Oleh: Nahdoh Fikriyyah Islam
Dosen dan Pengamat Politik
Santer! Jagad dunia Barat kini sedang dihembuskan suatu fenomena yang dikabarkan menimpa beberapa negara maju kapitalis. Resesi Seks! Beberapa berpendapat bahwa fenomena resesi seks ini akan memberikan dampak yang begitu berbahaya.
Seperi berita yang dilansir dari CNBC Indonesia, Rabu (08/12/2021) bahwa menurut sebuah penelitian terbaru dari IFS (Institute for Family Studies) di Amerika menyebutkan, anak muda yang tidak berhubungan seks meningkat dari dua kali lipat. Awalnya hanya 8% menjadi 20%. Dan kaum perempuan adalah kelompok yang paling enggan melakukannya. Rekan peneliti IFS Lyman Stone melaporkan dalam penelitian tersebut, fenomena penurunan mood seksual dan perkawinan telah terjadi selama lebih dari satu dekade. Rentan usia yang mengalami resesi seks disebutkan mulai dari 18 tahun hingga 35 tahun.
Selain Amerika, negara-negara maju yang berada di Benua Asia juga kini mengalami resesi seks, misalnya Jepang. Jumlah kelahiran di Jepang sangat anjlok di tahun 2020. Sementara jumlah pernikahan terdaftar turun sebanyak 12,3% di tahun 2020. Kemudian menyusul Singapura dengan total angka kelahiran hanya 31.816 di tahun 2020. Angka tersebut merupakan level terendah dalam 34 tahun terakhir.
Selanjutnya ada Korea Selatan yang dikabarkan memiliki kelompok perempuan atau persatuan wanita yang menolak norma patriarki dan bersumpah untuk tidak menikah. Lalu China juga masuk kategori negara yang mengalami fenomena resesi seks ini. Angka kelahiran di negara tirai bambu itu sudah mengalami penurunan sejak tahun 2017. Karena situasi demikian, pemerintah China secara mengejutkan dan memperbolehkan pasangan memiliki tiga anak sejak Mei 2021.
Penyebab terjadinya resesi seks yang melanda negara-negara tersebut disebutkan beberapa faktor. Diantaranya adalah pertama, faktor ketaaan beragama. Kelompok ini memiliki kekhawatiran dengan seks pranikah. Selanjutnya faktor kedua adalah ketidakstabilan kondisi ekonomi yang cenderung terus menurun dan menyebabkan angka kemiskinan meningkat. Ketiga, faktor psikologis manusia. Keempat, teknologi yang membuat manusia betah berada di depan gadget bahkan hanya untuk melampiaskan seksualnya banyak yang memilih hanya dengan menonton adegan dari internet saja. Selanjutnya kelima adalah factor menurunnya tingkat kesuburan atau kesehatan reproduksi manusia. Dan keenam tidak katinggalan adalah faktor pandemik covid-19.
Akibat resesi seks tersebut, konon akan sangat berbahaya karena berdampak pada penurunan jumlah populasi manusia. Selain itu, juga dapat menyebabkan perlambatan ekonomi. Bahkan imbasnya sangat terasa bagi perindustrian seperti pakaian, mobil, real estate hingga bisnis kontrasepsi. Karena dianggap resesi seks adalah bukti menurunnya ketidakdewasaan manusia. benarkah demikian? Lalu, bagaimana sikap kita sebagai Muslim dalam menyikapi fenomena resesi seks? Adakah juga mengancam bagi kaum Muslim?
Ada beberapa hal yang perlu dikritisi dari fenomena resesi seks tersebut. Antara lain sebagai berikut.
Pertama, melihat fenomena resesi seks tersebut sedang menimpa negara-negara maju kapitalis seperti Amerika dan China. Juga tidak ketinggalan Jepang, Korea dan Singapura. Semua negara tersebut adalah negara sekuler yang masyarakatnya hidup dengan pola liberal. Bahkan induknya sendiri yang mendewakan kebebasan seksual ternyata kini mengalami kemerosotan perilaku seksual. Tentu saja, menjadi kekhawatiran bagi Amerika dengan ide unggulan kebebasannya. Sementara kebebasan ekspresi termasuk free sex adalah khas ideologi Barat.
