EKSPANSI KE BONJOL, PASAMAN DAN TAPANULI SELATAN
Disunting: Dame Ambarita
Akan halnya Dr Gusti Asnan, pengajar Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Andalas, Padang, menganggap tidak semua sumber Belanda yang digunakan Parlindungan mengandung bias. Dari 100 laporan, ada 20-50 persen data yang benar.
Menurut dia, historiografi Perang Padri sendiri dimulai pada 1950-an. “Saat itu terjadi dekolonialisasi historiografi Indonesia, termasuk Perang Padri. Demi persatuan dan kesatuan, bagian-bagian miring dari data yang ada, seperti kebrutalan Perang Padri, sengaja tidak disiarkan.”
Ia juga melihat gerakan pasukan Padri tak semata-mata bermotif agama, tapi juga ekonomi. Sejak akhir abad ke-18 hingga awal abad ke-19, perkembangan ekonomi di Sumatera Barat memang luar biasa karena booming kopi.
Dr Gusti pernah membaca sebuah kisah tentang saudagar bernama Peto Magik di Pasaman. Ia dikenal sebagai saudagar Padri-bisa dianggap konglomerat. Seorang Belanda bernama Bulhawer yang melakukan kerja sama dengan Peto mengaku tidak melihat sedikit pun gambaran islami padanya.
“Kesan yang dilihat Bulhawer, Peto Magik adalah seorang kapitalis. Dan gambaran ini saya rasa juga menggambarkan sebagian besar kaum Padri,” ujar Gusti.
Maka, menurut Gusti, ketika daerah kekuasaan di Tanah Datar dan Agam mulai direbut Belanda, kaum Padri pun meluaskan ekspansi ke utara: Bonjol, Pasaman, dan Tapanuli Selatan. Mengapa ke utara? Karena daerah utara memiliki basis kekayaan yang sangat tinggi. Apalagi, dengan menguasai area tersebut, Padri masih dapat melakukan hubungan dengan kaum lain, seperti Aceh, melalui jalur sungai.
Sekalipun mengakui kekerasan yang dilakukan Padri, sebagian orang memandang dari sudut berbeda. “Soalnya saat itu kan tidak ada HAM,” kata sejarawan Taufik Abdullah.
Basyral sendiri melihat Imam Bonjol mengetahui segala perampokan, pemerkosaan, dan mutilasi yang dilakukan perwira-perwiranya. “Mustahil Imam Bonjol tak tahu. Ia kan komandan,” kata Basyral.
Tapi Taufik Abdullah tak sependapat. Menurut dia, kekerasan di awal gerakan Padri bukan tanggung jawab Tuanku Imam Bonjol. Saat gerakan Padri masih radikal di awal, Tuanku Imam Bonjol masih muda dan baru menjabat sebagai asisten Tuanku Bandaro, salah satu pemimpin gerakan Padri saat itu.
Ketika polemik menghangat, buku itu ditarik dari peredaran. Buku itu pun jadi buku langka. Di sebuah pameran buku di Jakarta, buku itu beberapa tahun lalu bahkan sempat dihargai Rp 1,5 juta.
Lama menghilang, buku Tuanku Rao kembali diterbitkan. Bila di tahun 1964 Tuanku Rao diterbitkan oleh Tandjung Harapan, maka dalam reinkarnasinya kali ini ia diterbitkan oleh LKiS Yogya, Juni lalu, tanpa suntingan apa pun. Bahkan tetap dalam ejaan lama.
Adalah Batara Hutagalung, putra dr Wiliater Hutagalung (salahsatu tokoh yang memberi masukan-masukan dan koreksi terhadap naskah buku karya Mangaradja Onggang Parlindungan Siregar), yang mengupayakan penerbitan kembali buku ini. Karena ia melihat, buku ini sangat banyak mengandung pengetahuan sejarah tentang Batak.
Sebagaimana lumrah terjadi dalam diskusi akademik, khususnya kajian-kajian sejarah Indonesia, barangkali buku ini dapat diletakkan kembali dan diperkenalkan lagi kepada khalayak pembaca dan peminat sejarah.
***
Siapakah Mangaradja Onggang Parlindungan Siregar? Sonny Boy, anaknya, mengatakan: “Ayah saya seorang perwira KNIL.” MO Parlindungan sendiri, dalam bukunya menulis, dirinya adalah cucu dari cucu Tuanku Lelo (bernama asli Idris Nasution), yang disebutnya “kriminal perang” dalam Perang Paderi. Parlindungan bahkan sampai menyebut eyangnya itu seorang big scoundrel yang memiliki kelakuan binatang.
Tak banyak yang tahu sosok pengarang ini. Hasil penelusuran METRO di internet, Basyral Hamidy Harahap –penulis buku Greget Tuanku Rao– pada 1974 pernah bertemu dengannya di dekat rumah Hamka di Jakarta. Ia langsung menanyakan kabar polemik antara Parlindungan dan Buya Hamka.
Agaknya Parlindungan tak suka. “Saat itu ia langsung mengarahkan tongkatnya yang berkepala gading ke arah dahi saya. Saya kaget, mengelak,” kenang Basyral.
Untunglah, anak penulis, Dorpi Parlindungan Siregar, kini 59 tahun, mau bercerita- dialah anak yang dipanggil Sonny Boy dalam bukunya.
“Ayah saya seorang perwira KNIL. Perjalanan karier ayah saya dimulai ketika pada 1 Oktober 1945, Jenderal Mayor Oerip Soemohardjo mendirikan Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Beliau mengumpulkan 17 anak muda di Yogyakarta, di antaranya Soeharto, Ibnu Sutowo, dan ayah saya,” katanya seperti dikutip dari Tempo.
