Catatan : Ferdi Cullen
Sudah cukup lama saya mempunyai keinginan untuk pulang kampung ke tanah asal leluhur saya berada, karena menurut keyakinan kami Suku Mandaliling menjadi sebuah kelumrahan jika seseorang yang beranjak dewasa wajib untuk melihat tanah leluhurnya sehingga kami tidak lupa daratan dan kami mengetahui siapa kami sebenarnya.
Dengan berbekal rencana yang sangat minim maka pada bulan September lalu saya dengan ibunda, kakak, dan juga kedua Paman dan bibi saya, berangkat menuju ke Tanah Pakantan.
Perjalanan yang ditempuh sudah hampir sama dengan perjalanan dari Medan ke London, huhuhu perjalanannya adalah 14 jam bayangkan saja bagaimana lelah nya menempuh perjalanan 14 jam melalui darat. Dengan melewati 8 kabupaten yang ada di wilayah Sumatera Utara membuat saya memahami arti dari melintasi wilayah Sumatera Utara itu seperti apa medanya.
Di sepanjang perjalanan terbentang sawah dan rumah adat Suku Batak yang sangat mengagumkan, melewati danau terbesar di Indonesia. Kami memulai perjalanan di malam hari pukul 8 malam dan tiba di siang hari yaitu sekitar pukul 12 siang. Dan akhirnya kami tiba di tanah Pakantan, tanah yang selalu disebutkan oleh Nenek dan Kakek saya, akhirnya saya pun sampai juga menginjakan kaki di tanah yang merupakan tanah kelahiran dari leluhur saya ini.
Dikutip dari web Wikipedia dan web Kabupaten Mandailing Natal, Kecamatan Pakantan adalah sebuah Kecamatan yang terletak di hulu sungai Gadis (Batang Gadis), dilereng Gunung Kulabu diwilayah Kabupaten Mandailing Natal paling selatan, berjarak 12 km dari Muara Sipongi / jalan Raya Lintas Sumatera mengarah ke barat. Pakantan terdiri dari Delapan “huta” (desa) yaitu Huta Dolok, Huta Gambir, Huta Lancat, Huta Lombang, Huta Padang, Huta Toras, Huta Julu, dan Silogun. Jadi Pakantan ini adalah ujungnya Sumatera Utara dan setelah kecamatan ini sudah memasuki wilayah Sumatera Barat.
Wilayahnya yang strategis dengan hamparan persawahan yang membentang luas, diapit oleh dua buah sungai kecil: Sijorni dan Mompang, dibelah dua oleh sungai Pahantan dengan kesejukan airnya serta dikelilingi perbukitan bak dipagari/dibentengi, terlihatlah serupa bentuk kuali (wajan) dan beriklim dingin karena ketinggiannya 1200 meter diatas permukaan laut. Pakantan merupakan wilayah adminsitratif Kecamatan yang ditetapkan sebagai Kecamatan kurang lebih 10 tahun yang lalu.
Ketika melihat pertama kali tanah ini, jalan menuju desa saya begitu sempit dan tidak begitu bagus jalanya. Saya jadi kaget ternyata dibandingkan dengan masyarakat Toba masih lebih jauh lagi rupanya tanah leluhur saya ini dan banyak sekali jalan rusak dimana-mana. Tidak hanya jalan begitu juga dengan kondisi listrik yang selalu tidak stabil layaknya listrik di Sumatera Utara ini. Namun yang membuat saya terkagum adalah pemandanganya yang memang luar biasa. Hampir seimbang lah dengan pemandangan Sumatera Barat, bahkan kabarnya wilayah Pakantan ini merupakan irisan dari wilayah Sumatera Barat.
Ada beberapa yang menyebutkan bahwa Pakantan ini adalah sebuah kuali Sawah dan ternyata memang bener kalau dilihat dari perbukitan yang mengelilingi nya dengan sawah berada di bawahnya bagaikan kuali yang berisi sebuah makanan yang siap disantap.
Sedikit cerita mengenai Gunung Kulabu yang saya pikir layaknya gunung besar ternyata arti Gunung Kulabu adalah perbukitan yang mengelilingi sawah ini yang membentuk pegunungan yang ditutupi dengan awan sehingga menjadi kelabu (Kulabu) maka disebutkan Gunung ini sebagai Gunung Kulabu. Menurut warga sekitar Pakantan Gunung Kulabu ini dulunya adalah tempat para penyihir Kerajaan Mandala Holing mengembangkan ilmu mereka, wah cukup seram juga ya dengernya namun itu hanya legenda, namun memang suasana sakral dan mistis menambah keindahan dari tempat ini.
Selain sawah dan Gunung Kulabu nya ada sebuah cerita menarik tentang masuknya agama Kristen di tanah Sumatera dan di Pakantan terdapat gereja tertua di Sumatera Utara. Jadi ternyata pengaruh Belanda dengan agama Kristen pertama kali hadir di wilayah ini bahkan sebelum adanya umat Kristiani di Toba. Akan tetapi bentuk geeja lama sudah tidak ada lagi dan diganti dengan gereja baru, sayang sekali ya apabila dilestarikan gereja asli buatan masyarakat Belanda itu pasti menarik untuk menjadi potensi pariwisata.
Berikutnya adalah kopi, sekedar informasi Pakantan merupakan wilayah pertama di Mandaling yang menanam kan kopi yang nantinya menjadi ciri khas kopi Mandailing. Pakantan terkenal dengan hasil kopinya. Pada zaman dahulu perkebunan kopi, Kopi Pakantan tidak saja beredar di daerah Tapanuli Selatan pada masa itu tapi sudah sampai menembus ke Eropa.Dengan kejayaan perkebunan kopi itu pengusaha Pakantan mampu membangun ekonomi Pakantan, distribusi hasil kopi Pakantan pun mampu menembus keluar Pakantan (Eropa).
