Site icon Mandailing Online

JANGAN HANYA WAKAF, AMBIL SEMUA HUKUM SYARIAH

Pemerintah Indonesia baru-baru ini meluncurkan Gerakan Nasional Wakaf Uang (GNWU). Gerakan ini diklaim merupakan salah satu program pengembangan ekonomi syariah untuk mendukung percepatan pembangunan nasional. Presiden Jokowi menyebut potensi wakaf uang bisa mencapai Rp 188 triliun (Kumparan.com, 28/1/2021).

Seperti dikutip dari laman Badan Wakaf Indonesia (BWI) pada Kamis (28/1), BWI telah menunjuk sejumlah lembaga keuangan syariah untuk memudahkan masyarakat menyetorkan dana wakaf uang. Menurut BWI, wakaf uang juga bisa diinvestasikan melalui Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau Sukuk, yang imbalannya disalurkan oleh nazhir (pengelola dana dan kegiatan wakaf) untuk membiayai program sosial dan pemberdayaan ekonomi umat. Program ini disebut juga Cash Waqf Linked Sukuk (CWLS). Dengan demikian wakaf uang ini tidak akan masuk kas negara.

Namun demikian, rupanya gerakan wakaf ini menimbulkan pro dan kontra. Banyak penolakan dari masyarakat. Terutama karena ketidakpercayaan masyarakat pada sikap amanah penguasa di tengah ramainya korupsi Bansos, Jiwasraya hingga Asabri. Rekam jejak penguasa selama ini juga sering memojokkan ajaran Islam, khususnya yang berkaitan dengan syariah yang mengatur wilayah publik dan negara. Kriminalisasi kepada ulama dan aktivis Islam yang tidak sepaham dengan penguasa juga sering terjadi.

Hukum Wakaf Uang

Wakaf tunai (waqf an-nuqud, cash waqf) adalah wakaf dalam bentuk uang. Caranya dengan menjadikan uang wakaf sebagai modal dalam akad mudharabah, yang keuntungannya disalurkan sebagai wakaf, atau dengan meminjamkan uang dalam akad pinjaman (qardh) (Abu Su’ud Muhammad, Risalah bi Waqf al-Nuqud, hlm. 20-21; Fiqh al-Waqf fi al-Syari’ah al-Islamiyyah, 2/239).

Di Indonesia wakaf tunai telah difatwakan kebolehannya oleh Komisi Fatwa MUI Pusat tanggal 11 Mei 2002 dan telah mendapat legalitas berdasarkan UU No 41/2004 tentang Wakaf.

Sebenarnya ada perbedaan pendapat (khilafiyah) di kalangan ahli fikih (fuqaha) mengenai hukum wakaf tunai. Pertama, yang mengatakan wakaf tunai tidak sah. Ini adalah pendapat mayoritas fuqaha Hanafiyah, pendapat mazhab Syafii dan pendapat yang sahih di kalangan fuqaha Hanabilah dan Zaidiyyah.

Kedua, yang membolehkan wakaf tunai. Ini pendapat ulama Malikiyah, juga satu riwayat Imam Ahmad yang dipilih Ibnu Taimiyyah (Majmu’ al-Fatawa, 31/234) serta satu pendapat (qaul) di kalangan fuqaha Hanafiyah dan Hanabilah (Al-Mawsu’ah al-Fiqhiyyah, 44/167; Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, 10/298; Al-‘Ayyasyi Faddad, Masa`il fi Fiqh al-Waqf, hlm. 8-9).

Sumber perbedaan pendapat di atas sebenarnya terkait dengan uang sebagai barang wakaf, apakah bendanya tetap ada atau akan lenyap. Pendapat yang tak membolehkan beralasan, sebagaimana kata Imam Ibnu Qudamah, ”Karena wakaf itu adalah menahan harta pokok (al-ashl) dan memanfaatkan buahnya. Sesuatu yang tak dapat dimanfaatkan kecuali dengan lenyapnya sesuatu itu, tak sah wakafnya.” (Ibnu Qudamah, Al-Mughni, 8/229).