Pada usia 27 tahun, menurut Dorpi, ayahnya memperoleh pangkat letnan kolonel. Sebagai insinyur kimia lulusan Jerman dan Belanda, ayahnya menjadi bawahan dr Willer Hutagalung, dulu dokter pribadi Jenderal Soedirman. Mereka kemudian mengambil bekas pabrik mesiu dan peralatan senjata Belanda, yang lalu menjadi Pindad.
Pada 1960, ayahnya ditahan rezim Soekarno karena dianggap pro-Masyumi. Tempat tahanan ayahnya berpindah-pindah, dan akhirnya menjalani tahanan rumah. Di sanalah, dengan data milik kakeknya dan Residen Poortman, ayahnya menulis buku Tuanku Rao.
Dan yang mengejutkan, bagian terbesar halaman buku ayahnya menceritakan kisah kejahatan algojo Padri bernama Tuanku Lelo, sosok yang tak lain menurut Parlindungan adalah kakek dari kakeknya sendiri. “Jadi ia seperti menceritakan aib keluarga sendiri. Tak banyak penulis yang berani seperti itu,” kata Ahmad Fikri dari LkiS, editor buku Tuanku Rao.
Buku itu awalnya, menurut Dorpi, tidak diperuntukkan bagi umum, tapi bagi anak-anaknya saja. “Sehabis membaca Alquran setiap hari, Ayah membacakan cerita ini untuk saya dan adik,” kenang Dorpi akan ayahnya yang meninggal pada 1975 itu. Atas desakan teman-temannya, buku itu akhirnya diterbitkan.
Buku itu intinya berisi informasi bagaimana gerakan Wahabi masuk Minang. Waktu itu, tahun 1803, Haji Piobang, Haji Sumanik, dan Haji Miskin kembali ke Minang setelah bermukim di Mekkah lebih dari 12 tahun. Mereka adalah bekas perwira tentara Turki. Mereka mencoba menanamkan mazhab Hambali di Sumatera, termasuk di Tanah Batak, menekankan pemurnian Islam.
Buku Tuanku Rao ini menjelaskan cukup detail bagaimana persiapan dan kronologi invasi Padri ke Batak Selatan (1816) dan Toba (1818- 1820). Dari etape-etape dan serangan kilat (blitzkrieg), siasat-siasat, sampai notula rapat-rapat para panglima dideskripsikan.
Pendiri Padri, Haji Piobang dan Tuanku Imam Bonjol, mengkoordinasi penyebaran pasukan di bawah pimpinan Tuanku Rao, Tuanku Tambusai, Tuanku Lelo, Tuanku Asahan, Tuanku Maga, dan Tuanku Kotapinang.
Toba dikepung dari empat penjuru. Tuanku Asahan dengan kavaleri berkekuatan 11 ribu tentara menyerang dari samping kanan; Kolonel Djagorga Harahap dengan kekuatan 4.000 anggota pasukan dari sayap kiri; Tuanku Maga menusuk dari sisi tengah atas dengan 5.000 anggota pasukan; Tuanku Lelo bersama 9.000 tentaranya merangsek dari sisi tengah bawah.
Pada 1820, Sisingamangaraja X, yang bertahan di Benteng Bakkara, akhirnya tewas. Kepala Sisingamangaraja X ditusuk di atas tombak, dipancang di tanah.
Penyerbuan yang paling bengis dilakukan oleh Tuanku Lelo. Parlindungan sendiri menganggap “eyangnya” itu “kriminal perang”. Tuanku Lelo bernama asli Idris Nasution. Sosoknya besar, berjanggut hitam, berambut panjang, berombak-ombak. Ia mengenakan baju jubah dan serban yang seluruhnya putih serta suka memakai selempang dan ikat pinggang berwarna merah bertaburan emas-yang dirampasnya di Pagaruyung. Ia dikenal sebagai algojo pembantai, juga maniak seks.
Parlindungan bahkan sampai menyebut eyangnya itu seorang big scoundrel yang memiliki kelakuan binatang. Di tiap kawasan, sang eyang mengumpulkan ratusan wanita, lalu memerkosanya. Di Toba, 14 malam berturut-berturut pasukannya dibiarkan melakukan pesta seks besar-besaran.
Ketika pasukan bergerak meninggalkan Toba, Tuanku Lelo memerintahkan ribuan wanita dikumpulkan di Red Light District di Sigumpar Toba. Dari Sigumpar, mereka digiring berjalan kaki melalui Siborong-borong, Pangaribuan, Silantom, Simangambat, Sipirok, menuju Natal Mandailing. Sesampai di Mandailing, hanya 300 wanita selamat; 900 mati. Yang capek dipenggal.
Kemudian Belanda memutuskan menyerang Padri. Pertempuran pada 1820, menurut Parlindungan, meletus di Benteng Air Bangis. Imam Bonjol turun sendiri. Tuanku Rao tewas di situ. Nah, di pertempuran Air Bengis ini, secara licik Tuanku Lelo melakukan desersi.
Melihat Imam Bonjol terdesak, ia lalu memimpin kavalerinya sendiri menuju Angkola dan Sipirok. Ia melanjutkan petualangannya, menjarah, membunuh, melampiaskan nafsu seksualnya. Ia lalu menjadi warlord di Angkola dan Sipirok selama 1822-1833. Ia di sana mendirikan sebuah harem di bentengnya di Padangsidimpuan. (bersambung)
Comments
Komentar Anda