Kedua, dari segi penyebab resesi seks dikatakan bahwa kelompok ketaatan terhadap agama merupakan faktor terbesar kini menolak seks luar nikah. Bisa dibayangkan, negara yang bangkit dengan ide kebebasannya justru masyarakatnya muak dan mulai mencari alternatif jalan hidup yang memanusiakan mereka sebagai manusia seutuhnya. Bukankah ini kabar gembira ketika manusia kembali kepada fitrahnya? Apalagi negara-negara Barat kapitalis kini sedang menggandrungi Islam sebagai agama yang terus mengalami peningkatan pesat di sana. Luar biasa bukan?
Ketiga, dari segi dampak disebutkan bisa mengancam populasi, ekonomi, juga bisnis. Pada dasarnya, jika resesi seks yang dimaksud adalah menurunnya angka kelahiran, tentu saja mengancam populasi manusia. Dan jika manusia sulit berkembang biak, tentu pertumbuhan ekonomi juga bisa merosot. Karena pelaku ekonomi adalah manusia itu sendiri. Tidak ada makhluk lain yang mampu melakukan transaksi ekonomi selain manusia. Sementara bisnis adalah bagian dari ekonomi yang selalu dikejar manusia untuk meraih keuntungan dan pertahanan hidup dengan materi. Semua akan berbanding lurus mengalami perubahan yang lebih buruk.
Keempat, sebagai negara-negara yang berideologi sekuler khususnya Amerika, ketakutan utamanya adalah keberlangsungan ideologinya di masa mendatang. Bagaimana jika generasinya lost ? Belum lagi bisnis yang menggiurkan seperti kontrasepsi untuk seks pranikah yang selama ini telah memberikan keuntungan luar biasa bagi pertumbuhan ekonomi negara tersebut. Bukankah alat kontrasepsi seperti kondom diciptakan sebenarnya untuk alat kemanan berhubungan seksual bagi yang tidak siap punya keturunan terlebih pasangan bukan halal?
Fenomena resesi seks yang diartikan sebagai seks luar nikah harusnya jadi kabar gembira, bukan berbahaya sebagaimana yang diberitakan media. Tetapi jika yang dimaksud adalah penurunan angka kelahiran pasca nikah karena faktor menurunnya fertilisasi atau keengganan menikah dari segi kondisi ekonomi dan pandemi, maka memang perlu diwaspadai. Sebab, imbasnya adalah populasi manusia terlebih umat Islam. Bukankah populasi juga faktor terpenting dalam mempertahankan suatu peradaban?
Kapitalisme telah menciptakan pola hidup bebas dengan mengeksploitasi naluri seksual dengan transaksi komersialisasi. Sebagai manusia, akan datang waktunya bahwa kebebabasan itu menemui titik jenuh yang akan mendorong pelakunya untuk mencari ketenangan hidup. Masyarakat dengan pola hidup Barat liberal sesungguhnya tidak tenang, tidak nyaman, dan penuh derita. Karena kebebasan adalah racun yang mematikan harga diri, martabat, kehormatan juga kemuliaan manusia.
Fitrahnya manusia tentu ingin dihormati, dihargai dan dimuliakan. Allah swt yang menciptakan manusia saja memuliakan ciptaanNya. Namun dengan sekulerisme, kemuliaan itu hilang karena dicampakkan.
Pada akhirnya, resesi seks menunjukkan bukti kegagalan sekulerisme bertahan di tengah-tengah manusia. Bahkan manusia di dalam kubangan sekulerisme sendiri sudah mulai muak dengan kebebasan yang didewakan.
Sangat berbeda dengan pandangan Islam. Islam memandang bahwa nalusi seksual adalah fitrah yang harus dijaga dengan jalan yang benar dan dihalalkan yakni pernikahan.
Saat aturan Islam diterapkan secara sempurna, maka sistem pergaulan pun menjadi perangkat yang wajib dijalankan. Sistem yang mengatur interaksi laki-laki dan perempuan dalam kehidupan khusus dan umum. Sehingga tidak ada istilah ide kebebasan yang didewakan. Hanya pengaturan yang dibentuk sebagai wujud penjagaan kemuliaan dan kehormatan manusia di dunia.
Interaksi dijaga, komunikasi diatur, maka naluri seksual atau menyukai lawan jenis akan tersalurkan di tempat yang benar. Tidak akan ada fenomena resesi seks karena tidak ada kebebasan seksual yang diumbar sebelum menikah. Kejenuhan dan kebosanan terhadap aktivitas seksual yang liberal pun tidak akan ditemui dalam kehidupan masyarakat yang menerapkan aturan sistem pergaulan Islam. Wallahu a’alam bissawab.