James T. Collins adalah ahli linguistik kelahiran Chicago, Amerika Serikat. Dia dikenal sebagai seorang linguis yang memfokuskan diri pada bidang linguistik komparatif, leksikografi, dan sosiolinguistik. Secara lebih khusus, Collins adalah tokoh yang begitu intens meneliti dalam bidang kajian bahasa Melayu. Karenanya, dia adalah nama yang melekat pada kajian sejarah bahasa Melayu.
Dalam mengurut tali bahasa Melayu, dia melakukan penelitian mengenai dialek-dialek bahasa di banyak tempat di Kepulauan Melayu, seperti Semenanjung, Sumatera, Borneo, Sulawesi, dan Maluku. Beberapa karya ilmiahnya pun menyejarah dan menjadi buku wajib bagi sesiapa yang memiliki minat pada alam bahasa Melayu. Di antara karyanya adalah Malay, World Language: A Short History (1996) yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu/Indonesia menjadi Bahasa Melayu Bahasa Dunia (2011). Selain itu, Collins juga menulis Asilulu-English Dictionary (2007), Borneo and The Homeland of the Malays: Four Essays (2006), dan Bahasa Sanskerta dan Bahasa Melayu(2009).
Dalam dunia akademik, cerdik pandai ini telah menjadi guru besar di banyak kampus, di antaranya di University of Chicago, Northern Illinois University, Leiden University, Goethe University, dan kini di Universiti Kebangsaan Malaysia. Kini Collins menjadi peneliti utama pada Institut Kajian Etnik, Universiti Kebangsaan Malaysia.
Pada Rabu (5/11), Collins datang ke Jakarta. Dia menjadi pembicara dalam forum Seminar Internasional “Pendidikan Berbasis Keragaman Budaya: Sumbangan Bahasa dan Sastra Indonesia” yang diselenggarakan oleh Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah. Saat itu, dia membawakan makalah berjudul “Keragaman Bahasa dan Kesepakatan Masyarakat: Pluralitas dan Komunikasi”.
Dalam kesempatan itu, Collins melontarkan banyak pemikiran. Di antaranya adalah kritik terhadap adanya wacana yang menyatakan bahasa Indonesia memiliki dua ragam, yakni ragam bahasa Indonesia formal dan ragam bahasa Indonesia non-formal. Pembelahan dua ragam ini sudah terjadi sejak lama dan disebutkan kembali pada 2013, yakni saat diadakannya Kongres Bahasa Indonesia yang kesepuluh di Jakarta.
“Pada tahun 1993, pada Kongres Bahasa Indonesia yang keenam, saya sudah mendengar wacana tentang dua ragam itu juga. Bayangkan, dua puluh tahun berlalu, tetapi masih saja hanya dua ragam itu yang disebutkan. Penutur bahasa Indonesia ada 250 juta orang tetapi hanya cuma dua ragam. Formal dan non-formal. Begitu terus, disebut berulang-ulang, bertahun-tahun. Ini dikotomi imajiner yang sungguh aneh. Alangkah cacatnya,” kritik guru besar berusia 68 tahun ini sambil tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepalanya.
Usai memberikan ceramah, Ken Miryam Vivekananda dari LenteraTimur.com berbincang-bincang dengan Collins seputar sejarah perjalanan bahasa Melayu, kaitannya dengan keislaman, sifatnya yang kosmopolit, dan nasib yang menimpanya kini setelah namanya ditukar menjadi bahasa Indonesia. Berikut cuplikan wawancara tersebut.
Profesor Collins, hari ini ada bahasa Indonesia dan ada bahasa Melayu. Apakah Anda melihat ini sebagai dua hal yang berbeda?
Kalau pada abad ke-17 dan ke-18, nama bahasa yang mempersatukan kepulauan ini adalah bahasa Melayu, sekarang namanya berubah menjadi bahasa Indonesia. Dari segi citra sosial, kedua bahasa itu sama.
Tadi Anda mengkritik pembagian ragam bahasa Indonesia. Bisa dijelaskan?
