Rancangan Undang-Undang Larangan Minuman Beralkohol (RUU Larangan Minol) kembali marak diperbincangkan. Terutama setelah Badan Legislasi (Baleg) DPR RI memulai lagi proses pembahasan RUU tersebut dengan mendengar penjelasan dari pengusul pada tanggal 10 November 2020 lalu.
Poin penting dari draft RUU Larangan Minol adalah larangan bagi siapapun untuk memproduksi, memasukkan, menyimpan, mengedarkan dan/atau menjual serta mengkonsumsi minuman beralkohol (minuman keras). Namun, ketentuan ini tidak berlaku untuk ‘kepentingan terbatas’. Di antaranya untuk kepentingan adat, ritual keagamaan, wisatawan, farmasi dan tempat-tempat yang diizinkan oleh peraturan perundang-undangan.
Para pelanggar larangan-larangan di atas akan dipidana penjara minimal dua tahun. Paling lama sepuluh tahun. Masyarakat yang mengkonsumsi minol akan dipidana penjara minimal tiga bulan. Paling lama dua tahun.
Dalam draft RUU Larangan Minol disebutkan tujuan dari RUU tersebut adalah melindungi masyarakat dari dampak negatif yang ditimbulkan oleh minuman beralkohol; menumbuhkan kesadaran masyarakat mengenai bahaya minuman beralkohol; serta menciptakan ketertiban dan ketenteraman di masyarakat dari gangguan yang ditimbulkan oleh peminum minuman beralkohol.
RUU ini jelas tidak melarang secara total minuman beralkohol atau minuman keras. Namun demikian, Pemerintah dan beberapa fraksi di DPR (Golkar dan PDI-P) tetap tidak setuju dengan RUU Larangan Minol ini. Mereka menginginkan minuman beralkohol tidak dilarang. Cukup diatur saja. Inilah yang menyebabkan pembahasan dan pengesahan RUU ini mandek bertahun-tahun.
RUU Larangan Minol pertama kali diusulkan pada tahun 2015. Baru masuk kembali dalam daftar Prolegnas Prioritas tahun 2020 sebagai usul inisiatif dari 21 anggota DPR (Kompas.com, 17/11/2020).
Di sisi lain, dalam Undang-Undang (UU) Omnibus Law Cipta Kerja, Pemerintah mengubah Daftar Negatif Investasi (DNI) dengan membuka 14 bidang usaha untuk investasi. Di antara bidang usaha yang dibuka ialah miras/minol. Hal ini semakin memperjelas sikap dan posisi Pemerintah saat ini yang mendukung bisnis miras/minol.
Dengan demikian Pemerintah lebih mengacu pada kepentingan bisnis para kapitalis daripada kepentingan penjagaan moralitas rakyatnya. Inilah cermin dari penguasa sekular-kapitalistik dalam demokrasi. Selalu lebih berpihak pada kepentingan para kapitalis daripada kepentingan rakyat kebanyakan.
Kembalikan pada Standar Syariah
Manusia biasanya menilai sesuatu dari dampaknya, apakah mendatangkan manfaat atau madarat (dharar). Jika sesuatu dinilai bermanfaat, ia akan disebut baik (khayr). Sebaliknya, jika sesuatu dinilai mendatangkan madarat, ia akan disebut buruk (syarr).
Dalam konteks inilah, keberadaan standar untuk menilai sesuatu sangat penting. Standar inilah yang akan digunakan untuk menilai apakah sesuatu itu baik atau buruk.
Dalam sekularisme, standar baik atau buruk adalah hawa nafsu manusia. Tentu penggunaan standar hawa nafsu manusia untuk menilai baik-buruk sesuatu sangatlah berbahaya. Pasalnya, kadangkala manusia membenci sesuatu yang sejatinya baik. Sebaliknya, acapkali manusia menyukai sesuatu yang sejatinya malah buruk. Allah SWT berfirman:
وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
Boleh jadi kalian membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagi kalian. Boleh jadi pula kalian menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagi kalian. Allah mengetahui, sedangkan kalian tidak mengetahui (TQS al-Baqarah [2]: 216).
Kaum sekular memandang baik upaya memproduksi, mengedarkan, menjual dan mengkonsumsi minuman keras (miras) atau minuman beralkohol (minol). Alasan mereka, hal demikian bisa mendatangkan manfaat berupa pendapatan negara, menggerakkan sektor pariwisata, membuka lapangan kerja dan mendapatkan cukai. Mereka mengabaikan sama sekali dampak buruk miras/minol seperti: rusaknya moralitas, meningkatnya kriminalitas dan hancurnya kehidupan sosial. Semua itu bisa terjadi akibat pengaruh mengkonsumsi miras/minol. Sikap kaum sekular ini tentu sangat berbahaya karena akan menimbulkan kerusakan pada kehidupan manusia.
Yang lebih berbahaya lagi adalah bila standar sekularisme ini dilegalkan melalui mekanisme/sistem demokrasi. Misal DPR mengesahkan UU yang menegaskan bahwa memproduksi, mengedarkan, menjual dan mengkonsumsi miras/minol tidak dilarang. Hanya sebatas diatur dan diawasi. Hal ini akan menimbulkan kerusakan yang bersifat sistemik di tengah-tengah masyarakat.
