Oleh: Alfi Ummuarifah, S.Pd
Guru dan Pegiat Literasi Islam di Medan
Sudah terlambat. Begitulah kiranya pernyataan yang tepat dinyatakan saat ini. Hanya nama yang berubah. Namun hasilnya tetap sama. Mulai dari PSBB, PPKM terbatas, hingga PPKM Darurat. Semata-mata hanya pergantian nama. Negara tetap dalam keadaan gawat. Belum nampak gambaran penurunan kasus Covid-19 beberapa bulan ke depan.
Pemerintah melanjutkan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) mikro untuk daerah-daerah di luar pulau Jawa.
Menteri Koordinator Bidang Ekonomi Airlangga Hartarto mengatakan, perpanjangan PPKM mikro untuk luar Pulau Jawa ini dilakukan dari 6 Juli 2021 hingga 20 Juli 2021 (kontan.co.id, 7/7/21)
Terkait PPKM di luar Jawa, nanti diatur perpanjangannya selaras dengan PPKM darurat di Jawa-Bali.
Penetapan strategi PPKM itu memang sudah terlambat. Saat seluruh wilayah Indonesia di daerah sudah tak jelas warna zonanya. Saat kini sudah terlanjur bercampurnya orang yang terpapar dan yang belum.
Begitu juga saat OTG (Orang Tanpa Gejala) semakin banyak tak terdeteksi. Saat mutasi virus sudah terjadi entah berapa varian. Semuanya semakin memberikan keraguan akan berubahnya keadaan negeri ini. Perubahan kesehatan masyarakatnya dan keadaan ekonominya.
Seperti dua parameter yang bertolak belakang. Saat grafik angka paparan meningkat. Saat itulah grafik ekonomi semakin terjun bebas.
Dugaan ramalan sistem ekonomi yang kolaps semakin terlihat. Dugaan peningkatan kasus kematian harian pun semakin nyata terwujud di depan mata. Semua pihak menjadi hilang arah. Masyarakat panik. Hampir putus asa. Kriminal seakan meningkat. Entah kapan membaik. Jelasnya masyarakat hampir putus asa.
Inilah dampak dari keterlambatan penanganan di awal. Andai saat virus ini baru lahir sudah ditangani serius tanpa memperhatikan kepentingan para kapital. Mungkin kejadiannya tak seperti ini. Tentu lebih mudah memblokir perkembangan dan pembelahan makhluk kecil ini.
Namun, pemerintah dan masyarakat memang tak serius di awal. Saat kini angka kematian sudah mencapai 300 orang lebih per hari. Barulah langkah serius itu ditempuh. Padahal kini sudah tak ada lagi zona yang hijau. Hilir mudik orang masih berlaku di sini.
Parahnya, Pemerintah justru memasukkan TKA dari luar negeri secara massif. Keberpihakan pada korporat masih terjadi. Penularan semakin tak terkendali.
Jadilah nasi sudah menjadi bubur. Tak akan bisa menjadi nasi lagi. Terlambat sudah.
Lalu bagaimanakah mengatasi hal yang sudah terlanjur ini?
Tak ada jalan lain. Harus mencontoh peradaban Islam saat ada pandemi. Tinggal satu cara saja. Lockdown total. Urusan makan dan kebutuhan masyarakat menjadi sepenuhnya tanggung jawab negara.
Tak bisa dipungkiri. Rupanya jelas ada yang salah dari penanganan pandemi selama ini. Pemerintah tak benar-benar serius mengatasinya tepat waktu. Jika sudah terlambat begini, entah dari mana harus memulai.
Setidaknya ada tiga kesalahan besar yang sudah terjadi dalam mengatasi pandemi selama ini. Pertama, PPKM, PSBB, dan sejenisnya hanyalah langkah panik saja. Saat semua sudah terlambat. Seharusnya lockdown total untuk daerah yg zona merah.
Dalam hal ini pemetaan wilayah yang serius dan rapih sangat dibutuhkan. Pendataan di negeri ini memang acak adut, amburadul dan berantakan. Penyisiran, screening test masyarakat secara gratis dan ramah mesti dilakukan. Bukan ditakuti dan dibuli.
Lalu setelah dipetakan kemudian dieksekusi. Mana wilayah yang harus lockdown dan mana yang tidak. Wilayah yang masih hijau harus tetap beroperasi menjalankan denyut kehidupan. Agar perekonomian tidak kolaps. Orang yang sakit disatukan dalam satu wilayah. Orang tang sehat boleh beraktivitas setelah dites secara gratis.
Langkah kedua pemerintah harus menanggung semua kebutuhan pokok masyarakat selama dalam penguncian itu. Sandang, pangan, papan, kebutuhan obat, fasilitas kesehatan semua gratis diberikan. Sebab saat itu masyarakat tidak bisa bekerja. Mereka diisolasi, dirawat dan diobati hingga sembuh. Setelah sembuh dites kembali secara gratis dan dibolehkan kembali beraktivitas di zona yang masih hijau.
Pemetaan, penguncian, perawatan itu terus berlangsung hingga semua masyarakat sembuh. Dibutuhkan dana APBN yang sangat banyak tentunya. Inilah masalahnya. Saat ini negara sedang defisit keadaannya. Gara-gara sistem ekonomi kapitalisme yang diterapkan selama ini.
Andai sistem ekonominya berbasis islam tentu sangat mudah mengatasi problematika ini. Sebab pos pemasukannya banyak sekali, karena diurus secara mandiri.
Fasilitas kesehatan juga tak boleh dilupakan. Kebutuhan oksigen, baju hazmat, obat, ruang isolasi steril, obat, dan fasilitas lain seharusnya disiapkan lebih banyak. Ini juga membutuhkan biaya anggaran yang banyak. Jika anggaran negara defisit dampaknya seperti sekarang ini. Nakes banyak tumbang karena kelelahan. Kompensasi pun belum tentu diterima, sebab dana terbatas.
Inilah akibat dari sistem ekonomi kapitalis yang pro korporat itu. Sistem yang telah mengacaukan semua. Menjadi puncak masalah bagi masalah yang lain.
Ketiga, saat keadaan sudah seperti ini. Masih ada saja kebijakan yang pro korporat. Misal, kartu prakerja yang diperuntukkan untuk kapital. Korupsi dana Bansos yang menghebohkan. Entah bagaimana kini progres penyelesaiannya. Tenggelam, dan terbawa derasnya masalah multidimensi di negeri ini.
Semua pihak bingung saat ini. Para Nakes hampir putus asa. Fasilitas pengaman untuk keselamatan mereka pun kini menipis. Jika mereka sudah tumbang, siapa lagi yang berada di garda terdepan.
Jika dalam satu hari angka kematian mencapai 300 orang (kompas.com, 6/7/21).Maka dalam satu bulan terakumulasi 9 ribu orang yang wafat karena Covid-19 ini. Mau berapa lagi nyawa yang akan melayang?.
Sesungguhnya negeri sudah darurat keadaannya. Meskipun terlambat, tak salah bertaubat. Bermuhasabah untuk kembali pada aturan islam. Bukan pada sub sistem dan teknis pengelolaan wabahnya saja. Namun juga pada sistem induknya yang cocok (kompatibel).
Tak ada lagi waktu. Kita berpacu dengan waktu. Jangan tunggu kematian meningkat tak menentu. Mari bangkit, kita selesaikan pandemi sesuai yang pencipta mau. Sebab pandemi dan virus itu berasal darinya. Maka dalam menyelesaikannya kita harus kembali padaNya. Wallahu a’lam bish-showaab.