Bahasa pemersatu ini muncul dalam berbagai varian sesuai dengan ruang geografi atau lokasi, maupun ruang sosial atau etnisitas. Jadi, sebetulnya bahasa ini tidaklah sederhana sehingga hanya terbagi menjadi dua ragam, formal dan non formal saja. Bahasa ini sangat-sangat kompleks.
Bayangkan, mungkinkah bahasa sehari-hari yang tidak formal di Makassar, misalnya, sama dengan bahasa yang tidak formal di Jakarta? Adakah khotbah di Masjid Bukittinggi yang disampaikan dalam bahasa Indonesia yang formal sama dengan bahasa Indonesia formal yang digunakan dalam khotbah di gereja di Manado? Tentu saja berbeda.
Jadi, dikotomi yang dikhayalkan itu, yang konon hanya dua ragam itu, sangat simplistik. Itu dikotomi palsu. Harus disadari betul bahwa bahasa pemersatu memiliki varian yang begitu beragam.
Ada kecenderungan di Indonesia untuk mengatakan varian bahasa Melayu lokal sebagai bahasa Indonesia juga. Saya rasa, dari ilmu linguistik, sebetulnya itu kurang tepat. Kebanyakan varian Melayu lokal jelas berusia jauh lebih tua dari bahasa Indonesia yang baru disebut pada tahun 1928. Jadi varian Melayu lokal itu tidak diturunkan dari bahasa Indonesia. Walaupun sekarang ia dipengaruhi oleh bahasa Indonesia, tapi ia tidak diturunkan.
Hanya saja di sini memang ada faktor nasionalisme. Ada hasrat untuk menamakan semua bahasa yang beragam itu sebagai bahasa Indonesia. Ya, saya rasa itu tentu mengelirukan secara linguistik.
Penggantian nama bahasa berdasarkan faktor nasionalisme semacam itu apakah merupakah hal yang etis dan wajar?
Penggantian nama ini bisa terjadi atas petunjuk pemerintah, bisa juga atas hasrat nasionalisme penuturnya. Keduanya wajar-wajar saja terjadi, tergantung oleh apa yang dirasakan oleh penuturnya sendiri. Namun saya tidak bisa mengatakan soal etis atau tidak etis.
Yang jelas, ada pengembangan, diversifikasi, dan penyebaran bahasa Melayu selama berabad-abad. Dan, sekarang bahasa Melayu telah disepakati sebagai bahasa nasional, walaupun disebut dengan nama lain yang melambangkan negara Indonesia.
Jika penuturnya menganggap bahwa penggantian nama itu adalah hal yang wajar, maka tidak masalah.
Di Amerika pernah ada gerakan untuk mengganti nama bahasa Inggris menjadi bahasa Amerika. Tapi gerakan ini gagal. Mengapa? Karena orang secara psikologis telah terbiasa menyebut bahasa yang mereka gunakan dengan nama bahasa Inggris. Mereka dekat dengan karya-karya sastra Inggris, mereka masih membacanya sampai sekarang. Jadi, ketika ada upaya mau mengganti nama bahasa atas nama nasionalisme, penuturnya sendiri yang berkeberatan. Jadi semua persoalan nama bahasa ini harus dikembalikan pada kondisi psikologis penuturnya.
Buya Hamka dan juga Naquib al-Attas mengatakan bahasa Melayu sudah begitu senyawa dengan Islam. Dan, proses penggantian bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia ini terkait dengan nuansa Islam tersebut. Apa pendapat Anda mengenai ini?
Saya bukan ahli politik yang khusus meneliti soal itu. Tapi, bahwa bahasa Melayu bernuansakan Islam, itu hal yang amat jelas.
Sejak awal abad keenam belas, bahasa Melayu digunakan dengan meluas, jauh dari lokasi penemuan prasasti tertua di Sumatera Selatan. Bahasa Melayu tampil sebagai wahana yang utama, bahasa multietnik, dan mutifungsional di kepulauan ini. Namun, pada waktu yang sama, bahasa Melayu dikenal juga sebagai bahasa komunitas Islam yang membanggakan keberaksaraannya dalam ortografi Arab.