Alhasil, penilaian baik (khayr) dan buruk (syarr) jelas tidak bisa diserahkan pada hawa nafsu manusia. Pasalnya, manusia tidak akan bisa menilai secara hakiki dampak manfaat maupun madarat sesuatu, yang ujungnya akan berisiko buruk untuk kehidupan manusia. Allah SWT berfirman:
وَلَوِ اتَّبَعَ الْحَقُّ أَهْوَاءَهُمْ لَفَسَدَتِ السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ بَلْ أَتَيْنَاهُمْ بِذِكْرِهِمْ فَهُمْ عَنْ ذِكْرِهِمْ مُعْرِضُونَ
Andai kebenaran itu mengikuti hawa nafsu mereka, pasti rusaklah langit dan bumi serta siapa saja yang ada di dalamnya. Akan tetapi, Kami telah mendatangkan peringatan kepada mereka (al-Quran), lalu mereka berpaling dari peringatan itu (TQS al-Mu’minun [23]: 71).
Islam memiliki standar yang bersifat pasti untuk menilai baik-buruknya sesuatu. Standar tersebut tidak lain adalah halal dan haram. Sesuatu yang menurut Islam halal, pasti baik (khayr). Sebaliknya, sesuatu yang menurut Islam haram, pasti buruk (syarr). Tanpa melihat lagi apakah sesuatu itu bermanfaat ataukah mendatangkan madarat menurut pandangan manusia. Dengan standar halal-haram ini seharusnya status hukum miras/minol dikembalikan pada penilaian syariah. Miras/minol jelas haram. Tak perlu lagi ada perselisihan.
Karena itu standar baik-buruk yang hakiki hanya dapat diterapkan jika manusia mengadopsi syariah Islam dalam kehidupannya. Allah SWT berfirman:
ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَىٰ شَرِيعَةٍ مِنَ الْأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ
Kemudian Kami menjadikan kamu berada di atas suatu syariah (peraturan) dari urusan (agama itu). Karena itulah ikutilah syariah itu dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak tahu (QS al-Jatsiyah [45]: 18).
Dengan kata lain, sesuatu dinilai baik (khayr) atau buruk (syarr) dilihat dari aspek ridha-tidaknya Allah SWT terhadap sesuatu tersebut. Jika Allah SWT meridhai sesuatu, berarti sesuatu itu baik. Sebaliknya, jika Allah SWT murka terhadap sesuatu, berarti sesuatu itu buruk. Karena itu Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani merumuskan kaidah:
اَلْخَيْرُ مَا أَرْضَاهُ اللهُ وَالشَّرُّ مَا أَسْخَطَهُ اللهُ
Kebaikan adalah apa saja yang Allah ridhai. Keburukan adalah apa saja yang Allah murkai.
Miras Haram!
Memproduksi, mengedarkan, menjual dan mengkonsumsi minuman keras (miras) atau minuman beralkohol (minol) jelas haram. Miras/minol terkategori buruk (syarr) serta pasti mendatangkan bahaya (dharar). Karena itu miras/minol harus dijauhi. Inilah yang Allah SWT tegaskan:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Hai orang-orang yang beriman, sungguh (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala dan mengundi nasib dengan panah adalah termasuk perbuatan setan. Karena itu jauhilah semua itu agar kalian mendapat keberuntungan (TQS al-Maidah [5]: 90).
Dalam pandangan syariah, minum khamr (miras/minol) merupakan kemaksiatan besar. Sanksi bagi pelakunya adalah dicambuk 40 kali dan bisa lebih dari itu. Islam juga melarang total semua hal yang terkait dengan khamr mulai dari pabrik produsen minuman beralkohol, distributor, toko yang menjual hingga konsumen (peminumnya). Rasulullah saw. bersabda:
لَعَنَ اللَّهُ الْخَمْرَ وَشَارِبَهَا وَسَاقِيَهَا وَبَائِعَهَا وَمُبْتَاعَهَا وَعَاصِرَهَا وَمُعْتَصِرَهَا وَحَامِلَهَا وَالْمَحْمُولَةَ إِلَيْهِ
Allah melaknat khamr, peminumnya, penuangnya, penjualnya, pembelinya, pemerasnya, orang yang mengambil hasil (keuntungan) dari perasannya, pengantarnya dan orang yang meminta diantarkan (HR Ahmad, Abu Daud dan Ibnu Majah).
Khatimah
Dalam sistem Islam, Pemerintah dan seluruh rakyat wajib mengacu pada syariah dalam menetapkan baik-buruk serta dalam menentukan boleh-tidaknya sesuatu beredar di tengah masyarakat. Bila sesuatu telah dinyatakan haram menurut syariah Islam, pasti ia akan menimbulkan bahaya (dharar) di tengah masyarakat. Miras/minol tentu termasuk di dalamnya.
Karena itu miras/minol harus dilarang secara total. Menolak larangan miras/minol secara total dengan alasan apapun, termasuk alasan bisnis/investasi, adalah tercela dan pasti mendatangkan azab Allah SWT.
WalLahu a’lam bi ash-shawwab. ***
Hikmah:
Rasulullah saw. bersabda:
إِنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِى الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِى الْحَرَامِ
Sungguh yang halal telah jelas dan yang haram pun telah jelas. Di antara keduanya ada perkara syubhat (samar) yang tidak diketahui oleh kebanyakan manusia. Siapa saja yang takut terhadap perkara syubhat, dia telah membersihkan agama dan kehormatannya. Siapa saja yang terjatuh pada perkara syubhat, berarti ia telah terjatuh pada keharaman. (HR Muslim).***
Dicopy dari : Buletin Kaffah edisi 169 (11 Rabiul Akhir 1442 H/27 November 2020 M)
Comments
Komentar Anda