Oleh : Elvi Hasan, SE
Guru SMA, tinggal di Padangsidimpuan
Normalnya, adanya negara dan pemerintahan agar hidup sejahtera. Namun seperti tahun-tahun sebelumnya, kesejahteraan itu gagal diwujudkan. Terlihat dari tidak dipenuhinya berbagai hajat hidup asasiyah dari masyarakat. Baik pangan, air bersih, sandang, pangan maupun perumahan dan pemukiman. Demikian juga kesehatan, pendidikan hingga energy dan transportasi.
Berbagai program neoliberal yang sebagian terhimpun di dalam program SDG (sustainable development goals) hanyalah menghasilkan kebaikan semu, kezaliman dan kesengsaraan melingkupi kehidupan publik. Ini diperparah oleh pemanfaatan teknologi RI 4 (e-government) yang langsung di atas lanskip system kehidupan sekuler kapitalistik. Berbagai janji pun diingkari. Mulai dari janji ketahanan pangan, realisasi target program sejuta rumah. Meski rezim menyuarakan keberhasilan, namun fakta justru berkata sebaliknya.
Fakta Berbicara
1. Puluhan jiwa menderita kelaparan.
Menurut staf lembaga pangan dunia FAO (Food and Agriculture Organization) untuk Indonesia, sekitar 20 juta penduduk Indonesia masuk kategori rawan pangan dan satu dari tiga anak Indonesia pengidap kekurangan gizi akut (stunting). Data GHI-Global Hunger Index Indonesia yang dilansir lembaga International Food Policy Research Institue (IFPRI), menunjukkan kelaparan di Indonesia selama dua tahun terakhir naik ke level serius.
Ironinya, semua itu terjadi di negeri yang dianugerahi Allah SWT begitu melimpah dengan sumber daya alam pertanian. Subhanallah, plasma nuftah untuk padi saja tidak kurang dari 12.000, yang 9.000 ada di tangan International Rice Researc Institute(IRRI). Ditambah lagi luas lahan baku sawah nasional 8,48 juta hektare pada tahun 1990 meski saat ini tinggal 7,1 hektar (cnnindonesia, 25/10). Juga melimpah cahaya matahari karena berada di garis khatulistiwa dan potensi sumber daya air pun melimpah. Potensi alam pertanian di darat dan di laut pun begitu besar. Negara dengan kepulauan terbesar di dunia dengan 17.508 pulau dan panjang garis pantai 81.000 km (kementrian KPP,Januari 2016).
2. Puluhan juta jiwa didera krisis air bersih dan mahalnya air bersih perpipaan.
Puluhan juta jiwa masyarakat Indonesia hidup dengan krisis air bersih, dan puluhan juta jiwa lain dibebani mahalnya harga air bersih perpipaan, sementara potensi sumber daya air melimpah dan teknologi yang maju.
Mirisnya, semua itu terjadi di tengah potensi sumber daya air berlimpah. Sekitar 21 % total sumber air di wilayah Asia-Pasific berada di wilayah Indonesia. Dengan ratusan daerah aliran sungai (DAS) dan cekungan.
3. Publik dibebani mahalnya harga rumah, puluhan juta jiwa hidup di hunian tak layak.
Harga rumah semakin mahal semakin menyulitkan masyarakat tinggal di tempat layak huni. Sebuah survey menunjukkan hanya 5 % generasi milineal yan bisa memiliki rumah di Jakarta. Jutaan keluarga tingal di rumah tak layak huni. Program sejuta rumah tidak pernah mencapai target. Sementara, potensi sumber daya alam untuk perumahan berlimpah, dan teknologinya berlimpah dan begitu maju.
4. Pelayanan kesehatan dilingkupi diskriminasi.
Indonesia berlimpah sumber pembiayaannya bagi pemenuhan layanan kesehatan publik, antara lain dari barang tambang misalnya, tambang emas Grasberg di Papua, memiliki deposit emas terbesar di dunia. Selain itu , SDM kesehatan juga tidak kurang dan teknologi kedokteran begitu maju. Namun , tidak terlihat sama sekali tanda-tanda krisis pelayanan kesehatan akan berakhir. Harga pelayanan kesehatan terus melangit. Sementara itu akses publik terhadap pelayanan kesehatan (jasa dokter, peralatan medis dan obat) dengan BPJS kesehatan tetap saja sulit.
5. Wajib Belajar 12 tahun bukan tanpa beban ekonomi bagi publik.
Kewajiban setiap orang belajar selama 12 tahun, yakni tingkat dasar dan menengah karena dijamin pemerintah alias gratis. Namun, kenyataannya tidaklah seindah itu. Beban biaya pendidikan yang mahal harus tetap dipikul masyarakat, khususnya pada pendidikan Menengah Atas dan SMK. Angka putus sekolah dan anak yang tidak sekolah masih tinggi, sementara itu angka pengangguran terdidik semakin membengkak.