Jadi, dapat dikatakan bahwa sejak lima ratus tahun lalu, pemahaman tentang penutur bahasa Melayu sudah memperlihatkan sebuah dikotomi. Pada satu pihak, bahasa Melayu dipandang sebagai bahasa komunikasi antaretnik yang luas sekali distribusinya, tapi pada pihak lain, bahasa Melayu dilihat sebagai bahasa khusus komunitas Muslim yang memiliki sistem dan tradisi tulisan tersendiri.
Sebetulnya, seberapa jauh kemelekatan bahasa Melayu digunakan dalam keislaman?
Pada abad ketujuh belas, banyak dokumen yang tersimpan dalam arsip dan perpustakaan Eropa mengenai ini. Sebagian memang tulisan yang berkaitan dengan agama Islam karena ortografi Arab rapat hubungannya dengan agama Islam dan identitas Melayu. Umpamanya, Hikayat Nabi Yusuf, sebuah karangan Islamiah yang popular sekali. Dokumen ini disalin di Aceh pada tahun 1604.
Namun, pada abad ketujuh belas itu juga, tulisan Arab Melayu bukan hanya menjadi medium sastra Islam saja; fungsinya lebih luas dan lebih beragam. Hikayat Sri Rama yang ditulis sebelum tahun 1633 menampilkan legenda Hindu tetapi dalam tulisan Arab dengan tambahan beberapa referensi Islamiah sehingga buku ini juga dapat dimanfaatkan oleh masyarakat yang membaca bahasa Melayu yang berhuruf Arab.
Selain itu, fungsi bahasa Melayu juga menjadi tidak terbatas pada tulisan agama dan sastra saja. Misalnya, pada tahun 1602, dikeluarkan surat izin berdagang kepada kapal Inggris yang berlayar di wilayah kesultanan Aceh tentunya ditulis dalam ortografi Arab. Memang pada abad ketujuh belas, bahasa Melayu bertugas sebagai bahasa bisnis internasional dan sekaligus sebagai bahasa pemerintahan. Selaku bahasa pemerintahan, bahasa Melayu yang bertuliskan Arab juga digunakan dalam surat dan dokumen antarnegara.
Jadi, kemelekatan bahasa Melayu dengan Islam ini memang perlahan-lahan sudah lepas dengan sendirinya sejak abad ketujuh belas. Dengan kata lain, bahasa Melayu seakan-akan mulai tercabut dari keislaman di abad itu.
Apakah penggunaan aksara Latin juga menjadi faktor lepasnya ikatan bahasa Melayu dan keislaman itu?
Pada masa yang sama ketika banyak dokumen ditulis dalam bahasa Melayu yang berortografi Arab, bermunculan juga dokumen-dokumen bahasa Melayu yang ditulis dalam huruf Latin. Dua ortografi itu, Arab dan Latin, melambangkan dua identitas berbeda yang mulai hadir. Keduanya menggunakan bahasa Melayu, namun melambangkan identitas dua komunitas berbeda dan menyokong dua sistem keberaksaraannya masing-masing.
Ada komunitas dengan identitas yang dikatakan oleh Reid sebagai komunitas Melayu karena mereka berbahasa Melayu dan beragama Islam. Ada juga identitas berbeda, yakni komunitas yang juga berbahasa Melayu tapi beragama Kristen Protestan.
Bahasa Melayu memang mulai dipilih sebagai bahasa usaha misionaris Katolik pada awal abad keenam belas. Selanjutnya, setelah benteng dan jajahan Portugis di Maluku diserahkan kepada pihak Belanda pada awal ketujuh belas, semua pribumi Katolik dijadikan penganut Protestan. Akhirnya, bahasa Melayu pun diangkat juga oleh pendeta Belanda untuk segala terbitan agama Protestan.
Difusi dan diversitas bahasa Melayu yang hanya samar-samar pada abad keenam belas ini mulai memperlihatkan citra yang lebih tegas dan profil yang jelas pada abad ketujuh belas.
