Oleh: Nahdoh Fikriyyah Islam
Dosen dan Pengamat Politik
Peta Jalan Pendidikan Nasional 2020-2035 yang diluncurkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menuai polemik. Pasalnya, dalam draf sementara Peta Jalan Pendidikan Nasional 2020-2035, frasa ‘agama’ dihapus kemudian digantikan dengan akhlak dan budaya. Sekretaris Eksekutif Bidang Keadilan dan Perdamaian Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI), Pendeta Henrek Lokra, turut menanggapi Peta Jalan Pendidikan Nasional 2020-2035 yang menjadi polemik.
Ia mengkritik peta jalan Pendidikan Nasional 2020-2035 yang menghilangkan frasa agama. Menurut dia, frasa budaya dan akhlak tidak bisa menggantikan frasa agama itu sendiri. Menurut dia, PGI berpendapat jika agama harus lebih menekankan pada budi pekerti. Sebelumnya, Peta Jalan Pendidikan Nasional 2020-2035 mendapat kritik dari sejumlah ormas Islam. Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Prof Haedar Nashir, mengatakan, Peta Jalan Pendidikan Nasional 2020-2035 tidak sejalan dengan Pasal 31 UUD 1945.
Menurutnya, hilangnya frasa ‘agama’ merupakan bentuk melawan konstitusi (inkonstitusional). Menurut hierarki hukum, produk turunan kebijakan seperti peta jalan tidak boleh menyelisihi peraturan di atasnya, yakni peraturan pemerintah, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), UUD 1945, dan Pancasila. Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Pendidikan dan Kaderisasi, KH Abdullah Jaidi, mengatakan, agama merupakan tiang bangsa. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang didasarkan pada agama dan menjalankan syariatnya menurut agama masing-masing. Tanpa adanya agama, bangunan atau pendidikan yang sudah berjalan akan jatuh dan roboh. (republika.co.id. 08/03/2021)
Belum selesai masalah miras, kini ramai lagi persoalan pendidikan. Draf peta pendidikan nasional yang dinilai para ahli dan pengamat syarat dengan masalah yang sangat krusial, yaitu agama. Frasa “agama” raib dari peta pendidikan yang sedang digodok kementerian pendidikan.
Tentu saja hal itu menuai polemik di masyarakat, khususnya kalangan ahli dan pengamat. Pasalnya, frasa agama adalah ciri khas dari pendidikan nasional yang menandakan bahwa Indonesia adalah negara pancasila yang agamis bukan anti agama. Sayangnya, draf peta pendidikan yang menuai kontroversi ini mencoba mengangkangi dasar negara, dan UU Dasar 45 serta UU Sisdiknas seperti yang disampaikan oleh Professor Haidar Nashir, ketua PP Muhammadiyah.
Bahkan seperti yang disayangkan oleh komunitas PGI, sepakat bahwa frasa “agama” seharusnya tidak boleh hilang dari sistem pendidikan nasional. Sebab kata substitusi yang dipakai, yaitu budaya dan akhlak tidaklah sepenuhnya mewakili maksud dari agama. Karena agama menurtu PGI adalah urusan kepercayaan yang mampu melahirkan budi pekerti. Artinya, tanpa agama maka budi pekerti tidak akan lahir ,bukan?
Sungguh menjadi pertanyaan besar, apa yang ada dibenak para penyusun peta pendidikan tersebut? Apakah mereka sengaja atau memang tidak paham sedang memancing kericuhan? Bagaimana mungkin mereka yang mengaku beragama bisa lupa memasukkan agama mereka sebagai hal yang urgen membentuk karakter generasi bangsa dalam sistem pendidikan. Ataukah memang mereka sengaja ingin membawa pendidikan nasional menuju liberalisasi yang sempurna? Karena menganggap agama sebagai penghambat kemajuan pendidikan?
Jika demikian, maka negeri ini harus bersiap-siap semakin memasuki era liberalisasi di segala lini. Termasuk pendidikan yang kian tidak terkendali. Padahal sebelumnya, tanpa peta pendidikan yang baru, pendidikan nasional sudah tidak jelas arah. Ditambah adanya penghapusan frasa agama, maka peta perjalanan pendiidkan nasioanal akan semakin kehilangan arah.
Walaupun tim penyusun berkelit dan mengatakan akan mengkaji ulang serta berterima kasih telah memberikan kritik, namun yang harus terus dikawal adalah tujuan dari peta pendidikan tersebut, apakah menuju pendidikan yang berkualitas atau semakin tidak jelas.
Jika terjadi kesengajaan dalam menghilangkan frasa ‘agama” tersebut, maka tujuan tersembunyi dibaliknya adalah murni liberalisasi. Dan induk dari agenda tersebut karena negeri ini tengah mengadopsi sekulerisme kapitalis. Segala cabang sistem penopang negara harus sejalan dengan ide induknya, bukan?
Inilah bukti bahwa pendidikan nasional juga tidak bisa dipisahkan dari penerapan ideologi sekuler-kapitalis yang terus mencoba menjauhkan manusia dari keyakinannya (baca: agama). Bagi penganut sekulerisme, agama adalah salah satu penghambat kemajuan dunia. Maka agama cukup pada porsi privasi masing-masing. Tidak diperlukan dalam ranah umum apalagi pendidikan. Karena bercermin dari negara-negara barat yang dianggap maju karena mengesampingkan agama. Padahal, peradaban Barat yang dianggap maju itu hanyalah semu.
Sangat berbeda dengan pendidikan di bawah naungan Islam sebagai ideologi yang diadopsi. Kemajauan dan kejayaan yang diraih adalah hakiki. Karena selain mencerdaskan taraf berfikir/intelektual masyarakat, juga menjadikan manusia semakin taqwa. Dan kehidupan masyarakat dan bernegara terarah dan jelas tujuannya.
Oleh karena itu, menyelamatkan pendidikan nasional tidak bisa jika hanya dengan menghentikan peta pendidikan yang liberal ini saja. Tetapi harus dengan mendorong para penguasa untuk membuang sekulerisme-kapitalis dan mengambil Islam sebagai jalan alternatif untuk menyelamatkan kondisi bangsa yang sudah semakin hilang arahnya. Dengan penerapan syariat Islam, pendidikan terarah, generasi selamat, negara terjaga. Wallahu a’lam bissawab.
Comments
Komentar Anda