Hasil survei KPK dan TII secara bersamaan menempatkan Medan sebagai kota yang korup dan buruk pelayanan publiknya
Tanggal 1 November 2010 KPK telah mempublikasikan hasil survei terhadap instansi pusat, instansi vertikal dan pemerintah daerah yang disebut Indeks Integritas Nasional (IIN) 2010. Ini merupakan indeks gabungan antara nilai rata-rata di instansi pusat, instansi vertikal dan Pemko.
Hasil suveri menunjukkan nilai IIN tahun ini hanya 5,42 atau lebih rendah daripada tahun sebelumnya (6,5). Dari hasil survei IIN 22 kota di Indonesia diketahui bahwa yang paling baik sektor pelayanan publiknya adalah Surabaya dan Samarinda dan yang paling buruk Kota Bandar Lampung (4,54) dan Medan (4,44). Hasil survei yang dilakukan KPK dalam bentuk IIN, respondennya adalah masyarakat yang menggunakan pelayanan publik.
KPK menetapkan nilai indeks 6 sebagai batas minimal indeks integritas. Semakin tinggi nilai indeks (maks 10), semakin bagus pula integritas Pemko. Adapun yang menjadi unit layanan publi yang disuvei adalah pembuatan KTP, Penerbitan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) dan Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Indeks yang dihasilkan melalui survei tersebut sangat berhubungan dengan praktik korupsi.
Penilaian survei dilakukan dengan cara menggabungkan dua unsur, pengalaman integritas dan pengalaman responden terhadap tingkat korupsi yang dialaminya. Juga potensial integritas yang merefleksikan faktor-faktor yang berpotensi menyebabkan terjadinya korupsi berdasarkan penilaian responden sebagai penerima layanan dari Pemko.
Sembilan hari kemudian Selasa 9 November 2010 Transparency International Indonesia (TII) kembali melansir Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2010 terhadap 50 kota di Indonesia. Berdasarkan hasil survei, Denpansar berpredikat sebagai kota terbersih dengan IPK sebesar 6,71. Tegal dengan IPK 6,26 dan Solo dengan IPK 6,0. Adapun Pekanbaru dan Cirebon berpredikat sebagai kota terkorup.
Dari 50 kota yang disurvei, kebetulan ada 4 kota berada di Sumatera Utara, yaitu Kota Sibolga menduduki peringkat 18 dengan IPK 5,15, Kota Pematangsiantar peringkat 24 dengan IPK 5,02, Kota Padangsidempuan, peringkat 34 dengan IPK 4,58 dan Medan peringkat 44 dengan IPK 4,17. Bila melihat angka IPK empat kota tersebut dapat dikatakan kategorinya adalah kota yang termasuk korup dan buruk pelayanan publiknya.
Apakah secara kebetulan hasil survei KPK dan TII secara bersamaan menempatkan Medan sebagai kota yang korup dan buruk pelayanan publiknya? Jelas tidak, karena dua survei tersebut tidak dilakukan secara bersamaan, di samping ukuran-ukuran penilaian yang dipakai juga berbeda. Memang, survei yang dilakukan KPK dan TII substansinya hampir sama yakni permasalahan yang terkait dengan reformasi birokrasi yakni pelayanan publik dan pemberantasan korupsi yang dilakukan Pemko.
Asumsi yang dipakai KPK dan TII pada dasarnya dengan menggunakan skor INN dan IPK prinsipnya sama sebenarnya. Untuk skor tertinggi yang diperoleh Pemko sudah mengindikasikan Pemko sangat respek terhadap peningkatan pelayanan birokrasi dan keinginan membabat habis korupsi dalam sektor pelayanan publik. Sebaliknya pula bila skor Pemko semakin rendah indikasinya adalah masih terjadinya pelayanan publik yang buruk dan korupsi masih umum terjadi di sektor-sektor pelayanan publik.
Bagi Medan sendiri yang sama-sama mendapatkan skor yang sangat rendah berdasarakan suvei IIN versi KPK dan IPK versi TII, semestinya bisa berbenah lebih cepat. Semua orang sudah tahu bagaimana buruknya pelayanan pada publik selama ini di Medan. Sesuai apa yang dijanjikan Rahudman Harahap, pada masa-masa kampaye inilah momentum untuk merealisasikan semua janji-janji saat kampaye untuk memperbaiki pelayanan publik dan memangkas habis semua birokrat yang masih berwatak feodal yang hanya minta dilayani bukan menjadi pelayanan masyarakat.
