Oleh: Muhammad Ludfan Nasution*
Sulit menemukan pemahaman yang relatif seragam dalam hal budaya lokal. Lebih-lebih dalam hal kepemimpinan yang bersifat tradisional. Apalagi untuk membaca dan memahami sebuah prosesi adat yang belum “taradat”.
Perpaduan unsur adat dengan nilai budaya yang asing atau baru dengan meninggalkan nilai-nilai adat itu sendiri dapat dipahami sebagai akulturasi. Dan, karena pemangku adat yang melakukan peng-kawin-an itu, akulturasi ini bisa disebut bersifat elitis.
Yang lebih menarik, dan ternyata ini terkait suasana budaya yang menukik karena boleh jadi merupakan terobosan untuk menguatkan eksistensi yang sudah lama terancam punah, akulturasi itu menyangkut transformasi kepemimpinan.
Hal yang dimaknai sebagai budaya tradisional bertemu dan berpadu dengan politik kontemporer (kekinian). Mungkinkah prosesi itu terjadi secara harmonis dan menghasilkan sinergi yang kemudian menjadi satu poin dari standar baru kemajuan Madina, Mandailing Natal?
Penyerahan Tanpa Syarat
Setidaknya, sejak kemerdekaan Indonesia pada 1945, harajaon yang ada di wilayah adat Mandailing menyerahkan kedaulatan politiknya kepada NKRI dengan tanpa syarat apa-apa.
Tidak ada perjanjian tertentu, apalagi yang sifatnya khusus atau istimewa. Dengan begitu, perlahan namun pasti, opuk godang berangsur kosong dan tobat godang pun lama kelamaan kering. Walau bagas godang dan keluarga harajaon tetap berwibawa, sedikit demi sedikit makin mengalami pelemahan.
Seiring dengan surutnya pamor dan pengaruhnya, harajaon makin kesepian dan terancam keretakan, pergesekan dan konflik internal yang tak terhindarkan bahkan ada yang berlarut-larut hingga hari ini.
Tidak ada keterangan historis yang menyebut bahwa eksistensi harajaon, yang kemudian lebih diposisikan dan dicitrakan sebagai pemangku adat, tidak dianggap sebagai pihak yang menolak, melepas atau menahan “rangkulan” NKRI. Yang tercatat sebagai pemberontak adalah tokoh-tokoh yang muncul dalam transisi “state” dan transisi ideologi itu dan tidak berkaitan dengan harajaon.
Memang, sekalipun melemah secara ekonomi dan politik, entitas harajaon itu terus bertahan, dan tetap menjadi “uluan” dalam sidang-sidang adat “siluluton” dan “siriaon” di “huta”, terutama di kampung-kampung yang tergolong tua. Bahkan dalam rapat-rapat desa di beberapa huta yang sudah berubah kemasan administratif jadi dusun, desa dan kelurahan, posisi harajaon yang sudah berubah jadi informal itu masih diakui dan diperlakukan khusus dalam acara-acara formal.
Lebih dari itu, suka tidak suka, diakui atau tidak, peran sentral harajaon itu menguat ketika muncul konflik horizontal kemasyarakatan dan problem-problem huta yang tambah hari semakin kompleks.
Seiring dengan munculnya kesadaran baru yang, menurut saya, tercetus dari perspektif Barat (modernisme), menguat pengakuan terhadap pemangku adat yang masih menjaga dan melestarikan serangkaian tradisi luhur dan nilai-nilai keulayatan lainnya.
Nah, dalam perspektif modern itu, tradisi-tradisi agung itu seolah mendapat apresiasi dengan penyambutan atau cap “kearifan tradisional”. Dimana istilah kearifan tradisonal itu juga bergandengan dengan istilah local knowledge dan local genius. Malah sejumlah Ormas atau lembaga swadaya masyarakat (LSM) memberi perhatian dan advokasi kepada masyarakat adat, termasuk yang dilakukan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (Aman).
Ya, negara kepulauan Republik Indonesia tetap mengakui tradisionalitas yang melekat pada bangsanya, termasuk bangsa Mandailing, sekalipun perlakuannya tak seutuhnya dan tak pula sepenuhnya seperti keistimewaan Yogyakarta dan Nanggroe Aceh Darussalam (d/h: Daerah Istimewa Aceh). Negara mengakui keberadaan kearifan lokal dalam wujud masyarakat adat, hak ulayat dan tanah ulayat.