Adapun pendapat yang membolehkan mengatakan uang yang diwakafkan sebenarnya tak lenyap, karena disediakan penggantinya (badal), yaitu uang yang senilai (Abu Su’ud Muhammad, Risalah bi Waqf al-Nuqud, hlm. 31; Abdullah Tsamali, Waqf al-Nuqud, hlm. 11-12; Ali Muhammadi, Waqf al-Nuqud Fiqhuhu wa Anwa’uhu, hlm. 159-163; Ahmad Al-Haddad, Waqf al-Nuqud wa Istitsmaruha, hlm. 30-40).

Mengambil Sebagian, Meninggalkan Sebagian Lainnya

Hingga saat ini, kesan bahwa Pemerintah ramah terhadap sebagian hukum Islam dan mewaspadai hukum Islam yang lain makin terasa kuat. Pemerintah cenderung menerima syariah Islam yang bersifat pribadi dan keluarga, juga yang memiliki nilai finansial tertentu (semisal zakat, haji dan wakaf). Sebaliknya, Pemerintah tidak mau menerima dan cenderung memusuhi syariah Islam lainnya, seperti penerapan syariah Islam dalam bidang sosial, politik, hukum dan pemerintahan. Bahkan mereka yang berkomitmen dalam dakwah Islam dan menyerukan syariah secara kaffah dianggap intoleran dan radikal.

Padahal Islam adalah din yang sempurna. Menerapkan syariah Islam secara menyeluruh akan membawa kebaikan, karena Islam adalah solusi atas setiap persoalan yang ada. Allah SWT berfirman:

وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ

Kami telah menurunkan Kitab (al-Quran) kepada kamu sebagai penjelasan atas segala sesuatu; juga sebagai petunjuk, rahmat dan kabar gembira bagi kaum Muslim (TQS an-Nahl [16]: 89).

Abdullah Ibn Mas’ud ra. menjelaskan, sebagaimana dikutip oleh Al-Hafizh Ibn Katsir dalam tafsirnya, “Sungguh Dia (Allah) telah menjelaskan untuk kita semua ilmu dan semua hal.” (Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, IV/ 594).

Ayat ini menegaskan bahwa Allah SWT melalui al-Quran telah menjelaskan semua hal. Tentu termasuk hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan bernegara dan bermasyarakat.

Meninggalkan syariah, meski hanya sebagian, tentu akan mengakibatkan kesempitan hidup. Buktinya adalah defisit anggaran negara, utang negara mencapai lebih dari Rp 6000 triliun, kekayaan milik publik dikuasai oleh korporasi, korupsi menjamur di setiap lini, dll. Itu semua bagian kecil dari merebaknya kesempitan dan sirnanya keberkahan hidup akibat negara tidak dikelola berdasarkan syariah Islam. Allah SWT tegas berfirman:

وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى

Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku, bagi dia penghidupan yang sempit dan Kami akan mengumpulkan dirinya pada Hari Kiamat dalam keadaan buta (TQS Thaha [20]: 124).

Para ulama menafsirkan adz-dzikr dalam ayat di atas bermakna al-Quran dan as-Sunnah. Ibn ’Abbas r.a., menjelaskan makna “wa man a’radha ‘an dzikri” yakni berpaling dari mentauhidkan-Ku; dikatakan pula yakni mengingkari Kitab Suci-Ku dan (Sunnah) Rasul-Ku (Al-Fayruz Abadi, Tanwir al-Miqbas Min Tafsir Ibn ‘Abbas, hlm. 267).

Jangan Munafik

Kita semua tentu tidak boleh meniru kemunafikan Bani Israil. Mereka biasa memilih-milih mana hukum yang akan diambil sesuai dengan seleranya. Pola “prasmanan” dalam beragama seperti ini tidak bisa diterima dalam Islam. Allah SWT berfirman:

أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ فَمَا جَزَاءُ مَنْ يَفْعَلُ ذَلِكَ مِنْكُمْ إِلَّا خِزْيٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرَدُّونَ إِلَى أَشَدِّ الْعَذَابِ

Apakah kalian mengimani sebagian al-Kitab (Taurat) dan mengingkari sebagian yang lain? Tiada balasan bagi orang yang berbuat demikian di antara kalian, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada Hari Kiamat mereka dikembalikan pada siksa yang sangat berat (TQS al-Baqarah [2]: 85).

