Oleh : Abdur-Razzaq Lubis
BANGSA MANDAILING DIBATAKKAN BELANDA
Nama Mandailing sudah diketahui sejak abad ke 14 lagi, dan ini menunjukkan adanya satu bangsa dan wilayah bernama Mandailing, yang barangkali telah muncul sebelum abad itu lagi. Nama Mandailing tersebut dalam kitab Nagarakretagama yang mencatat perluasan wilayah Majapahit sekitar 1365 M. Batak tidak disebut sekalipun dalam kitab tersebut.
Nama Batak itu sendiri tidak diketahui dengan pasti asal-usulnya. Ada yang berpendapat istilah Batak itu digunakan oleh orang pesisir seperti orang Melayu untuk memanggil orang di pedalaman Sumatra, Batak, sepertimana orang Melayu memanggil ‘orang asli’, Sakai dan Jakun. Tapi orang pedalaman sendiri tidak membahasakan diri mereka, Batak. Kemudian panggilan ini dipetik oleh pengembara seperti Marco Polo, Ibnu Batutah, dan diambil oleh Portugis dan orang-orang dari atas angin dan bawah angin, hinggalah ke ini hari.
Bila Belanda menguasai kesultanan-kesultanan Melayu mereka bukan saja memasukkan kesultanan-kesultanan tersebut ke dalam sistem kolonial, sekaligus mereka juga mengambil-alih pemisahan Batak-Melayu. Persepsi Belanda terhadap orang-orang pedalaman termasuk terhadap bangsa/umat Mandailing dipengaruhi oleh persepsi kesultanan-kesultanan Melayu dan Minang, dan orang-orang pesisir, yang mereka dului berinteraski.
Lama-kelamaan mem-Batakkan bangsa/umat Mandailing membudaya dalam persepsi, tanggapan, tulisan-tulisan, dan sensus administratif Belanda hinggakan sesetengah orang Mandailing sendiri mulai melihat diri mereka dari persepsi penjajah yang melihat dari kacamata Melayu. Bangsa/umat Mandailing dikatogerikan bersama-sama dengan bangsa Toba, Pak-pak, Diari, Simalungun dan Karo untuk tujuan administratif umum di samping menjadi sasaran zending/Kristenisasi.
Pandangan berikut dari sarjana-sarjana Barat seperti Lance Castles adalah tipikal.
“The use of ‘Batak’ as a common label for these groups (Toba, Mandailing dan Simalungun) as well as the Karo and Dairi has a chequered career. Linguists and ethnologists have always found the term necessary because of the strong common elements in all these societies. At some periods, however, those who were converted to Islam, especially Mandailings, have sought to repudiate any association with the non-Muslim Tobas by rejecting the Batak label altogether. This tendency has been strongest among Mandailing migrants to the East Coast of Sumatra and Peninsular Malaysia.”
(Pengunaan istilah ‘Batak’ sebagai label yang umum untuk kelompok-kelompok ini (Toba, Mandailing dan Simalungun) sebagaimana juga dengan Karo dan Dairi mempunyai sejarah yang berpetak-petak. Ahli-ahli bahasa dan etnologi senantiasa mendapati bahwa istilah ini merupakan istilah yang diperlukan dikarenakan adanya elemen umum yang kuat di dalam tiap-tiap kelompok ini. Pada periode tertentu, mereka yang kemudian memeluk Islam, terutama orang Mandailing telah berusaha untuk tidak dihubungkan sama sekali – hubungan dengan non-Muslim Toba dengan menolak label Batak secara keseluruhan. Kecenderungan ini telah terjadi terkuat di antara orang Mandailing perantauan di Pantai Timur Sumatra dan Semenanjung Malaysia.)
Sementara sarjana Barat seperti Susan Rogers Siregar, agak peka dan mengerti sedikit.
“Much of the Western literature asserts that there are six major Batak cultures: Toba, Karo, Dairi-Pakpak, Simalungun, Angkola, and Mandailing. This division into ethnic units is somewhat misleading, however, since villagers often have little use for such general words as ‘Angkola’ and identitfy themselves in much more local terms as members of a ceremonial league or a group of village clusters. The sixfold ethnic division may reflect relatively new ethnic designations as members of different homeland groups come into contact and competition with each other”.
(Kebanyakan literatur Barat menegaskan bahwa ada enam budaya-budaya yang utama: Toba, Karo, Dairi, Pakpak, Simalungun, Angkola dan Mandailing. Pembagian ke dalam beberapa kelompok-kelompok etnik ini, menyesatkan, lantaran penduduk desa umum tidak banyak menggunakan perkataan seperti ‘Angkola’ dan mengidentifikasikan diri mereka dalam istilah yang lebih lokal sebagai ‘anggota dari perhimpunan adat’ atau sebuah kelompok perkampungan. Pembagian enam etnik tersebut mencerminkan secara relatif penunjuk-penunjuk etnik baru sebagai bagian dari kelompok-kelompok pribumi yang berbeda yang kebelakangan bertemu dan bersaing satu sama lain.)
Kebelakangan, sarjana-sarjana Indonesia (Indonesianists) dan antropolog terus memakai istilah Batak dengan alasan ianya “useful” (berguna) dan “necessary” (perlu). Pada akhirnya, sarjana-sarjana yang kononnya, menyelidik secara neutral dan objektif, sebetulnya bertanggungjawab mencipta identitas Batak dan memperkuat identitas Batak. Malah ciptaan mereka itu, mencorak dan mewarnai garis-garis besar ilmu mereka sendiri. Maka pemisahan Batak-Melayu itu berpanjangan hingga ini hari.
