Oleh : Askolani Nasution
Budayawan Mandailing
Pengantar
Nama Mandailing acapkali diletakkan pada kerangka historis yang tidak sesuai. Peletakan itu tentu karena tidak pernah melalui kajian sejarah dan arkeologi yang relevan. Hal itu yang menyebabkan distorsi sosial dalam berbagai kebutuhan.
Historime Mandailing
Tentu tidak mudah untuk menentukan kapan manusia dan kebudayaan Mandailing muncul pertama kali di Sumatera.
Selain karena belum pernah ada penelitian yang mendalam tentang itu, juga nyaris tidak ada referensi yang bisa dijadikan patokan.
Apalagi selama ini, semua referensi tentang Mandailing hanya bersumber dari peneliti Barat.
Tragisnya, semua referensi Barat tidak pernah punya kehati-hatian untuk menggeneralisir semua kawasan Tapanuli sebagai bagian dari Batak.
Dan itu menimbulkan distorsi sosial yang luar biasa, termasuk dalam kasus SPO (2020).
Penyebutan nama Mandailing dalam literasi yang valid untuk dijadikan rujukan ilmiah, baru muncul dalam kitab “Negara Kertagama”, Pupuh XIII, tahun 1365 M.
Dalam naskah klasik itu nama Mandailing disebut sebagai satu kawasan bawahan dari Majapahit, selain daerah Jambi, Palembang, Toba, Darmasraya, dan daerah Kandis, Kahwas, Minangkabau, Siak, Rokan, Kampar, Pane Kampe, haru, Tamihang, Perlak dan Padang. Dalam penggalan itu, sama sekali tidak ada sebutan Batak.
Dalam referensi itu, Toba juga disebut. Tapi kata Batak, sama sekali tidak ada. Tentu, karena kata Batak sendiri baru muncul setelah Perang Dunia I, itu juga dalam referensi yang ditulis oleh orang Eropah.
Misalnya oleh Van Der Tuuk, penyusun “Tata Bahasa Batak” tahun 1860-an.
Istilah Batak baru populer sejak abad ke-20. Itu pun terbatas hanya untuk menyebut satu kawasan luas sesuai dengan misi yang diinginkan.
Misalnya “Batta-Mission” untuk menyebut satu kawasan zending masa sebelum Perang Dunia II. Jadi sama sekali tidak untuk menyebut karakteristik daerah tertentu. Tentang itu, bisa dibaca dalam tulisan Uli Kozok berjudul “Dari Batta ke Batak”.
Bahwa Mandailing memiliki berbagai peninggalan sejarah yang luar biasa tentu tidak diragukan lagi.
Beberapa sumber menyebutkan bahwa abad 1-5 Masehi, para pedagang Cina dan India sudah sering melakukan perjalanan ke kawasan Mandailing.
Sebuah catatan menyebut bahwa pada masa itu telah ada kerajaan-kerajaan merdeka di Sumatera, termasuk kerajaan Mandailing. Kerajaan Mandailing telah melakukan kontak dagang dengan Cina dan India terutama perdagangan emas, keramik, dan sutra.
Adanya bukti peninggalan keramik itu, sering ditemukan dalam eksplorasi situs-situs tua di Mandailing.
Pada masa itu, ada delapan rute perdagangan penting di Sumatera, salah satu adalah rute Pelabuhan Natal ke pedalaman Mandailing.
Perdagangan itu, selain membuka cakrawala berpikir juga menjadi sarana penyiaran agama-agama baru. Sebab, penaklukan secara otomatis mengubah adat-istiadat lokal sesuai dengan kebudayaan penakluk.
Bukti telah berdirinya peradaban Mandailing sejak masa klasik, ditunjukkan dengan berbagai temuan arkeologi.
Misalnya temuan Schnitger (1935) berupa Kursi Batu di Kelurahan Kotanopan, patung Sangkalon di Hutagodang, Batu Tagor di Panyabungan Tonga, makam kuno di Desa Singengu dan Pakantan.
