Site icon Mandailing Online

HARAM MELECEHKAN AJARAN ISLAM

Syaikh Abdullah bin Husain bin Thahir al-Ba’alawi al-Hadhrami asy-Syafi’i (w. 1272 H) menyatakan di dalam kitabnya Sullam at-Tawfîq: “Setiap Muslim wajib menjaga dan melindungi keislamannya dari apa saja yang merusak, membatalkan dan memutusnya, yaitu riddah, wa al-‘iyâdz billâh. Sungguh telah banyak di zaman ini sikap menggampangkan dalam ucapan sampai keluar dari sebagian mereka ucapan-ucapan yang mengeluarkan mereka dari Islam, sementara mereka tidak memandang hal itu dosa apalagi sebagai kekufuran.”

Beliau lalu menyatakan, “Riddah itu ada tiga bagian: i’tiqad, perbuatan dan ucapan. Setiap bagian memiliki banyak cabang. Di antara macam riddah yang pertama (yakni i’tiqad): Meragukan Allah, Rasul-Nya, al-Quran, Hari Akhir, Surga, Neraka, pahala, siksa atau semacam itu yang telah disepakati (mujma’ ‘alayh); meyakini hilangnya salah satu sifat wajib Allah SWT menurut ijmak seperi al-‘ilmu; menisbatkan kepada Allah SWT sifat yang tidak layak dinisbatkan kepada Allah SWT menurut ijmak, seperti al-jism; menghalalkan apa saja yang haram menurut ijmak yang ma’lûm[un] min ad-dîn bi adh-dharûrah dan tidak samar, seperti zina, liwath, pembunuhan, pencurian, ghashab; mengharamkan kehalalan yang juga sudah pasti (tidak samar) seperti jual-beli, nikah, dll; menafikan kewajiban yang juga telah disepakati seperti shalat lima waktu, sujud di dalam shalat, zakat, puasa, haji, wudhu…”

Semua itu termasuk nawâqid al-îmân (pembatal keimanan). Pelakunya bisa dicap murtad.

Pelecehan Ajaran Islam

Pelecehan atau al-istihzâ` terhadap ajaran Islam sudah sering muncul dan berulang bahkan beragam bentuk dan ekspresinya. Sebagaimana yang diingatkan di dalam kitab Sullam at-Tawfîq itu, pelecehan atau penistaan terhadap Allah SWT, Rasul saw., syiar-Nya dan ajaran Islam bisa menyebabkan pelakunya murtad.

Menurut Imam an-Nawawi al-Bantani di alam Mirqât Shu’ûd at-Tashdîq fî Syarh Sullam at-Tawfîq, riddah (murtad) itu merupakan bentuk kekufuran yang paling tercela.

Al-Istihzâ` secara bahasa berarti as-sukhriyyah (ejekan/cemoohan) atau menyatakan kurang (tanaqush). Hujjatul Islam al-Imam al-Ghazali di dalam Ihyâ` ‘Ulûm ad-Dîn (3/131) menyatakan, makna as-sukhriyyah adalah merendahkan dan meremehkan, menyoroti aib dan kekurangan…”

Alhasil, penistaan agama (al-istihzâ` bi ad-dîn) bisa dimaknai: penghinaan dan cemoohan kepada Allah SWT, atau penghinaan dan ejekan terhadap Rasul saw, atau penghinaan dan ejekan terhadap agama Islam. Bisa juga dimaknai: menampakkan setiap akidah (keyakinan), perbuatan atau ucapan yang menunjukkan tikaman terhadap agama dan meremehkannya, melecehkan Allah SWT, para rasul-Nya.

Penistaan agama itu banyak bentuknya. Menghina Allah SWT; menistakan dan melecehkan Nabi saw.; merendahkan dan menistakan al-Quran, malaikat, istri-istri Nabi saw. dan Ahlul Bait beliau, dsb.

Bisa juga dalam bentuk melecehkan dan menjelek-jelekkan Islam dan syariahnya; seperti mensifati Islam dan syariahnya sebagai biadab, brutal, bengis, mencerminkan keterbelakangan dan sifat-sifat buruk dan jahat lainnya.

