Catatan : Dahlan Batubara
Pemimpin Redaksi Mandailing Online
Kawasan itu serupa dengan kawasan Kotanopan dan Ulu Pungkut, berbukit dan sedikit memiliki hamparan lembah maupun hamparan landai. Namanya Kampung Kerangai di Jelebu, Negeri Sembilan, Malaysia. Sebuah perkampungan kaum Mandailing yang berbahasa Mandailing.
Misalnya anda orang Mandailing dari Indonesia datang ke kampung ini, jangan berbahasa Melayu atau berbahasa Indonesia, sebab seluruh penduduknya berbahasa Mandailing, dari anak-anak hingga yang tua.
Saya tiba di Kampung Kerangai ini pada hari Sabtu 12 Maret 2016. Sebelumnya, ketika saya ke Malaysia pada November 2015 saya sudah merencanakan mendatangi perkampungan itu, hanya saja ketika itu saya tak memiliki banyak waktu sehingga baru pada Maret 2016 saya memiliki rezeki waktu untuk memasuki perkampungan tersebut.
Saya dan rombongan terdiri dari Ramli Bin Abdul Karim Hasibuan (pria kelahiran Kampung Kerangai yang kini tinggal di Nilai, Negeri Sembilan yang berprofesi redaktur di surat kabar Utusan Malaysia; kemudian Bayo Hasibuan dan istrinya (warga Palembang perantau asal Padang Lawas).
Di (provinsi) Negeri Sembilan, ada tiga perkampungan yang berbahasa Mandailing, yakni Kampung Kerangai dan Kampung Tambahtin, kedua-duanya di Daerah (kabupaten) Jelebu dan Kampung Baru Lanjut Manis di Daerah Kuala Pilah.
Kaum Mandailing di tiga kampung ini masih mengetahui letak kampung leluhurnya di Tano Mandailing, Sumatera. Berbeda dengan perkampungan kaum Mandailing lainnya di Malaysia yang mayoritas sudah tak tahu letak kampung leluhurnya di tanah Mandailing.
KAMPUNG KERANGAI
Mencapai perkampungan ini membutuhkan waktu tempuh sekira 1,5 jam dari Kuala Lumpur, atau sekira 0,5 jam dari Seremban, ibukota Negeri Sembilan.
Jalan menuju perkampungan ini dari Seremban penuh dengan kelokan karena melalui berbagai bentangan perbukitan. Tetapi jangan dibayangkan seperti kondisi jalan menuju Kotanopan dari Panyabungan di Sumatera Utara yang membuat pinggang sakit, sebab jalanan di Negeri Sembilan lebar-lebar dan aspal yang mulus sebagaimana jalanan di negeri-negeri lain di negera Malayasia.
Sesampai di Kerangai, saya mendapatkan nama-nama jalan yang diambil dari marga suku Mandailing seperti Jalan Batubara, Jalan Nasution, Jalan Harahap, Jalan Hasibuan, Jalan Pene. Kepala desa-nya bermarga Nasution , masih muda sekitar umur 35 tahun.
Semua orang yang saya temui berbahasa Mandailing. Termasuk ketika saya memasuki satu lopo kopi, mulai dari pengunjung hingga pemilik lopo berbahasa Mandailing. Logat atau langgam bicara mereka sama dengan langgam di Mandailing Godang (Panyabungan hingga Siabu) di Sumatera Utara, Indonesia.
Rumah-rumah di Kampung Kerangai ini mayoritas rumah semen, sebagian masih melestarikan jenis rumah panggung. Pemukiman itu dikelilingi kebun karet, kebun duku, durian, rambutan dan lain-lain.
Ada tiga kelompok lokasi pemukiman, satu kelompok pemukiman berada di sepanjang jalan besar, dua kelompok pemukiman lainnya masuk ke dalam sekitar 300 meter dari jalan besar. Semua kelompok pemukiman sama-sama berbahasa Mandaling, karena tidak ada kaum Melayu yang berdomisili di kampung ini.
