Catatan : ASKOLANI NASUTION
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) adalah nilai pasar semua barang dan jasa suatu kawasan dalam periode tertentu, baik daerah, nasional, maupun internasional.
Jika menggunakan “Pendekatan Pengeluaran”, maka angka PDRB dihitung atas dasar rata-rata konsumsi rumah tangga, ditambah investasi sektor swasta, plus pengeluaran pemerintah yang melibatkan luar negeri (ekspor-impor). Ah, itu terlalu teknis bahasanya.
Mari melihatnya secara sederhana dari sudut pandang publik.
Begini, semakin tinggi pendapatan atau pengeluaran sebuah rumah tangga, semakin tinggi juga angka PDRB. Semakin tinggi investasi sektor swasta, juga semakin tinggi angka PDRB. Plus belanja dan pendapatan pemerintah dari sektor ekspor dan impor. Dalam ekonomi makro, semuanya bersinergi dengan laju ekonomi, jumlah uang yang beredar, atau inflasi di suatu kawasan dalam periode tertentu.
Tingginya pengeluaran sebuah rumah tangga berkaitan dengan daya beli. Sekalipun kebutuhan rumah tangga tinggi, kalau daya beli rendah, tidak terjadi transaksi. Konon lagi untuk tabungan dan investasi, untuk kebutuhan pokok saja belum tentu mencukupi. Misalnya begitu.
Daya beli dipengaruhi berbagai hal, mulai dari laju pertumbuhan ekonomi nasional dan regional, angka inflasi, kelancaran barang sektor ril, tingkat konsumtif, dan tentu saja tingkat pendapatan keluarga.
Kalau angka inflasi tinggi, sekalipun laju pertumbuhan ekonomi besar, maka daya beli tetap rendah. Kita misalnya, pemilik uang, tidak berdaya menghadapi berbagai tuntutan kebutuhan, saat uang yang kita miliki juga tidak berdaya.
Misalnya, tiga puluh tahun yang lalu, dengan uang 500 perak kita bisa makan di Pasar Bawah Panyabungan. Sekarang untuk kebutuhan yang sama, Anda butuh 30 kali lipat dari nominal itu. Artinya, jumlah uang yang sama, berbeda daya belinya antara satu masa dengan masa yang lain, dan antara satu kawasan dengan kawasan yang lain. Itu yang mempengaruhi pendapatan dan pengeluaran rumah tangga.
* * *
PDRB Indonesia berada pada peringkat 115. Malaysia ada di peringkat 63, Singapura 21, Thailand 92. Artinya, kita memang negara super miskin, meskipun sudah lama merdeka. Jangan tanya mengapa, karena orang seperti kita tidak akan didengar pendapatnya.
Mandailing Natal? Ada di peringkat 250 Nasional. Artinya, dari Indonesia yang telah miskin, Mandailing Natal lebih miskin lagi di banding daerah lainnya. Sekalipun bukan yang termiskin, angka 250 itu menyedihkan benar.
Tapi kita mudah menjustifikasi ketololan sendiri dengan menyebut bahwa pertumbuhan ekonomi daerah kita lebih tinggi dibanding laju pertumbuhan nasional. Padahal pertumbuhan tidak serta merta berbanding lurus dengan kesejahteraan rakyat. Itu tergantung siapa yang menikmati pertumbuhan itu. Misalnya, tingginya PDRB sektor pertanian, perkebunan, dan kelautan, yang menikmatinya bukanlah petani dan nelayan kecil. Tetapi, pemodal besar di balik puluhan perkebunan kelapa sawit yang ada di kawasan ini, misalnya. Petani dan nelayan, sekalipun pertumbuhan ekonomi daerah dan PDRB di atas 6 persen, tetap miskin.
Selain itu, inflasi membuat semua kelompok ekonomi menjadi korban. Terutama kelompok miskin. Sebab, mereka hanya kelompok konsumen, nyaris tanpa produksi apa pun. Orang miskin hanya memproduksi tenaga tubuhnya saja dan diimbali dengan upah. Tragisnya, kenaikan upah tak pernah melampaui laju pertumbuhan ekonomi, baik daerah maupun nasional.