BANGSA MANDAILING DIMELAYUKAN INGGERIS
Kalau penjajah Belanda melabelkan orang Mandailing sebagai Batak, penjajah Inggeris melabelkan orang Mandailing sebagai “foreign Malays” (Melayu dagang). Di satu pihak, orang Mandailing disebut Batak Mandailng, dan di pihak yang lain, disebut Melayu Mandailing.
Penjajah Inggeris memakai stilah “foreign Malays” untuk merujuk kepada orang Mandailing dengan alasan kemudahan administratif (administrative convinience). Pada mulanya, kategori Mandailing dan Batak terpisah dalam sensus-sensus British Malaya, kemudian kedua kategori tersebut dihapuskan menyebabkan orang Batak mahupun orang Mandailing pilih ‘masuk Melayu’ atau menjadi Melayu dalam pengambilan sensus.
Meskipun berabad-abad orang-orang Batak sudah ‘masuk Melayu’, pemisahan Batak-Melayu terus kekal. Hinggakan proses memelayukan orang-orang Batak termasuk bangsa/umat Mandailing yang dikategorikan sebagai sub-Batak itu, berkelanjutan hingga masa kini. Apakah muslihat dan strategi penjajah dan sarjana-sarjana Barat mahu menghapuskan kemajemukan kebangsaan bangsa-bangsa lain di Sumatra Utara supaya bertuankan Batak? Apakah muslihat dan strategi penjajah dan sarjana-sarjana Barat mahu menghapuskan kemajemukan kebangsaan bangsa-bangsa Nusantara yang kedapatan di Semenanjung supaya bertuankan Melayu?
Bermula dengan rekayasa sosial engineering kolonial Belanda dan British, disusuli proses Malayanisasi (kemudian Malaysianisasi) dan Indonesianisasi yang berlaku sejak dari abad ke 19 sampai sekarang menerusi pendidikan nasional, polisi kebudayaan nasional dan nasionalisme Melayu dan Indonesia. Ciri-ciri khusus kebangsaan bangsa/umat Mandailing seperti bahasa dan aksara, digugat dan kemudian terhapus sama sekali atas nama asabiah (fanatik perkauman) pembangunan nasional, identitas nasional dan kesatuan nasional.
RUMUSAN
Pada tahun 1920-an, alim ulama dan pemuka-pemuka Mandailing telah memprotes percobaan orang-orang Batak-Islam termasuk orang Mandailing yang mengaku Batak, untuk dikuburkan di tanah perkuburan Sungai Mati. Alim ulama dan tokoh-tokoh Mandailing berhujah bahwa wakaf tanah perkuburan Sungai Mati hanyalah untuk jenazah-jenazah orang-orang Mandailing saja. Orang-orang Batak khusus Angkola termasuk Mandailing yang mengaku Batak, tidak pantas dikuburkan di perkuburan itu.
Pejuang-pejuang kebangsaan bangsa Mandailing membawa kasus/kes ke mahkamah syariah Sultan Deli dengan keterangan bahwa tanah perkuburan bangsa Mandailing di Sungai Mati, Medan, adalah semata-mata untuk bangsa Mandailing. Mereka yang berbangsa selain Mandailing, tidak boleh dikuburkan di situ. Mahkamah syariah Sultan Deli mendeklarsi bahwa bangsa Mandailing terpisah dan berdiri sendiri dari bangsa Batak. Kemudian bangsa Batak membawa kasus tersebut di mahkamah sibil di Batavia, Jawa. Mahkamah tersebut, mahkamah tertinggi di Hindia Belanda mendeklarasikan bahwa bangsa Mandailing bukan Batak.
Kasus jati diri tersebut dibukukan oleh Mangaradja Ihoetan dalam buku Asal-Oesoelnja Bangsa Mandailing (Pewarta Deli, Medan, 1926). Dalam pengantarnya kepada buku itu, Mangaradja Ihoetan menjelaskan maksud buku itu disusun “…hanjalah kadar djadi peringatan di-belakang hari kepada toeroen-toeroenan bangsa Mandailing itoe, soepaja mereka tahoe bagaimana djerih pajah bapa-bapa serta nenek mojangnya mempertahankan atas berdirinja kebangsaan Mandailing itoe. Dengan djalan begitoe diharap tiadalah kiranja mereka itoe akan sia-siakan lagi kebangsaanja dengan moedah maoe mehapoeskannja dengan djalan memasoekkan diri pada bangsa lain jang tidak melebihkan martabatnja”.
“…Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu…” (al-Hujurat: 13. )
Jelas ketinggian dan kemulian tercapai dengan takwa bukan dengan memasukkan bangsa Mandailing ke dalam bangsa Batak maupun Melayu demi agenda nasionalisme, asabiah/fanatik kebangsaan dan negara-bangsa yang hakikat/entitinya berlawanan dengan Islam.
Justru kategori-kategori Batak-Mandailing dan Melayu-Mandailing, tidak menepati jati diri bangsa/umat Mandailing, bangsa/umat Mandailing hendaklah menolaknya bulat-bulat sebagai sisa-sisa peninggalan penjajahan fisikal mahupun mental. Dan tidak terjebak dalam proses globalisasi yang mencita-citakan penghapusan kebangsaan bangsa-bangsa dan bahasa-bahasa dalam Tata Dunia Baru (New World Order), di mana manusia direncanakan menjadi warga perbankan dunia! (Penulis adalah pengamat Mandailing, tinggal di Malaysia)