Artikel

Kekerasan Seksual Merajalela, Siapa Harus Bertanggung Jawab?

Oleh: Mariani Siregar M.Pd.I
Dosen Pendidikan Islam

Warga Kota Padangsidimpuan digemparkan dengan kasus seorang siswi SMU yang dikabarkan menjadi korban kekerasan seksual (pemerkosaan) oleh seorang supir angkot di dalam angkot tersangka/pelaku.

Menurut keterangan ataupun laporan Kasi Humas, Polres Padangsidimpuan, AKP K Sinaga menjelaskan kronologi kejadian yang menimpa siswi SMU tersebut ketika pulang sekolah menaiki angkot lalu tiba-tiba sopir angkot memutar angkotnya ke arah yang bukan tujuan semestinya.

Pelaku menurut AKP K Sinaga mengancam korban dengan pisau untuk tidak melakukan perlawanan. Kasus ini menimbulkan keprihatinan di kalangan masyarakat tentang keamanan dan keselamatan perempuan di transportasi umum. Pihak berwajib mengimbau masyarakat untuk selalu waspada dan melaporkan kejadian mencurigakan kepada pihak berwajib. (https://mediaindonesia.com/nusantara/761248/siswi-smu-di-padangsidimpuan-sumut-jadi-korban-pemerkosaan-di-angkot#goog_rewarded)

Pasca peristiwa tersebut menurut penuturan beberapa masyarakat akhirnya mengakibatkan ketakutan untuk menggunakan kenderaan umum, khususnya angkot yang selama ini menjadi alat transportasi sehari-hari dan tidak pernah ada kejadian serupa sebelumnya.

Warga mengaku semakin waspada dan tidak sembarangan untuk menaiki angkutan umum, terlebih jika dalam angkutan umum sunyi atau tidak ada penumpang lain di dalamnya.

Namun pertanyannya kemudian adalah, apakah berhenti menaiki angkot menjadi solusi bagi masyarakat? Lalu, bagaimana dengan mereka yang mencari nafkah menjadi seorang supir angkot dengan trayek yang sama seperti pelaku? Patutkah mereka kena imbas atau sanksi sosial? Seperti apa seharusnya pengaturan angkutan umum agar aman bagi masyarakat? Serta siapa yang memiliki tanggung jawab utama dalam menjamin keamanaan sosial masyarakat?

Sekulerisme Adalah Penyebab Utama Pemerkosaan dan Perzinahan

Peristiwa kekerasan seksual atau pemerkosaan yang menimpa siswi SMU oleh supir angkot di Kota Padangsidimpuan seperti dalam pemberitaan yang viral, bukanlah kasus pertama di negeri ini. Baik dengan motif kekerasan maupun iming-iming sesuatu, pelecehan seksual telah marak tejadi. Tentu masyarakat juga pernah mendengar pelecehan di dunia remaja atau generasi muda yang sudah tidak terhitung lagi jumlahnya.

Selain itu, zina juga dianggap bukanlah dosa besar hingga para pelaku sangat mudah melancarkan aksinya tanpa berfikir panjang dampak yang akan ditimbulkan, baik di dunia maupun akhirat.

Terkait kasus yang menimpa siswi di Kota Padangsidimpuan, memang sedikit terasa janggal dengan istilah pemerkosaan atau kekerasan seksual. Karena pertama, dari sisi pemberitaan hanya mengumbar pelaku dan tidak ada sedikitpun menyebutkan identitas korban walau hanya sekedar inisial. Bahkan korban juga tidak ditunjukkan atau sekedar mengambil pengakuannya ke publik untuk diliput oleh media.

Kedua, sebagian pembaca yang kritis tentu betanya-tanya, bila dalam angkot yang juga tidak dijelaskan waktu kejadian pagi, siang,sore, hanya pulang sekolah tanpa keterangan waktu jelas. Apakah tidak memungkinkan korban berteriak atau mencoba perlawanan saat angkot diputarkan ke arah yang tidak seharusnya? Atau adakah korban mengidap keterbelakangan mental hingga tidak bisa melawan?

Ketiga, bagaimana jika ternyata itu bukan kasus pemerkosaan melainkan perzinahan yang suka sama suka? Tetapi tidak mendapatkan restu dari salah satu pihak keluarga, dalam hal ini tentu saja pihak keluarga perempuan (yang mengaku korban lalu melaporkan pasangannnya.