Jangan terkecoh dengan UMR. Sekalipun tingkat upah ada yang mengacu kepada UMR, yakinlah, tidak akan pernah mampu mengejar tingginya angka inflasi dan rendahnya daya beli. Karena itu, kemiskinan terbesar ada di kelompok buruh. Kalau di daerah kabupaten, itu identik dengan buruh tani dan nelayan, pekerja bangunan, dan lain-lain.
PDRB menjadi acuan untuk menggambarkan kemajuan suatu kawasan. Misalnya, laju PDRB Mandailing Natal terakhir sebutlah 6,20 persen. Itu jauh di bawah capaian PDRB Tahun 2014 “Menurut Lapangan Usaha” yang angkanya 6,49 persen.
Penurunan angka yang signifikan itu sepatutnya dijelaskan kausalitasnya, karena itu hak publik. Sekurang-kurangnya menjadi kewajiban DPRD untuk meminta penjelasan dari eksekutif. Gunanya untuk menjadi catatan bersama dalam memahami sisi pertumbuhan mana yang harus dijaga oleh pemerintah daerah, baik melalui kebijakan anggaran DPRD, maupun strategi lainnya dari pihak eksekutif. Misalnya, apakah penurunan PDRB dibandingkan tahun 2014 karena rendahnya pengeluaran rata-rata rumah tangga atau menurunnya investasi sektor swasta.
Kalau penurunun pengeluaran rumah tangga, stimulus apa yang harus diberikan atau subsidi bentuk apa yang relevan, dan seterusnya. Hal yang sama juga kalau penyebabnya karena menurunnya jumlah investasi. Bukan mendiamkan begitu saja. Angka-angka yang termaktub dalam BPS bukan kumpulan data tok yang tidak memiliki relevansi dengan hajat hidup kita sebagai rakyat. Angka adalah deskripsi yang lengkap tentang kondisi sosial kita.
Selain itu, deskripsi item-item lain dalam PDRB Mandailing Natal tampak amat tidak sebanding dengan pertumbuhan sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan. Tiga sektor tradisional ini berada pada capaian 43,98 persen, capaian tertinggi.
Ada beberapa entri yang menjadi catatan atas deskripsi itu. Pertama, besarnya angka capaian tiga sektor tradisional itu menunjukkan bahwa sektor lain tidak tumbuh. Misalnya, sektor-sektor yang menyangkut investasi seperti pertambangan, industri pengolahan, pengadaan listrik dan gas, transportasi, jasa keuangan, perdagangan besar, real estate, dan lain-lain. Lemahnya pertumbuhan sektor itu mendorong minimnya pertumbuhan tenaga kerja. Itu keniscayaan.
Pertumbuhan tenaga kerja yang ada, hanya terserap di sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan. Tragisnya itu hanya sektor tradisional yang amat rentan dan berbahaya. Sebab, luas lahan kita amat terbatas. Perluasan lahan pertanian baru tidak berbanding lurus dengan pertambahan rumah tangga baru.
Belum lagi membengkaknya lulusan universitas setiap tahun, dan tragisnya bukan berlatar belakang ilmu pertanian. Lebih lima ribu lulusan SMA/SMK yang lulus setiap tahun. Empat tahun kemudian, minimal 20 persen dari mereka akan menjadi lulusan universitas dan pencari kerja baru. Mereka yang akan bersaing dengan lulusan SMA/SMK yang karena tidak melanjutkan ke perguruan tinggi, juga menjadi tumpukan calon pencari kerja. Dan ketika yang berkembang hanya sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan, itu mendorong keputusasaan sosial (hopless) dan menjadi ancaman serius.
Kedua, itu tadi, sekalipun besar angka pertumbuhan sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan; angka pertumbuhan sebenarnya justru pada sektor kehutanan yang dikuasai perusahaan-perusahaan perkebunan pemodal besar. Bukan perusahan perkebunan rakyat sebagaimana idealnya. Akibatnya, pertumbuhan itu tidak signifikan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Karena orang miskin tidak bermain di sektor perkebunan. Mereka hanya menggarap lahan pertanian sawah dan palawija. Dan merekalah kelompok terbesar rakyat Mandailing Natal, selain nelayan tradisional.