Bisa juga menistakan agama itu dalam bentuk melecehkan atau mengolok-olok sebagian hukum atau syariah Islam. Seperti mengolok-olok jilbab, kerudung dan kewajiban menutup aurat, melecehkan azan, menghina hukum potong tangan, qishash, rajam, dsb.

Bisa juga dalam bentuk menistakan sebagian ajaran Islam, seperti jihad dan khilafah; menstigma negatif jihad dan khilafah yang merupakan bagian dari ajaran Islam dengan menuding keduanya sebagai ancaman, memecah-belah umat, keterbelakangan, kemunduran dsb.

Pada masa Rasul saw., penistaan agama (Islam) itu merupakan perilaku orang-orang kafir baik musyrik maupun Ahlul Kitab (Yahudi dan Nahrani). Mereka melakukan penistaan kepada Allah SWT, Rasul saw, al-Quran, ajaran dan hukum Islam, para sahabat, dsb. Mereka melakukan semua itu sebagai uslub dan strategi untuk menghadang dakwah, menghalangi manusia dari Islam dan memalingkan mereka dari jalan Allah SWT.

Penistaan agama Islam itu juga menjadi perilaku orang-orang munafik. Mereka menistakan ayat-ayat Allah, menista perintah shalat, mengejek infak yang kecil, mencemooh jihad, mencaci para Sahabat dan lainnya.
Penistaan terhadap Islam itu tidak lain merupakan cermin kekufuran atau kemunafikan. Pelakunya adalah orang-orang kafir dan munafik.

Semua bentuk penistaan terhadap Islam jelas merupakan dosa besar. Jika pelakunya Muslim, hal itu bisa mengeluarkan dirinya dari Islam dan menyebabkan dia kembali kafir atau murtad, terutama jika disertai i’tiqad. Adapun jika tidak disertai i’tiqad maka pelakunya minimal telah melakukan perbuatan fasik dan dosa besar. Allah SWT berfirman:

وَإِن نَّكَثُوا أَيْمَانَهُم مِّن بَعْدِ عَهْدِهِمْ وَطَعَنُوا فِي دِينِكُمْ فَقَاتِلُوا أَئِمَّةَ الْكُفْرِ إِنَّهُمْ لَا أَيْمَانَ لَهُمْ لَعَلَّهُمْ يَنتَهُونَ

Mereka merusak sumpah (janji)-nya sesudah mereka berjanji. Mereka pun mencerca agamamu. Karena itu perangilah para pemimpin orang-orang kafir itu, karena sungguh mereka adalah orang-orang (yang tidak dapat dipegang) janjinya, agar supaya mereka berhenti (TQS at-Taubah [9]: 12).

Imam al-Qurthubi di dalam Tafsîr al-Qurthubiy menjelaskan, sebagian ulama berdalil dengan ayat ini atas kewajiban membunuh setiap orang yang menikam/mencela (ath-tha’nu) agama Islam karena dengan itu dia telah kafir (murtad). Ath-Tha’nu adalah menisbatkan pada agama Islam ini apa yang tidak pantas atau melecehkan apa yang merupakan bagian dari agama Islam yang telah terbukti kesahihan ushulnya dan kelurusan furu’-nya berdasarkan dalil-dalil yang qath’i (tegas).

Allah SWT berfirman:

…قُلِ اسْتَهْزِئُوا إِنَّ اللَّهَ مُخْرِجٌ مَا تَحْذَرُونَ (64) وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ (65) لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ إِنْ نَعْفُ عَنْ طَائِفَةٍ مِنْكُمْ نُعَذِّبْ طَائِفَةً بِأَنَّهُمْ كَانُوا مُجْرِمِينَ

…Katakanlah (wahai Rasul) kepada mereka, “Teruslah kalian (wahai kaum munafik) mengolok-olok agama. Karena Allah akan menyingkap apa yang kalian takutkan dengan cara menurunkan surah atau memberitahu rasul-Nya tentang hal itu.” Jika kamu bertanya kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab, “Sungguh kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah, “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kalian selalu berolok-olok?” Tidak usah kalian minta maaf karena kalian kafir sesudah beriman. Jika Kami memaafkan segolongan kalian (lantaran mereka bertobat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) karena mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa (TQS at-Taubah [9]: 64-66).