Pertanyaan dan ketiga kemungkinan tersebut sah-sah saja muncul di benak beberapa kritikus kasus. Akan tetapi, terlepas apakah kasus pemerkosaan atau perzinahan, yang menjadi fokus perhatian oleh negara dan masyarakat seharusnya adalah, siapa yang menjadi penanggung jawab utama dalam menjamin keamanan masyarakat saat dalam kehidupan publik, seperti angkutan umum? Sehingga pemerkosaan dan perzinahan tidak merajelala di kalangan masyarakat.

Sebelum mencari penanggung jawab, persoalan pertama yang harus dipahami dengan benar adalah akar utama penyebabnya. Kekerasan atau pelecehan seksual dan perzinahan adalah  kasus yang menimpa tatanan sosial atau pergaulan. Kesalahan mindset dalam memahaminya akan mengakibatkan fatal dan fasad (kerusakan).

Adapun kekerasan atau pelecehan seksual dan zina yang terus meningkat kasusnya di masyarakat adalah akibat tertanamnya pemikiran sekuler (fasluddin a’anil hayat) yang menjadi cara pandang seseoang dalam berinteraksi sosial atau bergaul.

Paham sekuler (fashluddin ‘anil hayat) maksudnya adalah paham atau pemikiran atau ide yang memisahkan aturan agama (Islam) dengan perbuatan. Bagi penganut yang menggandrungi sekulerisme ciri dasarnya adalah cenderung mudah tersinggung ketika agama (Islam) dikaitkan dengan perbuatannya.

Misalnya saja pergaulan, jika dijelaskan harus ada pengaturan interaksi lawan jenis agar tidak terjadi pergaulan bebas (pacaran dan zina) karena dilarang oleh Allah swt, biasanya direspon dengan narasi-narasi yang mengelak dan mengalihkan ke pembahasan hak-hak privasi. Sekalipun para perespon adalah muslim, tetapi enggan menerima ajaran syariat karena sudah tertular virus sekulerisme.

Sekulerisme adalah persoalan utama yang kini sedang melanda kaum muslim. Sebab dengan pemahaman sekuler, ajaran Islam diberlakukan layaknya prasmanan. Bila dirasa menguntungkan atau cocok untuk dirinya, daerahnya atau masyarakatnya maka diambil. Sebaliknya, jika dianggap merugikan dan tidak cocok dengan kebiasaan  setempat, Islam disingkirkan dan ditinggalkan.

Seolah-olah, kaum sekuler menganggap Islam bukanlah agama yang sempurna dan mampu memberikan kehidupan yang lebih baik di dunia. Justru mereka menganggap, kepatuhan atau ketaatan kepada Islam adalah sebuah candu bahkan keterbelakangan.

Padahal, kerusakan-kerusakan yang terjadi seperti pergaulan bebas yang mengakibatkan pelecehan, zina, hamil luar nikah, aborsi, hingga pembunuhan kekasih haram, merupakan bentuk-bentuk fasad yang fatal akibat menanggalkan Islam dan tidak menjadikannya sebagai rujukan hidup. Walhasil, manusia kehilangan arah dan semaunya dalam mengatur dirinya, padahal tidak mampu.

Salah satu fungsi agama diturunkan adalah sebagai pengatur untuk keselamatan. Pada dasarnya, manusia tidak diberikan kemampuan untuk menjaga dirinya tanpa adanya petunjuk yang sahih dari Sang Pencipta manusia, alam semesta, dan kehidupan yaitu Allah swt.

Ketika Islam ditinggalkan, maka nafsu akan menjadi tuntunan perilaku. Halal-haram menjadi tidak masalah. Itulah yang membentuk perilaku liar dan mudah tergoda oleh setan. Adab pun hilang, hingga akal juga tumpul. Dengan begitu, manusia akan mudah merusak kehidupan dan alam semesta. Pemerkosaan dan zina merampas kehormatan manusia, pembunuhan menghilangkan nyawa  tanpa hak, korupsi menzalimi hak-hak masyarakat dalam suatu negara, riswah (suap) merampas kesempatan para ahlinya atau mengaburkan suatu perkara. Kesemuanya adalah contoh-contoh perilaku sekuler yang mengaku beragama (Islam) tetapi juga bermaksiat atau jadi habit melanggar aturan.

Islam Mengatur Pegaulan dengan Sempurna

Kembali pada persoalan kerusakan pergaulan yang mengundang pelecehan seksual, maka tidak ada aturan ataupun sistem kehidupan yang mampu menyelesaikannya kecuali Islam.