Pertumbuan PDRB sektor tradisional itu berada pada angka 6 persen lebih. Itu amat tidak signifikan jika dibandingkan dengan angka inflasi di atas 5 persen. Seorang petani sawah misalnya, dengan luas lahan seperenam hektar—dan itu rata-rata luas lahan petani di pedesaan—dengan dua kali panen pertahun, tidak akan mampu menyalip laju kenaikan harga barang. Naiknya harga barang ditingkat konsumen, minimal tujuh persen karena dampak inflasi dan lemahnya sektor ril. Itu bencana tahunan yang selalu memukul pengeluaran rumah tangga.
Fakta-fakta itu mendorong merebaknya angka kemiskinan sebesar 10,98 persen di Mandailing Natal, atau setara dengan 47.670 jiwa. Itu bukan angka yang kecil. Untuk kampung di Mandailing Natal yang rata-rata 250 KK misalnya, itu mencakup jumlah desa yang signifikan.
Itu juga baru dengan acuan skala Garis kemiskinan perkapita perbulan sebesar Rp. 304.669,- yang ditetapkan pemerintah pusat. Rilnya, dalam kampung yang rata-rata 250 KK misalnya, rata-rata rumah tangga miskin sebesar 100 KK. Merekalah yang rutin menerima raskin.
Hitungnya pakai hati saja. Coba sesekali jalan menyusuri rumah-rumah penduduk di desa sekitar kita. Lihat tingkat kelayakan rumah, pekerjaan kepala rumah tangga, jumlah beban tanggungan, dan kualitas hidup.
Atau kita mengacu kepada data BPJS saja. Ada 26,1 persen penduduk Mandailing Natal yang pengeluaran perkapita perbulannya di bawah 500 ribu rupiah. Angka Harapan Hidup hanya 61,98 persen.
Atau duduklah di kedai sesekali, dengarkan para petani mengeluh dengan harga karet yang hanya Rp. 8.000 perkilo, Timun 800 rupiah perkilo, kacang panjang 1.500 rupiah seikat, dan lain-lain. Dan coba kalkulasi dengan kebutuhan hidup sebuah keluarga, bagaimana menjalaninya, dan seterusnya.
Dan kita dengan gampang menjustifikasi bahwa rendahnya harga-harga itu karena pasaran dunia, surplus produksi tani Vietnam, dan lain-lain. Begitu cara kita menghalalkan pembiaran yang kita lakukan terhadap orang miskin.
Tentu saja daerah tak memiliki wewenang untuk mengatur mekanisme harga pasar. Tapi daerah bisa melalukan berbagai cara, misalnya dengan subsidi, proteksi pertanian, diversifikasi tanaman pangan, penguatan kawasan komoditas pertanian, percepatan pembangunan jalan sentra produksi, dan lain-lain. Banyak cara-cara kreatif untuk memberdayakan kelompok miskin ini.
Implementasi kebijakan ekonomi daerah juga mempengaruhi laju pertumbuhan PDRB. Karena itu, setiap tahun jabaran PDRB idealnya digunakan untuk menguji efektivitas program-program eknomi yang digelontorkan daerah, tata kelola ekonomi, visioneritas APBD terhadap pertumbuhan, Indeks Pembangunan Manusia, dan tingkat pertumbuhan ekonomi.
PDRB juga menjadi alat uji efektivitas pelayanan publik untuk pertumbuhan ekonomi. Misalnya, lama pengurusan sertifikat tanah, persepsi publik terhadap pemda dalam menindaklanjuti permasalahan-permasalahan pembangunan ekonomi, persepsi publik terhadap dukungan pemda bagi pelaku usaha, persepsi tentang hambatan biaya pungutan dan retribusi, kualitas infrastruktur jalan, rata-rata lama perbaikan atas kerusakan infrastruktur jalan, dan lain-lain.
Atau cara-cara kreatif apa yang harus kita lakukan untuk menekan meningkatnya gaya konsumtif masyarakat kita? Jadi, saya pikir bukan soal membangun apa atau secepat apa, tapi pemajuan-pemajuan sektor mana yang sungguh-sungguh akan berdampak bagi kesejahteraan orang miskin. *** (Askolani Nasution adalah sutradara film, tinggal di Madina)
Deskripsi dan analisis yang mendekati sempurna. Masalahnya apakah substansi ini pernah jadi perhatian Tuan-tuan dan Puan-Puan di DPRD dan Pejabat Teras Pemkab Madina?