Sentralisasi-Desentralisasi
Dalam perjalanannya, setidaknya politik sentralisasi NKRI ke dan dari Jakarta (pusat pemerintahan) sudah berlangsung dua kali reformasi.
Pertama, penguatan sentralisasi itu sendiri, hingga ke tataran kurikulum di bidang pendidikan. Motto Bhinneka Tunggal Ika, merangkai perbedaan dalam satu kesatuan.
Kedua, pelonggaran sentralisasi atau desentralisasi dengan menitikberakan otonomi darah pada kabupaten/kota.
Desentralisasi sendiri dilaksanakan dalam dua bentuk, yakni: 1) pemekaran daerah tingkat I dan tingkat dua yang memunculkan beberapa provinsi baru dan kabupaten/kota baru. 2) pemilihan kepala daerah (Pilkada).
Kedua bentuk desentralisasi dalam wadah NKRI menjadi satu celah bagi munculnya unsur-unsur kedaerahan secara terbuka, terarah dan terbatas. Ada kesan kuat bahwa NKRI mengembalikan sebagian kedaulatan masyarakat adat yang berbentuk harajaon itu.
Bagi harajaon yang ada di Kabupaten Tapanuli Selatan pada 1999, seperti Mandailing, akhirnya punya argumentasi cukup untuk membentuk satu daerah otonom dan terpisah dari administrasi pemerintahan Kabupaten Tapanuli Selatan.
Selain karena rentang kendali yang paling jauh dari Ibukota Padangsidempuan, tentu alasan sejarah dan eksistensi etnis/bangsa di dataran Mandailing dan pesisir Natal menjadi faktor penentu utama. Fakta ini yang sering kabur karena memang ada pihak-pihak yang membuatnya jadi samar. Ada beberapa indikasi yang menjelaskan dugaan (hipotesa) ini. Perlu ruang wacana khusus untuk maksud ini. Ada banyak narasi yang bisa menjadi bukti kultural.
Artinya, dalam pemekaran dan munculnya kabupaten baru bernama Mandailing Natal itu melalui Undang-undang No. 12 Tahun 1998, peran tokoh-tokoh adat yang berasal dari harajaon Mandailing menjadi faktor kunci. Tak terbantahkan, lahirnya kabupaten berakronim “Madina” itu merujuk pada sejarah etnisnya, yakni: Mandailing. Bukan pada ilusi kekuasaan yang lahir di luar harajaon!
Memang, tak dipungkiri, peran dan keterlibatan tokoh dari luar harajaon juga sangat jelas dalam proses dan perjuangan pemekaran itu. Namun terbentuknya Kabupaten Mandailing Natal menjadi satu fase tersendiri dalam proses akulturasi budaya politik Mandailing.
Bahwa di samping mengalami penguatan diri sebagai satu etnis (harajaon), Mandailing juga mengalami pelemahan karena pemekaran itu 1) tidak serta merta menjadi satu tahta otonom seperti dulu dan 2) struktur “tahta” dalam kerangka pemekaran itu tidak sebangun dengan struktur harajaon Mandailing.
Tapi, bagaimanapun, prosesi akulturasi itu terus berlangsung. Sistem nilai budaya Mandailing yang masih eksis berpadu dengan kebijakan otonomi daerah dalam kerangka NKRI.
Celah Akulturasi: Pilkada
Yang terjadi kemudian dalam strategi desentralisasi itu, warna-warni demokrasi mendominasi percaturan pemekaran. Daerah Otonomi Baru (DOB) bernama Kabupaten Mandailing Natal pun memasuki agenda PIlkada pertamanya sesaat setelah masa peralihan atau persiapan pembentukan pemerintahan kabupaten pada tahun 1999.
Pertanyaannya: Apakah representasi harajaon muncul dalam celah budaya bertitel “Pilkada” yang belum bersifat langsung dan belum secara serentak itu?
Di titik ini, proses kulturasi dan akulturasi seolah terhenti. Eksistensi harajaon yang makin lemah nampak tidak berkutik, bahkan sama sekali jauh dari papan catur Pilkada. Yang muncul adalah tokoh-tokoh yang berhasil merebut (atau merenggut?) cap “representasi rakyat” dan mampu menguasai lembaga legislatif baru bernama DPRD Madina.
Ada dua tokoh yang bertarung, yakni Amru Helmi Daulay yang menjabat sebagai Pj Bupati berpasangan dengan Masruddin Dalimunthe dan KH Abdul Baits Nasution pendiri dan pimpinan Pondok Pesantren Al-Bi’satil Islamiyah Simpang Suga, Desa Parmompang, Panyabungan Timur, yang berpasangan dengan tokoh budayawan dan jurnalis yang merantau di Jakarta bernama Ari Batubara.