Pada tahun 1611, di Amsterdam, seorang pedagang Belanda Protestan yang alim, A.C. Ruyll menerbitkan buku pelajaran ABC, judulnya “Sourat ABC akan mengaydjer anack boudack” (ejaan dari judul buku tersebut ada di makalah Collins-red). Buku ini digunakan di Betawi. Buku ini merupakan pedoman pertama tentang ejaan bahasa Melayu yang ditulis dengan huruf Latin. Namun, buku ini bukan saja bertujuan mengajar baca-tulis, tetapi juga menyampaikan beberapa doa Kristen.
Lalu, selanjutnya, pada abad ke-17, Danckaerts dan pendeta-pendeta Belanda lain di Banda, Ambon, dan Batavia juga mulai menerbitkan berbagai buku pelajaran agama, koleksi khotbah Protestan, dan terutama terjemahan kitab-kitab agama Kristen.
Apakah hal semacam itu yang menandakan sifat kosmopolit bahasa Melayu?
Bisa dikatakan begitu. Dapat ditelusuri pula berbagai variasi bahasa Melayu yang lain, yakni yang sesuai dengan ruang geografi. Misalnya, terjemahan pelajaran agama Kristen di Ambon dan terjemahan dari teks asal yang sama di Batavia dengan varian Melayu lain. Atau bisa juga varian itu terjadi sesuai dengan ruang sosial, misalnya antara bentuk bahasa Melayu dalam surat perjanjian antarnegara dan bahasa Melayu dalam karya sastra Islam.
Jadi diversitas bahasa Melayu tak hanya melambangkan jurang sosial dan jarak spasial di kepulauan ini, tetapi juga menandakan dinamika bahasa Melayu yang berstatus kosmopolitan di wilayah itu.
Sifat kosmopolit inikah yang membuat bahasa Melayu dianggap sebagai bahasa pemersatu?
Kalau pembahasan sejarah bahasa Melayu dilanjutkan abad demi abad, profil bahasa Melayu akan tampak sebagai suatu fenomenon sosial yang kompleks sekali. Tapi, ternyata justru karena adanya kompleksitas itu, bahasa Melayu berperan sebagai lambang persatuan di kepulauan ini. Bahasa Melayu menjadi simbol dan agen persatuan.
Dalam buku saya, Wibawa Bahasa, saya sebutkan bahwa bahasa Melayu saat ini tetap masih bisa dianggap sebagai bahasa dunia. Dilihat dari jumlah penutur, jumlah negara yang menggunakannya sebagai bahasa nasional, dan jumlah negara di luar alam Melayu yang institusi pendidikannya mengajarkan bahasa Melayu, maka saya berpendapat sampai sekarang pun bahasa Melayu tetap menjadi bahasa dunia.
Menurut saya, hanya bahasa Melayu yang layak diangkat menjadi bahasa Indonesia karena sudah disepakati ratusan tahun sebelumnya.
Terkait dengan penukaran nama bahasa ini, bukankah orang di kepulauan ini lebih mengenal bahasa Melayu dalam batinnya ketimbang bahasa Indonesia?
Dalam keseharian, mereka memang menggunakan bahasa Melayu lokal yang tadi saya sebutkan. Tapi saya juga menemukan bahwa mereka menyadari ada perbedaan antara bahasa Indonesia dengan bahasa Melayu yang mereka gunakan. Mereka menyadari keberadaan bahasa Indonesia itu. Dan, sekali lagi, buat mereka yang sudah terbiasa dengan nasionalisme, akan lebih nyaman menyebutnya sebagai bahasa Indonesia, bukan bahasa Melayu.
Sebagian penutur bahasa Melayu varian lokal, menganggap bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa yang “kering”. Bagaimana pendapat Anda?
Ya, memang. Bahasa Indonesia kini pada umumnya digunakan untuk bahasa sekolah. Bahasa sekolah ini pasti jauh dari hati orang. Itu yang membuat kering. Kalau mau dekat dengan hati, orang akan gunakan bahasa yang sehari-hari dia gunakan, yakni bahasa daerahnya.
Oleh : Ken Miryam Vivekananda Fadlil
Dicopy dari : Lentera Timur.com
Comments
Komentar Anda