Site icon Mandailing Online

IDENTITAS MANDAILING DALAM TIGA LUKISAN BATARA LUBIS

Oleh: Bosman Batubara

Sebenarnya saya sudah lama mendengar nama pelukis satu ini. Saya tahu nama Batara Lubis sebab ia adalah pelukis dari Mandailing yang mendapat tempat dalam perbincangan seni lukis di Indonesia. Meskipun saya tertarik untuk mengenalnya lebih jauh, tetapi selama ini saya belum pernah sama sekali menyermati karayanya. Persentuhan saya dengan seni yang sangat intens di bidang sastra membuat saya agak terlambat untuk mengakses lukisan-lukisan Batara Lubis.

Setidaknya ada dua hal yang membuat saya ingin mengetahui lukisan-lukisan Batara Lubis lebih jauh. Pertama, sebagai sesama orang Mandailing yang sama-sama pernah tinggal di Yogyakarta, saya ingin tahu bagaimana ia menemukan kembali identitas kemandailingannya di tengah-tengah kehidupan budaya Jawa di Yogyakarta yang sangat kental.

Kedua, karena ia adalah anak raja di kampung saya dan sekaligus juga putra dari Gubernur pertama Sumatera Utara, Bapak Almarhum Raja Junjungan Lubis. Batara Lubis sendiri sebenarnya bukanlah nama seniman yang mengakar dalam keseharian orang Mandailing, itu kalau misalnya kita bandingkan dengan Willem Iskander. Dimana yang terakhir syair-syairnya seperti hidup di tengah-tengah masyarakat Mandailing. Tulisan ini akan mengeksplorasi identitas Mandailing dalam tiga lukisan Batara Lubis, yaitu lukisan yang berjudul Si Taing, Sipangan Anak Sipangan Boru dan Hutanagodang.


Memadangi lukisannya yang berjudul Si Taing, saya merasa bahwa lukisan itu mewujudkan imajinasi seorang laki-laki Mandailing tentang perempuan. Hal ini terlihat dari nama dan unsur-unsur yang ada dalam lukisan tersebut. Tentang nama lukisan ini, pelukisnya memberikan nama yang sangat tepat. Ada beberapa panggilan kepada anak gadis dalam budaya Batak, misalnya si Butet dan si Taing. Si Butet lebih banyak dipakai di daerah Tapanuli Utara dan Tengah, dan juga di beberapa tempat di Tapanuli Selatan dan Mandailing.

Jadi, meskipun domain si Butet ini adalah Tapanuli Utara, tetapi ia juga biasa dipakai dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Mandailing. Hal ini sangat berbeda dengan si Taing yang hanya dipakai di Mandailing. Secara sangat cerdas panggilan ini dipilih oleh sang pelukis untuk menjadi judul lukisannya.

Saya percaya—setidaknya dari apa yang saya alami secara personal—bahwa sosok perempuan seperti dalam lukisan Si Taing itu ada, atau setidaknya pernah berada, dalam kepala semua laki-laki Mandailing. Lukisan itu sepertinya benar-benar mewakili prototype perempuan Mandailing. Rambutnya yang ditutup dengan kerudung yang tampaknya terbuat dari kain sulaman, bukan jilbab yang besar. Hal ini sangat penting, terutama kalau dikaitkan dengan mode berbusana para perempuan Muslim sekarang.

Banyak perempuan muslim sekarang yang memakai tutup kepala berupa jilbab yang lebar sehingga hampir-hampir menyerupai penutup kepala perempuan Arab. Perempuan Mandailing tidak memakai penutup kepala seperti itu. Meskipun hampir seluruh masyarakat Mandailing adalah pemeluk agama Islam yang taat—kecuali beberapa keluarga di Pakantan yang masuk Kristen karena kedatangan Belanda—, tetapi dalam berbusana perempuan Mandailing memiliki karakter sendiri.

Karakter yang saya maksudkan adalah persilangan antara kebudayaan Arab itu sendiri dana nilai lokal budaya Mandailing. Tradisi menutup kepala bagi perempuan diadopsi dari budaya Arab. Tetapi dalam bagaimana kepala itu ditutup tidaklah saklak serupa dengan bagaimana perempuan Arab menutup kepalanya. Kalau perempuan Arab menutup semua kepalanya tanpa kecuali, akan tetapi perempuan Mandailing masih memperlihatkan lehernya yang putih. Pun penutup kepala itu terbuat dari kain tenunan yang berakar pada persilangan tradisi panjang tenunan Minangkabau dan Batak.

Warna kulitnya yang kuning langsat dan bersih, mata yang agak sipit, bibir yang agak kecil dan kelihatan cerewet, serta pipi dan rahang yang sedikit menonjol adalah personifikasi yang sangat pas bagi seorang perempuan Mandailing.