Ketika menjelaskan ayat tersebut, Imam Ar-Razi di dalam At-Tafsir al-Kabîr di antaranya menyatakan: “Sungguh memperolok-olok agama Islam, bagaimanapun bentuknya, hukumnya kafir. Sebabnya, olok-olokan itu menunjukkan penghinaan. Padahal keimanan dibangun di atas pondasi pengagungan terhadap Allah dengan sebenar-benar pengagungan. Mustahil keduanya bisa berkumpul.”

Imam Ibnul Arabi dalam Ahkâm al-Qur’ân menjelaskan ayat tersebut sebagai berikut: “Apa yang dikatakan oleh orang-orang munafik tersebut tidak terlepas dari dua kemungkinan, sungguh-sungguh atau cuma berkelakar saja. Apapun kemungkinannya, konsekuensi hukumnya hanya satu, yaitu kufur. Sebabnya, berkelakar dengan kata-kata kufur adalah kekufuran. Tidak ada perselisihan di antara umat dalam masalah ini. Sebabnya, kesungguhan itu identik dengan ilmu dan kebenaran, sedangkan senda gurau itu identik dengan kejahilan dan kebatilan.”

Ibnul Jauzi juga berkata di dalam Zâd al-Masîr: “Ini menunjukkan bahwa sungguh-sungguh atau bermain-main dalam mengungkapkan kalimat kekufuran hukumnya adalah sama (yakni kufur).”

Imam al-Alusi di dalam Rûh al-Ma’âni menambahkan, “Tidak ada perselisihan di antara para ulama dalam masalah ini.”

Wajib Mengagungkan Syiar dan Ajaran Islam

Penistaan agama Islam tentu tidak selayaknya terjadi dari seorang Muslim. Sebabnya, hal itu bertentangan dengan ketakwaan yang ada dalam dirinya. Sebaliknya, ketakwaan dirinya justru akan melahirkan sikap mengagungkan Islam, hukum, syiar dan ajarannya. Allah SWT berfirman:

ذلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِن تَقْوَى الْقُلُوبِ

Demikianlah (perintah Allah). Siapa saja yang mengagungkan syiar-syiar Allah, sungguh itu timbul dari ketakwaan kalbu (TQS al-Hajj [22]: 32).

Imam Abu al-Hasan al-Mawardi di dalam tafsirnya, An-Naktu wa al-‘Uyun (Tafsir al-Mawardi), mengatakan, “Terkait sya’âirulLâh, ada dua pendapat: Pertama, berbagai kefardhuan Allah. Kedua, ajaran-ajaran agama-Nya.”

Imam an-Nawawi al-Bantani di dalam kitabnya, Syarh Sullam at-Tawfiq, menjelaskan ayat tersebut, bahwa di antara sifat terpuji yang melekat pada orang yang bertakwa adalah mengagungkan syiar-syiar Allah, yakni syiar-syiar agama-Nya.

Imam Abu Manshur al-Maturidi di dalam tafsirnya, Ta’wilâh Ahli as-Sunnah, menjelaskan ayat di atas: “Siapa saja yang mengagungkan syiar-syiar Allah dengan perbuatan lahiriahnya maka pengagungan itu muncul dari ketakwaan hati. Begitulah perkara yang tampak pada manusia. Jika di dalam hatinya ada sesuatu dari ketakwaan atau kebaikan maka yang demikian itu tampak dalam perilaku lahiriahnya. Demikian juga keburukan, jika ada di dalam hati, maka tampak pada perilaku lahiriahnya.”

WalLâh a’lam bi ash-shawâb.***

Hikmah:

Allah SWT berfirman:

يُرِيدُونَ أَنْ يُطْفِئُوا نُورَ اللَّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَيَأْبَى اللَّهُ إِلَّا أَنْ يُتِمَّ نُورَهُ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ

Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut-mulut mereka, tetapi Allah menolaknya, bahkan Allah berkehendak menyempurnakan cahaya-Nya meski kaum kafir itu membencinya. (TQS at-Taubah [9]: 32).

Dicopy dari : Buletin Kaffah No. 157
(16 Muharram 1442 H/4 September 2020 M)

Comments

Komentar Anda

Exit mobile version