Oleh. Nurati, S.Pd
Anggota Komunitas Madina Menulis
Pemerintah mulai menyusun formulasi iuran terbaru bagi peserta BPJS Kesehatan. Hal ini menyusul penerapan kelas standar yang akan diujicobakan pada bulan depan. “Iuran tentunya sudah tidak relevan apabila dikaitkan dengan Kelas 1, 2, dan 3, karena tidak akan lagi ada Kelas 1, 2, dan 3,” jelas Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Asih Eka Putri kepada CNBC Indonesia, dikutip Selasa (21/6/2022).
Berita yang sama mengenai penghapusan iuran BPJS dari sumber yang berbeda, bahwasanya
“Iuran sedang dihitung dengan memperhatikan keadilan dan prinsip asuransi sosial. Salah satu prinsipnya adalah sesuai dengan besar penghasilan,” (Kompas, 09/06/2022)
Dari fakta di atas bisa kita simpulkan bahwa pemerintahan akan menghapuskan iuran BPJS dan akan menyusun formulasi iuran terbaru bagi peserta BPJS Kesehatan, tidak ada lagi kelas. Prinsip yang berlaku nantinya sesuai dengan besaran penghasilan masyarakat. Sekilas terlihat memang nampak bagus, seolah-olah memberikan solusi bagi masyarakat dalam layanan kesehatan. Hanya saja kemungkinan persoalan diskriminasi, pelayanan buruk pun diduga kuat akan tetap sama, bahkan makin buruk. Walhasil, aturan ini lebih terlihat seperti modus untuk menghimpun dana ketimbang menyelesaikan permasalahan kesehatan.
Lantas, akankah pelayanan kesehatan menemui standar keadilannya? Ataukah ini hanya akal akalan pemerintahan saja untuk menaikkan iuran semata? bukan tidak mungkin ini akan muncul permaslahan baru bagi masyarakat. Antara menaikan standar pelayanan atau menaikan iuran demi kepentingan segelintir orang, Satuhal yang mungkin terjadi.
Bukan rahasia lagi jika keuangan BPJS defisit. Walaupun tahun ini BPJS mengalami surplus, tetapi jika melihat skema pembiayaannya yang bertumpu pada iuran peserta, kemungkinan untuk defisit akan terus besar. Hal ini karena kondisi perekonomian rakyat yang kian hari kian buruk. Jangankan untuk membayar iuran BPJS, untuk makan sehari-hari saja sudah susah.
Inilah derita hidup dalam sistem kapitalisme, negara berpihak pada korporasi dan berpaling dari rakyat. Rakyat tidak memiliki pelindung untuk bisa menjamin kesehatannya, apalagi kesejahteraannya.
Beda halnya pelayanan sistem kesehatan dalam islam, Islam menetapkan paradigma pemenuhan kesehatan ini sebagai sebuah jaminan. Negara akan mengadakan layanan kesehatan, sarana dan prasarana pendukung dengan visi melayani kebutuhan rakyat secara menyeluruh tanpa diskriminasi. Kaya-miskin. Penduduk kota dan desa. Semuanya mendapat layanan dengan kualitas yang sama. Negara berfungsi sebagai pelayan masyarakat. Negara tidak menjual layanan kesehatan kepada rakyatnya. Negara tidak boleh mengkomersilkan hak publik sekalipun ia orang yang mampu membayar. Hal ini karena negara hanya diberi kewenangan dan tanggung jawab menjamin pemenuhan kebutuhan layanan kesehatan semua warga negara.
Negara yang dipimpin Khalifah adalah penanggungjawab layanan publik. Khilafah wajib menyediakan sarana kesehatan, rumah sakit, obat-obatan, tenaga medis, dan sebagainya secara mandiri. Itu adalah tanggung jawabnya. Rasulullah saw. bersabda:
Imam adalah pemelihara dan dia bertanggung jawab atas rakyatnya (HR al-Bukhari).
Rasulullah saw. dan para Khalifah telah melaksanakan sendiri layanan kesehatan. Nabi saw. (sebagai kepala negara Madinah) pernah mendatangkan dokter untuk mengobati Ubay. Ketika Nabi saw. mendapatkan hadiah dokter dari Raja Muqauqis, dokter tersebut beliau jadikan sebagai dokter umum bagi masyarakat (HR Muslim).
Anas ra. menuturkan bahwa serombongan orang dari Kabilah ‘Urainah masuk Islam. Mereka lalu jatuh sakit di Madinah. Rasulullah saw. selaku kepala negara lalu meminta mereka untuk tinggal di penggembalaan unta zakat yang dikelola Baitul Mal di dekat Quba’. Mereka diperbolehkan minum air susunya secara gratis sampai sembuh (HR al-Bukhari dan Muslim).