Lukisan kedua berjudul Sipangan Anak Sipangan Boru. Terus terang saya agak kecewa ketika mengetahui bahwa judul lukisan ini banyak diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris dengan “Eater of Children and Women”. Terutama karena salah satu kekuatan lukisan ini justru berada pada judulnya. Ada makna yang tidak masuk dalam proses penerjemahan itu, seperti yang akan kita lihat nanti.


Sipangan anak sipangan boru adalah pribahasa yang sering dipakai oleh masyarakat dalam kehidupan keseharian di tanah Mandailing. Agak susah menerjemahkannya ke bahasa lain. Barangkali tinjauan pada penggunaan pribahasa tersebut dalam kehidupan keseharian masyarakat di tanah Mandailing akan dapat menjelaskan makna pribahasa ini.

Pribahasa sipangan anak sipangan boru biasanya dipakai untuk menyatakan induk yang tidak becus merawat keturunannya, malah lebih jauh, sang induk memakan anaknya. Dalam keseharian peristiwa ini sering terjadi pada kucing peliharaan. Dalam beberapa kali kesempatan kita dapat menemukan seekor kucing peliharaan betina memakan anaknya sendiri.

Sang induk inilah kemudian yang sering disebut dengan mengatakan ia sebagai “sipangan anak sipangan boru” atau kalau diterjemahkan secara leksikal ke dalam Bahasa Inggris akan menjadi “Eater of Son and Daughter”. Orang-orang yang tidak bijak merawat anak-anaknya sering juga disebut sebagai sipangan anak sipangan boru.

Dengan demikian, pribahasa ini sebenarnya adalah salah satu sisi paling gelap dalam kehidupan masyarakat, dalam hal ini Mandailing. Karena hampir dapat dipastikan tidak ada induk yang tidak menyayangi anaknya. Kalaupun ia ada, barangkali akan sangat susah bagi manusia untuk memahaminya. Begitu gelapnya sisi itu, sehingga pribahasa itu sendiri sangat jarang digunakan di masyarakat.

Latar belakang tentang pribahasa sipangan anak sipangan boru menjadi pengantar yang menarik bagi kita untuk sedikit memahami kedirian pelukis Batar Lubis. Kita menjadi sadar bahwa sang pelukis bukanlah orang yang tertib, dalam artian tidak mau mengusik wilayah-wilayah yang cenderung merupakan sisi gelap masyarakatnya. Alih-alih ikut-ikutan menyembunyikan sisi gelap itu, sang pelukis malah menemukannya kembali dan mengreasikan ulang dalam bentuk lukisan.

Pribahasa sipangan anak sipangan boru ditampilkan dalam bentuk makhluk yang menyerupai seekor kucing yang sedang memangsa makhluk yang tampaknya serupa tetapi dalam ukuran yang lebih kecil, atau untuk memudahkan sebut saja “anaknya”. Selain makhluk menyerupai seekor kucing yang sedang memakan anaknya tersebut yang merupakan pusat dari lukisan ini, kita juga dapat melihat makhluk-makhluk imajinatif lain yang berwujud seperti kelabang berbisa dan makhluk panjang menyerupai ular dengan kaki-kaki yang halus. Semua ornamen yang ditampilkan dalam lukisan ini seolah-olah menegaskan sisi gelap dalam pribahasa sipangan anak sipangan boru itu.

Tak dapat diingkari, ketiga lukisan ini adalah simboliasasi dari keseahrian di Mandailing. Melalui simbol-simbol yang ditampilkan, pakaian yang ada dan pemberian judul, penulis dengan sangat cerdas mendefiniskan Mandailing dalam lukisan-lukisannya sebagai sebuah entitas tersendiri yang berbeda bahkan dari Batak sekalipun. Dan karenanya, barangkali agak susah bagi orang non-Mandailing untuk “menikmati” ketiga lukisan itu.

Lukisan ketiga berjudul Hutanagodang. Hutanagodang adalah nama kampung sang pelukis, secara leksikal berarti “kampung yang besar”. Pelukis dilahirkan dan dibesarkan di sana sebelum akhirnya memutuskan untuk meneruskan pendidikannya di Yogyakarta. Item-item yang dihadirkan dalam lukisan ini secara langsung merujuk ke pekarangan sebuah istana di perkampungan Mandailing, dalam hal ini Hutanagodang.


Kita dapat melihat baik “bagas godang” (rumah adat Mandailing) dan “sopo godang” lengkap dengan segala ornamen lukisannya pada bagian segitiga atap yang menghadap ke depan. Kehadiran tangga yang sangat tinggi baik di bagas godang dan sopo godang semakin memperkental identitas rumah adat itu. Dan tentu saja, yang tak kalah penting adalah kehadiran rangkaian pegunungan pada bagian latar belakang, yang hampir dapat dipastikan adalah beberapa buah dari igir yang terdapat pada rangkaian Bukit Barisan, dimana hal ini menambah keotentikan Hutanagodang yang ditampilkan dalam lukisan ini.***

Comments

Komentar Anda

Exit mobile version