaan cuaca itu?
Tema ini menyedot perhatian sejumlah cendekiawan dan lembaga fatwa Timur Tengah. Di Yordania, Dar al-Ifta atau lembaga fatwa resmi negara monarki itu menyatakan, para pakar meteorologi, klimatologi, ataupun geofisika memprediksi cuaca berdasarkan pergerakan angin dan awan yang menjadi indikator utama hujan.
Kesemua hal itu merupakan bagian dari hukum Allah SWT atas alam semesta. Jadi, ini tidak dikategorikan sebagai ramalan atau intervensi dalam perkara gaib yang mutlak menjadi hak dan otoritas Tuhan semata.
Namun, upaya yang dilakukan manusia itu dianggap sebagai menghukumi suatu hal sesuai dengan premis atau indikator pendahuluan dengan ragam sebab yang ditentukan oleh Sang Khalik.
Oleh karena itu, lembaga ini menggarisbawahi agar ketika informasi tersebut dirilis, harus dibarengi dengan pemahaman ini sebatas prediksi dan tidak boleh memastikan.
Langkah itu akan lebih bijak dan selaras dengan amanat ilmiah. Apa pun perubahan dan hasil yang akan terjadi nantinya adalah hak otoritatif Tuhan.
Bila tetap memaksakan prediksi tersebut sebagai bentuk kepastian, ini tidak boleh lantaran menyalahi akidah. Islam menekankan, kapankah hujan turun hanya Allah SWT yang mengetahui. Apalagi, fakta juga membuktikan berapa banyak ‘ramalan’ cuaca itu meleset.
Pendapat yang sama juga disampaikan Komite Tetap Kajian dan Fatwa Kerajaan Arab Saudi. Komite ini menetapkan, membaca atau memprediksi arah mata angin, topan, atau prakiraan mendung atau hujan dilakukan dengan mengetahui tanda-tanda kebesaran Allah di muka bumi.
Bagi para pakar, pembacaan itu sebatas prakiraan, bukan kepastian menggunakan rangkaian teori ilmiah, eksperimen, lalu dirilis yang berpotensi benar sekaligus salah di saat bersamaan.
Hukumnya persis dengan ketentuan yang berlaku dalam kasus prediksi waktu terjadinya gerhana matari atau bulan. Dan, ini tidak dianggap intervensi terhadap ranah gaib.
Syekh Ibnu Utsaimin menegaskan, prediksi tersebut bukan dianggap bentuk perdukunan atau pernujuman yang diharamkan. Karena, ramalan itu memakai acuan-acuan yang jelas dan bersifat indrawi, yaitu adaptasi cuaca.
Cuaca itu bisa berubah-ubah dan bisa diketahui dengan takaran yang sangat detil, sehingga bisa diprediksi turun hujan atau tidak.
Logika sederhananya, jika melihat ada mendung tebal, angin kencang, bercampur gemuruh atau kilat maka kebanyakan itu adalah pertanda akan turun hujan.
Yang jelas, prakiraan tersebut merujuk pada sesuatu yang indrawi. Bukan ilmu gaib, sekalipun sebagaian masyarakat awam menilai praktik itu tergolong perdukunan.
Guru besar ilmu akidah Fakultas Dakwah dan Teologi Universitas Ummu al-Qura, Makkah, mengatakan, prakiraan tersebut merupakan bagian dari eksperimen manusia yang ditempuh secara kontinu dan rutin dengan pantauan aktif, sehingga bisa memprediksikan pergerakan apa pun dari fenomena alam tersebut, meski sebatas prediksi bukan kepastian.
Sebagai contoh, kalkusi seseorang soal kedatangan kereta berdasarkan jadwal, jarak tempuh, dan indikator lainnya, atau prediksi pakar astronomi perihal peredaran bulan dan matahari.
Ini tidak termasuk memasuki ranah ilmu gaib, tetapi prakiraan atas dasar eksperimen, premis, kajian intensif, dan uji coba berkala, serta tidak bisa mutlak dipastikan kebenarannya. “Jadi, prakiraan itu diperbolehkan,” kata dia.
Syekh Masyhur bin Hasan Alu Salman beranalogi, permisalan prakiraan itu ibarat seseorang melihat suatu objek dari kejauhan menggunakan teropong, kemudian memprediksi pergerakan objek tersebut ke suatu titik dengan acuan jarak dan waktu tempuh.
Jika terbukti benar, apakah ini tergolong ramalan? Jelas tidak sama sekali. Prakiraan cuaca juga demikian karena merujuk pada premis dan indikator pergerakan angin dan lain sebagainya.
Bagaimanapun, ketentuan kapan dan di mana akan turun hujan mutlak hak Allah. “Sesungguhnya Allah hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari kiamat; dan Dia-lah yang menurunkan hujan.” (QS Luqman [31]: 34).(republika.co.id)