JAKARTA (Mandailing Online) – Harga Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit turun drastis menjadi Rp 2.000 hingga Rp 1.000 per kg di tingkat petani di berbagai wilayah Indonesia, termasuk di Sumatera Utara.
Hal itu imbas dari larangan ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng oleh Presiden Jokowi yang akan diberlakukan sejak 28 April 2022 sampai dengan batas waktu yang akan ditentukan kemudian.
Serikat Petani Indonesia (SPI) mencatat, hal ini tidak terlepas dari kebijakan yang diambil oleh pabrik kelapa sawit (PKS) yang mengumumkan penurunan harga pembelian TBS di beberapa wilayah.
Dari Provinsi Riau misalnya, Ketua DPW SPI Riau, Misngadi, menyebutkan penurunan harga TBS masih terus berlanjut hingga hari ini.
“Banyak PKS yang menetapkan penerimaan TBS sampai hari ini, mengingat besok kebijakan pemerintah sudah diberlakukan. Harga TBS di petani juga turun, di kisaran Rp1.500 – Rp1.600 per kg. Bahkan ada juga yang dibeli kurang dari Rp1.000 per kg.” kata Misngadi, dalam dalam konferensi pers sikap Partai Buruh bersama Serikat Petani terkait larangan ekspor CPO, Rabu (27/4/2022) dikutip Liputan6.com.
Hal serupa juga terjadi di berlaku Sumatera Utara. Ketua DPW SPI Sumatera Utara, Zubaidah, mengatakan penurunan harga TBS cukup signifikan.
“Di tempat tinggal saya, di Asahan, harga TBS berada di kisaran Rp1.500 – Rp1.800 per kg. Penurunannya signifikan sekali mengingat di bulan-bulan sebelumnya, harga TBS cukup tinggi,” kata Zubaidah.
Upaya untuk mengontrol harga TBS di tingkat petani terus dilakukan oleh pemerintah. Sebelumnya, pemerintah melalui Menko Perekonomian, Airlangga Hartanto, menyebutkan kebijakan pelarangan ekspor bahan baku minyak goreng terbatas pada produk turunan kelapa sawit tertentu saja, yaitu berbentuk refined, bleached, deodorized (RBD Palm Olein).
Sehingga diharapkan perusahaan tetap membeli TBS dari petani sesuai dengan harga yang wajar.
Hal ini kembali dipertegas dengan terbitnya Surat Edaran Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian, yang mengingatkan bahwa pembelian TBS sudah diatur berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian No. 1 tahun 2018, sehingga tidak dibenarkan untuk membeli TBS di bawah harga yang telah ditetapkan.
Menanggapi hal tersebut, Ketua Umum SPI Henry Saragih, menegaskan dinamika ini seharusnya tidak terjadi apabila pihak perusahaan ataupun korporasi sawit berlaku patuh dan mengikuti kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah.
“Kasus mengenai menurunnya harga TBS di tingkat petani, ini kan sebenarnya sudah diperinci pemerintah bahwa yang dilarang ekspor adalah RBD Palm Olein, bukan CPO. Selain itu sudah diatur juga pedoman untuk pembelian harga TBS sesuai dengan wilayahnya masing-masing, sehingga tercipta keadilan harga. Masalahnya peraturan ini lagi-lagi tidak dipatuhi,” pungkas Henry.
Sementara itu, Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Gulat ME Manurung, mengaku petani sawit hancur lebur setelah pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tentang larangan ekspor minyak goreng sawit (MGS) dan bahan bakunya tersebut. Karena harga TBS harian, Pabrik Kelapa Sawit (PKS) sesuka hatinya menentukan harga beli TBS Petani tanpa dasar.
Hingga Senin (25/4/2022) sore, hitungan Apkasindo, harga TBS sudah ambruk 60%.
“PKS hanya kira-kira dan agak-agak saja. Ini sangat merugikan petani. Jadi kami sangat menyayangkan kenapa kebijakan Presiden tidak cepat diantisipasi para menteri terkait, melalui otoritas masing-masing Kementerian. Sehingga, kejadian seperti saat ini seharusnya tidak perlu terjadi,” katanya, Rabu (27/4/2022) dikutip Medan Bisnis Daily.
Gulat mengatakan, jika Kementerian terkait langsung mengantisipasi, harga TBS tidak akan babak-belur. Dia pun menekankan, sawit itu tidak sama dengan kasus batubara atau nikel karena harga TBS itu harian.
“Saya hitung kerugian kami petani sawit sejak tanggal 23 April sampai hari Senin sore (25 April) sudah mencapai Rp 11,7 triliun. Karena selisih harga TBS kami sebelum tanggal 22 April berbanding setelahnya sekitar Rp 1.500 hingga Rp 1.850/kg,” kata Gulat.
Dia pun menyinggung soal Rapat Koordinasi Terbatas (Rakortas) yang dilaksanakan secara mendadak pada hari libur (24/4/2022) yang terasa sia-sia karena seperti berlalu begitu saja. Karena tindaklanjutnya hanya berupa surat selevel Direktur Jenderal (Dirjen), yang itupun Plt (Pelaksana Tugas Dirjen). Dan di lapangan, sekalipun sudah terbit surat edaran Plt Dirjenbun yang menegaskan bahwa yang dilarang ekspor itu hanya RBD Palm Olein (bahan baku minyak goreng sawit) dan minyak goreng sawit (MGS), sedangkan untuk CPO (crude palm oil) tidak ada larangan atau pembatasan ekspor, nyatanya tidak berpengaruh besar menetralkan kembali harga TBS petani. Karena roh permasalahannya bukan pada hal pelarangan ekspor CPO-nya.
Adakah pengaruh pelarangan ekspor CPO kepada serapan TBS petani? Jawabnya tidak. Karena berdasarkan data Gapki, persentase ekspor CPO pada tahun 2021 dari total ekspor berbahan baku sawit (oleokimia, biodisel, refined PKO, crude PKO, refined palm oil dan CPO), hanya di angka 7,14 %.
“Angka yang sangat kecil inilah yang selama ini menjadi dasar ‘pengamat’ atau spekulan pasar terhadap harga TBS petani. Tidak usah dilarangpun orang tak tertarik untuk ekspor CPO dengan beban Levy US$ 575/ton,” tegas Gulat.
Namun selama ini, kata Gulat, isu yang dibangun adalah ‘bahwa larangan ekspor CPO identik dengan pengurangan kebutuhan TBS dalam jumlah yang besar’ dan dan itu menyesatkan.
Tapi disayangkan sekali bahwa tidak satupun kementerian terkait yang meluruskan isu dan spekulasi yang beredar pasca Pidato Presiden Jokowi. Inilah titik utama dan roh permasalahannya kehancuran harga sawit rakyat. Hal inilah penyebab harga TBS petani jatuh ambruk sampai 60%. Karena dipermainkan isu yang dibangun.
“Jadi hancurnya harga TBS petani dengan alasan CPO dilarang ekspor hanya ‘modus’ semata untuk menghancurkan petani sawit. Kita bicara fakta, jangan membodoh-bodohi petani sawit, kami sudah generasi kedua, kami bisa berhitung,” tegas Gulat.
Sumber: Liputan6.com / Medan Bisnis Daily
Editor: Dahlan Batubara