Site icon Mandailing Online

KEK, realistis dan ilutif

 

Peta sebaran KEK yang diupdate Dewan Nasional KEK RI tanggal 17 Februari 2020

Siapapun pasti ingin ada KEK di wilayahnya.

Daerah manapun pasti ingin ada KEK di daerahnya.

Kapitalis macammanapun pasti ingin ada KEK di basis usahanya.

Rakyat manapun pasti setuju ada KEK di kabupaten mereka.

Harapan itu wajar. Keingingan itu alamiah.

Karena KEK (Kawasan Ekonomi Khusus) akan menguntungkan dari sisi pengembangan ekonomi.

Tetapi, berkhayal dan berilusi justru tidak sehat. Apalagi menghayalkan yang sulit terwujud.

Bahayanya justru ketika kepala daerah berilusi. Lalu memaksa rakyat ikut berilusi.

Ketika pemaksaan itu terjadi, maka bukan saja si bupati yang tidak realistis, rakyat yang termakan ilusi pun akan terjebak pada emosi ilutif.

Lalu, ketika ada pihak yang memiliki rasionalitas dan berpandangan realistis maka akan dituduh tidak  mendukung KEK, tidak mendukung pertumbuhan ekonomi.

Di sini, akan terjadi bentrok dua kubu : kubu ilutif versus kubu rasional.

Sesungguhnya, yang menetapkan layak tidaknya KEK di suatu kawasan itu adalah Dewan Nasional Kawasan Ekonomi Khusus Indonesia. Dewan ini berada di bawah komando Menko Perekonomian.

Daerah dibolehkan mengusulkan daerahnya untuk dijadikan KEK. Tetapi Dewan KEK lah yang menentukan “ya” atau “tidak” KEK di daerah itu.

Bagaimana Dewan Nasional KEK menentukan “ya” atau “tidak” itu?

Setidaknya ada dua unsur yang memberi masukan kepada Dewan Nasional KEK.

Pertama, unsur akademisi. Unsur ini adalah lembaga kajian yang di dalamnya diisi banyak ahli yang melakukan rangkaian penelitian, kajian, survey dan study kelayakan terhadap kawasan-kawasan di Indonesia tentang layak tidaknya dijadikan KEK.

Kedua, unsur bisnis. Unsur ini adalah kalangan pelaku usaha atau investor-investor. Kalangan inilah kelak yang akan menjalankan aktivitas industri dan aktivitas perdagangan di kawasan KEK. Karena esensi utama KEK adalah fasilitas yang disediakan kepada para pelaku usaha.

Artinya, Pemerintah Indonesia tidak akan mendirikan KEK di suatu kawasan jika investor tak mau berinvestasi di KEK itu.

Oleh karena itu, KEK tak bisa ditetapkan semudah membalik goreng pisang.

KEK tak semudah mengolah tipu-tipu administrasi. Karena KEK berhubungan dengan kalangan pelaku dunia usaha. Bisnis itu matematis.

Pelaku bisnis melihat kelayakan KEK itu dari sudut hitung matematis dan memutuskan secara realistis.

Dan Dewan KEK juga wajib melihat KEK dari sudut hitung matematis dan memutuskan secara realistis.

Dan, dari sisi letak geografis tentunya pemerintah Indonesia telah mengkaji jalur perdagangan secara realistis pula.

Sudut pandang realistis pemerintah itu adalah jalur pelayaran Selat Malaka yang berada di Pantai Timur Sumatera.

Di situs resmi kek.go.id  pada sub item Letak Geografis disebutkan Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki koneksi langsung dengan pasar terbesar dunia dengan Selat Malaka sebagai jalur laut paling aktif di dunia dan menjadi rute utama pelayaran global.

Apakah Batahan di Mandailing Natal (Madina) yang berada di pantai barat layak dijadikan KEK? Tentu Dewan Nasional KEK yang akan menjawabnya.

Saya pernah membayangkan siapapun bupati Madina hasil Pilkada 2020 bisa menyampaikan hal-hal yang realistis itu kepada rakyat. Agar rakyat di Pantai Barat Madina bisa menerima wacana KEK itu secara realistis pula.

NELAYAN

Saya juga membayangkan seandainya Pemkab Madina tidak menutup mata terhadap realita nelayan di Pantai Barat.

Bahwa daratan Pantai Barat itu sudah dikuasai para kapitalis yang memperoleh konsesi lahan untuk perkebunan sawit.

Rakyat asli Pantai Barat sudah bagaikan penonton di tanah sendiri.

Untunglah laut pantai barat tak masuk dalam kekuasaan para kapitalis. Sehingga nelayan masih bebas di wilayah sendiri.

Tetapi, kapal dan fasilitas tangkap ikan masih sederhana. Pun tak didukung fasilitas lainnya seperti pabrik es balok, TPI dan lainnya.

Nelayan di Pantai Barat seolah dibiarkan sendirian karena minim langkah penguatan.

Kondisi itu menyebabkan rakyat nelayan sulit menuju sejahtera. Padahal peluang itu ada sebagaimana nelayan Australia yang hidup makmur.

Seandainya pemimpin daerah memiliki kemampuan dan kemauan yang keras menguatkan nelayan, niscaya rakyat nelayan bisa makmur.

Asalkan ada political will dari pemimpim daerah maka mensejahterakan nelayan itu adalah program realistis yang mudah terrealisasi dalam beberapa tahun anggaran.

Karena penguatan nelayan itu lebih mudah ketimbang menunggu KEK.

Untuk posisi ini, saya melihat Atika Azmi Utammi Nasution,B.AppFin,MFin sangat realistis melihat perioritas pengembangan ekonomi rakyat di Pantai Barat. (Dahlan Batubara)

Comments

Komentar Anda

Exit mobile version