Yang menjadi catatan dari cerita itu adalah representasi harajaon yang sempat sumringah itu kembali meredup. Unsur yang terus diposisikan sebagai pemangku adat itu memang muncul dalam acara-acara seremoni Pemkab Madina, tetapi lebih sebagai asesoris pelengkap bukan sebagai elemen utama/penting.
Begitu juga gambaran selanjutnya. Harajaon pun hanya dapat peran-peran utama dalam acara-acara bertajuk adat/budaya, seperti dalam sidang pemberian gelar adat sebagai penghormatan kepada tamu-tamu Pemkab Madina, baik tokoh pejabat maupun tokoh perantau Mandailing yang sudah sukses di Jakarta.
Dalam dua periode kepemimpinan Amru Daulay (2000-2005 dan 2005-2010), eksistensi dan kedudukan harajaon terbilang stagnan, nyaris tak ada dinamika dan proses akulturasi, lebih banyak diam tak bergerak.
Kemudian, pada era Hidayat-Dahlan dan lanjut Dahlan-Lubis (2010-2015), akulturasi justru seperti langkah mundur dengan mengemukanya konflik antara Badan Pemangku Adat (BPA) Madina dengan kekuatan baru yang bersifat oposan, yakni Lembaga Adat dan Budaya Madina (LABM).
Lalu pada masa pemerintahan Dahlan-Suheri (2015-2020), dinamika peran dan gerak harajaon sedikit menunjukkan grafik naik. Kekuatan politik yang memenangkan Pilkada 2015 sepertinya memberikan peluang peran. Progresnya, bukan saja menyebabkan kita jadi akrab dengan slogan “Negeri Beradat, Taat Beribadat”, geliat Forum Pelestarian dan Pengembangan Adat Budaya Mandailing Natal (FPPAB Madina) seakan menjadi support dan advokasi baru dalam rangka revitalisasi harajaon.
Sekalipun tidak hanya menjadi wadah bagi harajaon Mandailing, FPPAB Madina di bawah kepemimpinan Patuan Mandailing dan Rakhman Ali Nasution juga menaungi kepentingan adat etnis Pesisir Natal (Natar atau Nata?), Tanah Ulu, Jawa, Minang dan lain-lain.
Selain menjadi wadah untuk 1) berhimpun bagi elemen harajaon yang lebih solid dan organisatoris dengan kepercayaan diri yang makin baik, FPPAB Madina juga berhasil 2) merangkul dan melibatkan sejumlah tokoh intelektual berpengaruh dari instansi horizontal Pemkab Madina, instansi vertikal seperti Kementerian Agama, Pengadilan Agama dan STAIM yang berubah jadi STAIN Madina, serta juga 3) membuat sejumlah terobosan dengan mengupayakan standarisasi dan pendaftaran hak cipta/paten atas produk budaya lokal yang ada, seperti bagas godang dan bindu-nya, motif batik, gordang sambilan, pelaminan serta busana pengantin dan lain-lain.
Terakhir, pada masa Era Baru Sukhari-Atika (2020-2025), FPPAB Madina yang sudah punya manajemen mapan justeru terpinggir. Lembaga ini tidak lagi mendapat pangakuan formal dan advokasi anggaran dari Pemkab Madina. Bahkan kemudian muncul lembaga baru yang tak mampu menegaskan eksistensi dan gagal menjelaskan kavling pekerjaannya, yang kalau tak salah bernama Badan Pemangku Adat dan Budaya (BPAB Madina).
Tragisnya, selain menjadi organisasi adat dan budaya tandingan yang menutupi keberadaan FPPAB Madina, BPAB Madina menisbikan performa dan capaian harajaon sebelumnya.
Akibatnya, prosesi akulturasi nilai adat dan budaya Mandailing jadi mundur jauh ke belakang (setback).
Dalam keterpukulan itu, ternyata harajaon Mandailing memamasuki fase pematangan baru. Tanpa FPPAB Madina yang tidak sepenuhnya mati dan BPAB Madina yang tidak seutuhnya hidup, harajaon Mandailing dengan performa dua Raja Panusunan dan 48 Raja Huta, Raja Ripe dan Raja Ihutan kembali menegaskan kepemimpinan tradisionalnya.