Studi PV van Stein Callenfels (1920) juga menemukan keberadaan Arca Perunggu yang menggambarkan dua perempuan menunggangi seekor gajah, ditemukan di aliran sungai Panyabungan. Peradaban itu berkembang pada budaya megalitikum.
Periode Hindu-Budha Klasik di Mandailing menunjukkan bahwa kawasan ini telah menjadi kawasan budaya yang otonom pada masanya. Sumber emas di Sepanjang Sungai Batang Gadis, sungai terpenting yang melewati hampir seluruh dataran rendah di Mandailing, menjadi daya tarik bagi kerajaan-kerajaan besar. Tentang hal ini banyak dikupas arkeolog Perancis, Daniel Perret.
Selain kerjaan Chola, Barus, Majapahit, Singosari, kawasan Mandailing juga pernah dijajah dua kerajaan besar yang berpusat di Sumatera, yakni Dharmasraya dan Sriwijaya.
Dharmasraya meninggalkan candi Simangambat, candi Siabu, candi Biara Panyabungan, dan situs Hutasiantar sebagai jejak kekuasaannya pada abad 8-9 Masehi.
Bukti sejarah peninggalan masa Hindu-Budha Klasik di Mandailing adalah temuan situs dan artefak sepanjang Sungai Batang Gadis, Sungai Batang Angkola, dan hulu Sungai Barumun.
Peradaban sekitar daerah aliran sungai ini menjadi ciri masa Hindu-Budha Klasik. Karena itu ditemukan Candi Simangambat, Candi Siabu, dan Saba Pulo di sekitar Sungai Batang Angkola.
Di sekitar DAS Batang Gadis ditemukan Candi Biara Pidoli dan Situs Hutasiantar. Peradaban DAS Batang Angkola tersebut diungkap oleh arkeolog Belanda, Schnitger (1935).
Selain itu arkeolog Arkeolog Bosch (1930) menemukan arca Ganesha di Pasar Siabu yang berasal dari Candi Bonandolok.
Hal lain yang memicu tingginya peradaban dan daya tarik kawasan Mandailing adalah kandungan emas yang terdapat sepanjang Sungai Batang Gadis, terutama di sekitar Hutabargot.
Banyak catatan yang menyebut betapa emas dari kawasan ini di ekspor ke luar negeri melalui Dermaga Pantai Barat Mandailing setelah berperahu menyusuri sungai Batang Gadis.
Bukti penambangan emas di kawasan ini juga ditemukan dalam catatan Daniel Perret. Ia menyabut adanya Garabak ni Agom, tanda aktivitas pertambangan kono di sekitar Lumpatan Harimau pada koordinat 01 58 41 LU, 99 30 13 BT.
Penting kembali dipahami bahwa istilah Batak adalah hal yang sangat baru. Uli Kozok menyatakan : Menarik untuk dicatat bahwa ejaan “Batak” masih relatif baru. Pada abad ke 1900 orang Eropa menyebut orang Batak sebagai Batta, dan sekali-sekali, Bata. Hanya H.N. van der Tuuk yang menggunakan ejaan “Batak” sejak tahun 1860an. Istilah Batak baru mulai populer setelah tahun 1904.
Tentu saja banyak hal yang masih samar-samar menyangkut sejarah Mandailing. Misalnya apakah candi Simangambat diperuntukkan untuk masyarakat berkebudayaan Mandailing atau etnis Melayu. Sebab, beberapa prasasti yang ditemukan di sini, termasuk prasasti Gunung Sorik Marapi, memang ditulis dengan bahasa Melayu. Itu semua butuh kajian yang mendalam, termasuk oleh Balai Arkeologi.
Tapi substansinya bukan itu. Penyebutan Batak yang mensubordinasi Mandailing dalam SPO 2020, merupakan penyederhanaan yang amat dangkal. Referensi akademisnya rendah. Selain karena istilah “Batak” masih amat baru, istilah itu juga awalnya hanya digunakan oleh peneliti Barat. Dalam tataran adat dan budaya daerah Mandailing, dan saya yakin juga di sub-etnis Tapanuli lainnya, sama sekali tak ditemukan referensi tentang kata “Batak” dalam bahasa Ibu mereka.***
Comments
Komentar Anda