Bagi Sibolga menduduki peringkat 18 dengan IPK 5,15 masih bisa berbenah untuk lebih baik, mengingat Walikotanya, Syarfi Hutauruk juga baru terpilih mestinya ia bisa lebih fokus memperbaiki pelayanan publik dan memproklamirkan pemberatnasan korupsi di daerahnya.
Demikian juga, Pematangsiantar yang menduduki peringkat 24 dengan IPK 5,02, yang juga walikotanya baru terpilih Hulman Sitorus, SE semestinya juga bisa bekerja lebih fokus merealisasikan janjinya sebagaimana yang disampaikan pada saat kampaye.
Mungkin yang agak berat adalah bagi Padangsidempuan yang memiliki peringkat 34 dengan IPK 4,58, sedikit lebih baik dari Medan peringkatnya. Kota Padangsidimpuan yang disebut dengan Kota Salak, walikotannya Zulkarnaen Nasution akan mengakhiri masa tugasnya 2 tahun lagi, seharusnyalah “Bang Zul” sapaan akrabnya bisa melakukan yang terbaik bagi kota ini.
Setidaknya beliau bisa mengakhiri tugasnya dengan meninggalkan prestasi-prestasi yang cukup baik dalam penyelenggaraan pelayanan dasar masyarakat. Kota Padangsidimpuan senyatanya belum mampu mewujudkan pelayanan publik yang memuaskan bagi masyarakat. Bahkan belakangan ini isu korupsi makin marak terdengar terjadi di lingkungan Pemko dan pada saat ini kasus korupsi DAK yang melibatkan oknum mantan Kepala Dinas Pendidikan sedang bergulir di Pengadilan Negeri Padangsidimpuan.
Bila melihat hasil survei yang dilakukan KPK dan TII sangat relevan dengan IPK Indonesia yang dari tahun ke tahun hanya bergeser sedikit. Tahun ini, IPK Indonesia 2,8 dan berada di peringkat 110. Bandingkan tahun 2009, di peringkat 111. Jadi hanya satu tingkat naik. Untuk kawasan Asia Tenggara, Indonesia berada di posisi kelima setelah Singapura, Brunei (5,5), Malaysia (4,4), Thailand (3,5). Nilai Indonesia hanya lebih baik sedikit dari Vietnam (2,7) yang baru habis-habisan perang atau Timor Leste (2,5) yang baru kemarin sore merdekanya,Indonsia sedikit lebih baik dari Filipina (2,4), Kamboja (2,1) dan Myanmar (1,4) yang memang paling buruk pelayanan publiknya dan korupsinya luar biasa. Angka 2,8 menurut Teten Masduki, Sekretaris Jenderal Tansparency International (TI) Indonesia, menunjukkan bahwa pemerintah belum serius memberantas korupsi. Sedangkan menurut Wakil Ketua KPK Muhammad Jasin bahwa salah satu faktor masih stagnannya IPK kita karena belum efektifnya proses reformasi birokrasi.
Sekali lagi masalah reformasi birokrasi memang tetap menjadi kunci utama dari semua masalah korupsi yang terjadi di negeri ini. Kebijakan apapun yang akan dilakukan pemerintah pusat dan daerah tidak akan berhasil sepanjang reformasi birokrasi tidak dilaksanakan dengan sungguh-sungguh. Artinya reformasi yang terjadi masih setengah hati. Karena selama ini yang terlihat hanya reformasi dipermukaannya saja, sama sekali tak menyentuh masalah birokrasi yang sudah berada di level patologis.
Tak jelas apa yang menjadi substansi dari reformasi birokrasi yang dilakukan pemerintah di pusat dan daerah setelah perjalanan reformasi 10 tahun lebih. Bahkan sepertinya sedang terjadi semacam gelombang transformasi perilaku korupsi dari pusat ke daerah setelah implementasi otonomi daerah dengan banyak kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi. ***** ( Effan Zulfiqar Harahap : Penulis adalah Wakil Rektor I Universitas Muhammadiyah Tapanuli Selatan )