Tidak sedikit guru yang digaji secara tidak patut. Sementara, sumber pembiayaan berupa potensi barang tambang begitu banyak. Berbagai program dalam bingkai neoliberal pada kenyataannya hanya memalingkan publik dari akar persolan, termasuk program bantuan operasional sekolah (BOS), program Indonesia pintar (PIP) dan program donasi. Ini belum membahas tujuan pendidikan berikut kurikulumnya.
6. Krisis fungsi pendidikan tinggi dan riset semakin dalam. Baik sebagai pemenuhan hak publik terhadap kebutuhan pendidikan maupun sebagai pilar peradaban.
Kapitalisasi semakin ditegaskan oleh program UKT (uang kuliah tunggal) dan BKT (biaya kuliah tunggal). Mahalnya biaya pendidikan mendorong berulangkali aksi dan unjuk rasa dilakukan mahasiswa, namun rezim tidak bergeming, publik justru diperdaya dengan program pendidikan gratis ala neoliberal, seperti beasiswa BiDikMisi sementara nilai UKT naik hingga lima belas persen. Hasilnya, di balik hingar bingar agenda WORLD CLASS UNIVERSITY hak publik terhadap pendidikan tinggi murah/gratis dan berkualitas terbaik tinggal mimpi.
7. Harga listrik, BBM dan gas membuat publik menjerit, serta puluhan juta tanpa akses.
Tragis, publik harus menjerit akibat mahalnya harga listrik, jutaan jiwa hidup tanpa akses memadai. Bagaimana tidak, sumber energy listrik begitu berlimpah di negeri ini. Ada puluhan blok migas tersebar dari ujung timur hingga ujung barat, potensi sumber daya air tidak terhitung, dan tidak sedikit potensi batu bara. Demikian pula ketersediaan teknologi kelistrikan berikut para teknokratnya.
Akibatnya, karena hampir semua peralatan kehidupan tergantung listrik bukan saja beratnya beban ekonomi yang harus dipikul publik, tapi juga kesulitan menjalani aktivitas sehari-hari hingga ancaman keselamatan jiwa.
8. Transportasi publik meski mahal, namun tanpa jaminan keamanan dan kenyamanan.
Tidak saja mahal, transportasi publik jauh dari sebutan aman dan nyaman. Puluhan bahkan ratusan ribu nyawa melayang sia-sia di darat, laut dan udara. Sementara sumber pembiayaan transportasi publik dari barang tambang berlimpah dan SDM trasportasi tersedia, teknologi trasportasi begitu maju.
Pembangunan infrastruktur transportasi yang begitu pesat tidak banyak bermanfaat untuk kesejahteraan publik.
Hampir semua model pembangunan insfrastruktur adalah jalan tol yang tidak saja bersifat diskriminatif namun juga harganya yang terus melangit. Terlebih lagi, tidak sulit menemukan moda trasportasi tidak layak jalan, ratusan armada bus tidak layak jalan, puluhan bahkan ratusan kecelakaan mematikan terjadi di jalan di darat, demikian pula di laut dan udara.
9. Kemajuan teknologi RI 4.0 hanya semakin memperdaya publik.
Pemanfaatan teknologi digital dalam pemenuhan hajat hidup publik termasuk program pemerintahan berbasis elektronik atau (SPBE) e government, sekilas terlihat maslahat, namun faktanya justru sebaliknya. Transportasi daring yang harganya relatif murah, cepat dan nyaman, namun tidaklah berarti hak trasportasi publik gratis/murah dan nyaman kembali, demikian pula program inteligen transportation. Digitalisasi system pertanian justru semakin menyeret petani ke dalam arus kapitalisasi yang lebih berbahaya, demikian pula dengan program online submission, program smart city, hanyalah untuk kapitalisasi perumahan.
Pada kementrian pendidikan dan kebudayaan e-Government meski terkesan high tech, namun menyisakan sejumlah persoalan serius. Program ujian berbasis computer misalnya, tidak sedikit orang tua yang terbebani disamping sekolah sendiri. Karena tidak memiliki infrastruktur yang memadai termasuk listrik. Demikian juga keharusan pendaftaran berbasis online. Ujungnya, orang miskin semakin tersisihkan.
Apa kita mau hidup seperti itu terus? Sementara kita hidup di atas kelimpahan sumber daya yang luar biasa.
Berfikir tentang perubahan adalah sesuatu yang urgen dalam kehidupan, karena perubahan artinya bergerak, dan bergerak adalah tandanya hidup. Sebaliknya, stag atau menerima kenyataan tanpa ada upaya perubahan, adalah tanda kematian. Dan dalam hubunganya dengan satu bangsa, tidak rela hidup dalam keburukan dan ingin berubah menjadi baik bahkan lebih baik dan terbaik, adalah kebaikan bagi mereka. Sebaliknya bangsa yang ingin bertahan dalam kondisi buruk dan pasrah ini dengan keadaan, pertanda mereka mengidap sakit yang berbahaya dan ditimpa musibah yang paling buruk.***