Kedatangan saya ke Pakantan adalah dalam rangka berziarah ke makam nenek dan kakek buyut saya, pada pagi hari saya melihat sebuah perkampungan yang begitu asri layaknya suasana pedesaan pada umumnya dan rumah-rumah di sekitar sini banyak yang merupakan rumah panggung atau rumah yang bertingkat. Rumah penduduk di Mandailing berbentuk rumah panggung dengan menggunakan banyak tiang. Tiang-tiang bangunan yang terbuat dari kayu biasanya ditegakkan di atas batu ceper berukuran relatif besar.
Penggunaan batu sebagai landasan tiang-tiang bangunan merupakan bagian dari teknik arsitektuk tradisional yang digunakan oleh orang Mandailing untuk membuat bangunan yang tahan gempa. Kalau misalnya terjadi gempa, goncangannya yang kuat tidak mudah merubuhkan rumah ini karena tiang-tiangnya tidak langsung tercecah atau terbenam ke tanah. Batu-batu ceper yang digunakan sebagai landasan tiang-tiang bangunan sampai batas tertentu dapat meredam sebagian goncangan gempa dan menyelamatkan bangunan dari keruntuhan yang tiba-tiba.
Rumah atau bagas dan rumah besar artinya adalah Bagas Godang. Sekilas budaya pakantan begitu menarik di mata saya ada rumah yang dinyatakan sebagai Bagas Godang. Bagas godang Mandailing merupakan aritektur yang khas bagi masyarakat Mandailing. Bagas godang berfungsi sebagai tempat tinggal raja sebagai pemimpin huta (desa) tersebut. Secara adat, bagas godang melambangkan bona bulu yang berarti bahwa huta (desa) tersebut telah memiliki satu perangkat adat yang lengkap. Selain tempat penyelenggaraan upacara adat, bagas godang juga berfungsi sebagai tempat perlindungan bagi anggota masyarakat yang dijamin keamananya oleh raja.
Bagas Godang yang saya temui ini adalah di wilayah Huta Dolok di atas Bukit,rumah tersebut terdapat di atas Bukit dan ketika menuju ke situ agak sedikit sulit karena harus berjalan mendaki. Namun setelah tiba di atas kami pun dipersilahkan masuk ke Bagas Godang yang dulunya merupakan tempat peristirahatan Raja. Walaupun tidak sebesar Istana Maimun tapi bangunanya cukup unik loh dengan kayu hitamnya yang memang sangat kuat.
Struktur bangunanya adalah empat persegi panjang memakai atap seperti pedati yang disebut tarup silengkung dolok. Rumah adat tinggi,yang terbuka di bagian bawah, yang dibuat dari kayu dan atap ijuk dengan tiang-tiang besar yang berjumlah ganjil sebagai mana jumlah anak tangganya. Bagas godang mempunyai pintu depan lebar yang disebut pintu gajah marngaur karena bunyinya yang keras. Jika di buka seperti gajah yang mengaum. Di atas pintu utama Bagas godang ada ornament matahari yang sedang bersinar.
Menurut orang Mandailing, simbol tersebut merupakan sumber kekuatan, penerangan, sumber rezeki, dan sumber kehidupan. Atap di atas tangga bentuk segitiga dan hiasan ornamen yang mempunyai arti yang dibaca oleh orang arif. Dari atas Huta Dolok ini kami bisa melihat ke bawah seluruh desa Pakantan bisa terlihat dan memang pemandangan nya bagus banget.
Setelah menelusuri Bagas Godang kami pun berkunjung ke Bagas Godang yang lain di wilayah Huta Lombang dan menariknya di sini lengkap dengan Sopo Godang. Sopo Godang adalah sebuah bangunan yang bentuknya empat persegi panjang menyerupai bentuk Bagas Godang tetapi lebih kecil, terbuka dan tidak memiliki dinding, sedangkan tingginya lebih rendah dari bagas godang, terletak di depan bagas godang berbatasan dengan halaman .
Fungsi sopo godang pada etnis Mandailing adalah tempat musyawarah adat, balai sidang keadilan, tempat pertunjukan kesenian ,tempat belajar adat, hukum, seni, kerajinan tangan serta ilmu lainnya, tempat bermalam musyafir dan lain-lain. Boleh dikatakan sopo godang ini adalah aula serba guna yang menampung segala kegiatan kemasyarakatan.
Dan menariknya ada arsitektur Gambar yang di wilayah Pakantan adalah satu-satunya Bagas Gambar yang masih ada sampai saat ini di Mandailing. Mengapa disebut Bagas Gambar karena dindingnya bertuliskan sebuah gambar, mirip mirip lah dengnan hieroglif mesir namun saya tidak mendapat informasi lengkap apa arti dari gambar yang menarik tersebut.
Sayangnya hanya 2 malam saja saya berada di desa yang sangat Indah ini benar-benar sangat bahagia akhirnya bisa menginjakkan kaki di tanah leluhur dan belajar bagaimana masyarakat Mandailing hidup dan bersosialisasi. Namun sangat disayangkan keindahan seperti ini masih banyak orang yang belum mengetahui nya dikarenakan pertama sulitnya akses infrastruktur ke desa ini, bayangkan saja jalan menuju desa ini begitu sulit banyak jalan yang rusak dan tidak kunjung diperbaiki. Kedua tempat ini juga sangat subur selain kopi, sawah di wilayah ini sangat potensial sekali, mudah-mudahan melalui tulisan ini semakin banyak masyarakat yang akan mengenal Pakantan dan saya yakin akan menjadi potensi Pariwisata yang tidak kalah indahnya di Sumatera Utara. (https://ferdicullen.com)