Di antara ciri orang munafik adalah menempuh berbagai upaya untuk menghancurkan narasi penegakan syariah dan hukum Allah ‘Azza wa Jalla demi menjaga eksistensi hukum buatan manusia. Demikian sebagaimana dinyatakan al-Quran (Lihat: QS an-Nisa’ [4]: 61).

Agar kita tidak tergolong ke dalam barisan kaum munafik, mau tidak mau, kita wajib mengamalkan seluruh syariah Islam (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 208).

Wakaf dan Peradaban

Wakaf, sebagaimana zakat, adalah ibadah. Bukan semata-mata instrumen ekonomi dan pembangunan. Namun demikian, kebaikannya telah turut andil dalam membangun ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Apalagi dalam sistem yang baik—seperti di era Kekhilafahan dulu—dan dikelola oleh orang-orang yang amanah, wakaf telah memberikan sumbangan luar biasa pada pembangunan peradaban umat manusia.

Tercatat dalam sejarah, bagaimana sumber air (sumur), pasar, rumah sakit, hingga sekolah-universitas dibangun dengan skema wakaf oleh umat Islam. Kebaikannya lestari hingga kini. Para Sahabat Nabi saw. dulu adalah generasi yang sangat banyak berwakaf. Menurut Imam Syafii, wakaf dari para Sahabat Nabi saw. itu tak terhitung jumlahnya. Wakaf Nabi saw., keluarga beliau (Ahlul Bait) dan kaum Muhajirin terkenal luas di Madinah dan Makkah. Lebih dari delapan puluh Sahabat dari kalangan Anshar juga mewakafkan sebagian besar hartanya. Harta wakaf mereka masih ada hingga sekarang (Al-Baihaqi, Ma’rifah as-Sunan wa al-Atsar, 10/233).

Tradisi berwakaf ini terus dipelihara oleh setiap generasi Muslim pasca Sahabat (Tabi’in), pasca Tabi’in (Tabi’ at-Tabi’in) dan era setelah mereka sepanjang sejarah Kekhilafahan Islam.

Salah satu wakaf terbesar dan terkenal, khususnya di bidang pendidikan, adalah pusat pendidikan Islam sekaligus Universitas Al-Azhar di Mesir. Lembaga yang didirikan pada tahun 970 M itu telah memberikan pendidikan gratis kepada pelajar dan mahasiswa dari seluruh penjuru dunia. Mulai dari jenjang pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. Universitas ini eksis hingga sekarang dan telah melahirkan ribuan bahkan ratusan ribu ulama terkemuka di seluruh dunia hingga saat ini.

Syariah Islam adalah Solusi

Pada akhirnya, kita harus meyakini bahwa bukan hanya zakat dan wakaf, syariah Islam seluruhnya akan menjadi solusi. Bukan hanya atas masalah ekonomi, tetapi juga atas seluruh problem kehidupan.

Dari kasus wakaf ini kita seharusnya belajar tentang ketaatan total kepada Allah SWT dan Rasul-Nya dengan mengamalkan semua syariah-Nya. Hal ini juga seharusnya menyadarkan kita akan urgensi adanya sistem yang bisa menerapkan syariah secara kaffah. Itulah Khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah sebagaimana yang diisyaratkan oleh Baginda Rasulullah saw. ***

 

Hikmah:

Umar bin al-Khaththab ra. berkata:

إِنَّا قَوْمٌ أَعَزَّنَا اللهُ بِالإِسْلامِ فَلَنْ نَبْتَغِيَ الْعِزَّةَ بِغَيْرِهِ

Kami adalah kaum yang Allah muliakan dengan Islam. Karena itu kami tak akan pernah mencari kemuliaan dengan selain Islam. (Al-Hakim, Al-Mustadrak, I/120).

 

Dicopy dari : Buletin Kaffah No. 179 (22 Jumada al-Akhirah 1442 H – 5 Februari 2021 M)

Comments

Komentar Anda

Exit mobile version