Beranjak dari greget baru itu, tokoh-tokoh harajaon mengawali aksinya dalam gerak akulturasi (lanjutan): 1) membentuk kepemimpinan tunggal, 2) menganugerahkan gelar tertinggi, yakni Patuan Perimpunan Gomgom Mandailing kepada H. Ivan Iskandar Batubara, abang sulung Hidayat Batubara, putra Alm H Maslin Batubara, serta 3) menyerahkan mandat atau memberi daulat kepada tokoh kuat dari luar kalangan harajaon, yaitu Patuan Perimpunan Gomgom Mandailing untuk menjadi sejenis “raja diraja”.
Selanjutnya, dengan semangat baru yang sudah terpantik, harajaon Mandailing melakukan sejenis evaluasi dan revaluasi atas perjalanan dan capaian Kabupaten Mandailing Natal yang sudah berusia 25 tahun per 2024. Dari situ, terlihat fakta yang bikin rasa makin miris dan perih.
Dalam 25 tahun akulturasi dalam bentuk pemekaran atau pemisahan diri dari Tapanuli Selatan, perjuangan meraih kesejahteraan masyarakat adat Mandailing kembali jadi cerita sedih dan pilu berkepanjangan. Di samping menyadari posisi harajaon yang justru makin terpinggir jauh dari papan catur Pilkada, kemakmuran dan kemasyhuran pun tampak makin jauh, seperti ungkapan “jauh panggang dari api”.
Apa yang bisa dilakukan untuk menerobos gap ekonomi, sosial, budaya dan politik di dalam masyarakat adatnya dan membuat harajaon makin terbelakang? Dengan kata lain, terobosan apa yang bisa mereka lakukan untuk mengubah nasib tragis Madina hari ini?
Tercetuslah gagasan besar dalam sebuah sidang adat Harajaon Mandailing. Yaitu, “mengambil alih” pemerintahan (tali pinuntun) Kabupaten Mandailing Natal dan “menyerahkannya” kepada tokoh mumpuni dan sudah mereka seleksi. Kelayakan dan kepatutannya dapat dipercayai, mampu dan mau menerima “tali pinuntun” itu.
Nah, siapakah tokoh mumpuni itu?
Berdasakan permenungan yang sangat dalam dan pemikiran super serius, mereka menemukan ketokohan yang cukup tangguh itu pada diri pengusaha plamboyan yang sudah mereka nobatkan sebagai “raja diraja”, yakni Patuan Parimpuan Gomgom Mandailing (PPGM).
Namun demikian, “proposal adat” itu harus difinalkan agar tidak menjadi narasi kesedihan baru. Ada saatnya, Harajaon Mandailing menyampaikan proposal yang kemudian disebut “hata olos, hata andung anak ni raja, anak ni namora” (keluh-kesah Raja-raja Mandailing) kepada PPGM dalam sebuah pertemuan adat. Sidang yang berlangsung di rumah pusaka di Desa Alahankae, Ulu Pungkut, Madina menjadi kesempatan untuk dua hal:
Penyampaian hata olos hata andung Raja-raja Mandailing kepada PPGM; dan jawaban atau hata alus PPGM atas proposal adat Raja-raja Mandailing.
Sinergi dan Harmoni
Prosesi akulturasi kepemimpinan informal oleh Raja-raja Mandailing sudah memakan waktu yang panjang. Sepanjang umur Madina, 25 tahun.
Sejak perjuangan, persiapan dan pelaksanaan pemekaran Madina, akulturasi itu sudah berjalan. Faktanya, tak selalu mulus, tak selalu manis. Ada kalanya progresif tak terbendung, tapi di lain kesempatan malah stagnan atau malah mundur jauh ke belakang.
Ujung prosesi itu belum nampak.
Seiring tahapan Pilkada, akulturasi itu terus bergerak. Pertanyaan di bagian awal tulisan bisa saja terjawab, namun hanya untuk peristiwa-peristiwa terkini. Sejauh ini, akulturasi berbuah sinergi. Ada harapan besar. Namun, jika pertanyaan: Apakah proses panjang akulturasi selanjutnya akan menjadi harmoni bagi kekinian dan masa depan Madina? Jawabannya: sangat tergantung tahapan Pilkada selanjutnya dan apresiasi serta rekomendasi partai tehadap lokalitas Madina ini.
*Muhammad Ludfan Nasution, Jurnalis Freelance, Alumni IISIP Jakarta dan Anggota DPRD Madina 2014-2019