Kasus-kasus kerusakan pergaulan yang terjadi adalah bentuk perpanjangan sekulerisme yang memandang kehidupan harus dijalani dengan bebas. Perempuan bebas kemanapun dan bersama siapapun. Begitu juga dengan laki-laki. Tidak perlu ada aturan-aturan khusus.

Syaikhul Islam Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitabnya Sistem Pergaulan dalam Islam (An-Nidzamul Ijtima’iy), bab Pengaturan Hubungan Pria dan Wanita halaman 35-36 menuliskan,
“Islam telah membatasi hubungan lawan jenis atau hubungan seksual antara pria dan wanita hanya dengan perkawinan pemilikan hamba sahaya. Sebaliknya, Islam telah menetapkan hubungan lawan jenis selain dari dua jalan tersebut adalah dosa besar yang layak dihukum dengan ganjaran paling keras”.

Maka, untuk menjaga agar interaksi pria-wanita tetap aman dan selamat diperlukan pengaturan lebih rinci dalam kehidupan sosial. Contoh perkara angkutan umum, agar para lelaki tidak menandang wanita dengan bebas, seharusnya ada kebijakan dari penguasa untuk memisahkan angkutan umum antara laki-laki dan wanita. Baik secara keseluruhan maupun dengan membuat model angkot dengan jarak terpisah yang bisa menghindari desak-desakan atau gesekan sesama penumpang bukan mahram.

Jika transpotasi terpisah, tentunya menjadi jalan pencegah terjadinya interaksi liar (bebas) antara laki-laki dan wanita. Bukankah hasrat seksual itu muncul karena seringnya interaksi langsung dan berkelanjutan? Dan itulah tabiatnya naluri. Muncul ketika ada rangsangan dari luar. Sehingga rangsangan tersebut harus diminimalisir dengan aturan.

Laki-laki dan wanita dalam Islam memiliki kehidupan masing-masing yang lebih banyak diatur tanpa perlu terjadi pertemuan secara langsung. Islam tidak mutlak membatasi atau mengharamkan adanya interaksi antara laki-laki dan perempuan. Sebab manusia Allah ciptakan tujuannya untuk saling ta’awun (tolong-menolong). Tentunya dalam perkara agama dan yang dibolehkan. Contohnya, interaksi antara guru-murid dalam dunia pendidikan. Boleh ada pertemuan antara guru laki-laki dan siswa perempuan atau sebaliknya dalam kelas atau proses pembelajaran. Tetapi tidak untuk jalan-jalan atau darmawisata. Sebab ikhtilat (campur-baur hukumnya haram).

Begitupun dalam dunia kerja. Interaksi sesama karyawan/pekerja, atau atasan-bawahan boleh selama dalam perkara pekerjaan, bukan urusan privat. Jual-beli di pasar juga boleh terjadi transaksi antara laki-laki dan wanita sebatas jual-beli, tidak sampai kenalan pribadi.

Jika interaksi sosial atau tatanan pergaulan dijalankan sesuai aturan Islam, maka kasus-kasus mengerikan pelecehan seksual akan jauh dari kehidupan masyarakat khususnya umat Islam. Wanita akan terjaga kehormatannya, laki-laki akan terjaga pandangannya dengan mengamalkan wajibnya ghadul bashar (menundukkan pandangan).

Selain pengaturan interaksi, Islam juga mengatur pakaian dan penampilan agar tidak mengundang syahwat lelaki yang bisa membangkitkan naluri seksualnya. Pelengkapnya, sanksi bagi para pelaku pelecehan seksual maupun zina akan diterapkan sebagai pencegah juga dan penebus dosa pelaku di akhirat.

Tidak tanggung-tanggung, dosa zina atau pemerkosaan hukumannya bisa rajam bagi yang muhson (sudah menikah), dan jilid (cambuk dan diasingkan) bagi yang ghoiru muhson (belum menikah). itulah hukuman yang wajar dan manusiawi karena dampak zina dan pemerkosaan adalah kerusakan dan mengundang azab.

Oleh karena itu, satu-satunya sistem yang mampu menjamin ketentraman hidup masyarkat hanyalah sistem Islam. Dan penerapan Islam tentunya harus ditopang oleh negara yang kuat dan berdaulat seperti khilafah islamiyah di masa lampau. Karena khilafahlah yang mampu menerapkan syariat Islam secara totalitas dan juga sebagai sistem yang diridoi oleh Allah swt. Sehinggga kesimpulannya, penanggung jawab utama keselamatan sosial adalah negara yang wajib menjadi perisai rakyat dengan syariat kafah. Allahu a’alam bissawab.

Comments

Komentar Anda

Silahkan Anda Beri Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses