ARTIKEL (Mandailing Online) – Lebih kurang tiga tahun sudah kita “Berperang” dengan virus Corona. Perang sengit yang banyak memakan korban dan selama berlangsung banyak dampak yang ditimbulkannya. Bukan hanya krisis kesehatan semata, tapi juga upaya pencegahan yang dinilai banyak orang bertabrakan dengan kaidah spritual dan keyakinan beragama yang dimiliki.
Perang terhadap virus ini tidak hanya memorak-porandakan perekonomian, tapi juga mendisrupsi tradisi dan budaya yang berlaku dalam masyarakat. Salah satunya adalah mudik yang dalam dua tahun terakhir terpaksa ditiadakan. Bahkan terkesan mustahil untuk dilakukan.
Dalam kurun waktu dua itu, sebagai makhluk pribadi dan sosial kita dikenalkan dengan berbagai metode baru sebuah perayaan, mulai model pesta pernikahan memakai zoominar hingga salat berjamaah dengan ketentuan jarak. Bahkan pada awal-awal pandemi banyak rumah ibadah yang terpaksa ditutup demi mencegah penyebaran virus yang telah menelan jutaan korban di seluruh dunia.
Pun, hal yang sama juga diberlakukan untuk pusat keramaian, termasuk rumah makan atau restoran. Kemudian, melihat sekelompok orang berjemur pada awal-awal matahari terbit menjadi hal yang jamak. Beragam kegiatan yang pada mulanya begitu sulit dikerjakan justru menjadi kebiasaan seiring pemberlakuan lockdown mini, PSBB, PPKM dan sederet istilah lainnya.
Sebagian dari publik menjadi frustrasi akibat pemberitaan Covid-19 secara massif dan bertubi-tubi. Sialnya, diperparah dengan regulasi yang silih berganti. Para pekerja baik kantoran maupun swasta terpaksa dan dipaksa untuk WFH ( Work From Home), suatu kegiatan yang awalnya sangat membingungkan sekaligus ‘membagongkan’, terlebih bagi mereka yang gaptek (gagap teknologi).
Tahun ini seiring dengan melandainya penyebaran Covid-19 berikut dengan virus turunannya, mudik pun mulai diperbolehkan kendatipun tetap mengetatkan prokes sebagai syarat utamanya. Cuti bersama yang selama dua tahun ini ‘hilang” kembali hadir. Geliat ekonomi meski pelan, tapi pasti mengalami peningkatan.
Dalam dua tahun terakhir kita ‘dipaksa’ menjadi kaum rebahan dengan segala dinamika dan tantangannya. Dua tahun juga tak terasa air mata sering menetes mendengar sanak famili dan keluarga yang wafat akibat virus ini. Akhirnya di tahun 1443 H ini kita bisa kembali mengunjungi ayah/ibu dan sanak saudara lainnya di kampung. Kondisi ini bisa diibaratkan seperti anak kecil yang diberi permen. Pelonggaran mudik ini pun disambut dengan penuh suka cita.
Suatu hal yang amat sangat diidamkan dan dirindukan untuk bisa sungkem dikaki orang tua, bersilaturrahmi dengan saudara, berbagi cerita suka dan duka, dan saling bertegur sapa untuk mengenang kembali masa lalu akhirnya bisa ditunaikan. Dua tahun terakhir ini kita hanya bisa silaturahmi melalui video call, tapi tahun ini bisa bersimpuh, bersalaman, dan berpelukan langsung.
Perasaan rindu yang membuncah akhirnya tertuntaskan dengan adanya pelonggaran mudik tahun ini. Bahkan banyak pemerintah daerah turut serta memudahkan para pemudik dengan mengadakan program mudik gratis. Begitu ada informasi yang membolehkan mudik, hati yang selama ini was-was berubah jadi gembira. Kita pun mulai sibuk menghitung biaya perjalanan, biaya tiket, biaya oleh-oleh, uang THR dan sebagainya. Kita seakan mendapat durian runtuh dan tentu saja hal ini tidak ingin dilewatkan begitu saja. Bahkan celengan anak-anak dirumah pun ‘dikorbankan” untuk menambah biaya selama di kampung nantinya.
Mudik bukan hanya sebatas itu, Kawan. Bukan sekadar melepas rindu dengan kampung halaman.Tidak hanya untuk bersalaman dan silaturrahmi saja. Bukan pula hanya untuk tanya kabar sanak saudara yang sudah lama tidak berjumpa. Mudik tentu bukan sekedar pulang kampung semata.
Setiap saat kita bisa pulang kampung dan tidak mesti menunggu momen hari raya. Mudik juga bukan karena suka cita meluapkan kegembiraan menyambut 1 Syawal, tapi lebih dari itu. Ada sesuatu yang nilainya abstrak dalam mudik ini sehingga meskipun berdesak-desakan, berjubel, bahkan menggunakan mode transportasi roda dua pun dilakukan untuk menempuh perjalanan pulang kampung.
Nilai abstrak itu tidak akan ditemukan di perkantoran, di perkotaan, di bangku kuliah juga tidak akan ditemukan sekalipun di kompleks rumah mewah tempat Anda tinggal. Nilai ini jualah yang akan memaksa Anda untuk pulang. Ada perasaan damai di rumah orang tua meskipun hanya dibalut papan seadanya, tidur tanpa AC, dan keleluasaan jalan-jalan tanpa khawatir dibegal.
Mudik sudah menjadi tradisi dan kultur yang tidak akan lekang oleh transformasi zaman sekalipun nanti kita jauh meninggalkan revolusi industri 4,0. Mudik akan tetap menjadi kebutuhan spritual lengkap dengan dimensi kemanusiaan. Selamanya akan dituturkan dan diwariskan kepada generasi selanjutnya.
Ayo mudik, Kawan!T
Taqobbalallohu Minna Waminkum.
Oleh: Mochtar Nasution
Penulis adalah Kolomnis Mandailing Online
Berdomisili di Panyabungan, Mandailing Natal
Comments
Komentar Anda