Kampung Kerangai ini juga tak berbatas langsung dengan kampung lain yang berbahasa melayu, dipisah hamparan kebun memanjang berratus meter.
“Pangomoan nami ison mangguris, adong deba markobun sawit,” kata Karim Hasibuan ketika saya bertamu ke rumahnya.
Tetapi menurutnya, generasi baru sekarang mayoritas sudah bekerja di sektor industri, perdagangan dan jasa, sehingga kebanyakan kebun karet harus “diguris” oleh TKI (Tenaga Kerja Indonesia).
Uniknya TKI yang “mangguris” di sini adalah TKI dari tanah Mandailing, Sumatera, hanya ada satu dua TKI dari Jawa. Dampak kemakmuran ekonomi itu juga ditandai dengan jenis kenderaan penduduk di kampung itu, setiap rumah selalu memiliki mobil.
KAMPUNG TAMBAHTIN
Kampung Tambahtin ini tak jauh dari Kampung Kerangai. Kampung Tambahtin berada di Pertang yang masih kawasan Jelebu. Di sini, pemukiman orang Mandailing bertetangga dengan pemukiman kaum Cina. Makanya ada dua bahasa di sini : bahasa Mandailing dan Bahasa Cina.
Ketika saya membeli rokok di salah satu kedai (warung sembako) di pemukiman Cina itu mereka berbahasa China dialek Hokkian serupa dengan bahasa orang Tionghoa yang di Medan, Sumtaera Utara.
Lalu, ketika saya berjalan memasuki pemukiman kaum Mandailing, maka bahasanya bahasa Mandailing berlanggam Mandailing Godang.
Apabila kaum Cina dan kaum Mandailing bertemu, maka yang dipakai adalah bahasa Melayu.
Kaum Mandailing yang berada di Kampung Tambahtin ini memiliki sejarah dan hubungan persaudaraan dengan penduduk di Kampung Kerangai dan Kampung Baru Lanjut Manis. Sehingga jika ada “siriaon” maupun “siluluton” di Tambahtin maka akan diutus “naipas langka” menuju Kampung Kerangai dan Kampung Baru Lanjut Manis, demikian juga sebaliknya.
Saya sempat bertamu ke salah satu rumah milik Maznah Hasibuan. “Oi baya, pado itelefon ko gari au nangkin dompak so ro tu son, kan madung marmasak au sugari sigop,” katanya dengan langgam Mandailing Godang. Kami memang tak bisa berlama-lama di Tambahtin karena harus melanjutkan perjalanan ke Kampung Baru Lanjut Manis.
Menurut Maznah, semua penduduk di pemukiman itu berbahasa Mandailing dalam percakapan sehari-hari, yang turun temurun hingga kepada generasi sekarang.
KAMPUNG BARU LANJUT MANIS
Kampung Baru Lanjut Manis berada di Mukim (kecamatan) Terachi, Kuala Pilah. Agak jauh dari Kerangai, yaitu 67 kilometer dan 62 kilometer dari Tambahtin. Sekitar 35 menit perjalanan mobil dari Kerangai.
Pemukiman kaum Mandailing di kampung ini bertetangga tak berbatas dengan pemukiman kaum berbahasa Melayu. Otomatis di kampung ini juga ada dua bahasa : Mandailing dan Melayu.
Kaum Mandailing di kampung ini sebagian sudah ada yang berbahasa Melayu sebagai bahasa sehari-hari, berbeda dengan kaum Mandailing di Tambahtin dan Kerangai yang seratus persen berbahasa Mandailing. Pergaulan antara yang berbahasa Mandailing dengan kaum yang berbahasa Melayu serta perkawinan antar yang beda suku menjadi salah satu penyebabnya.
MARKOBAR
Meski masih berbahasa Mandailing, kaum Mandailing di kawasan ini tak lagi menjalani tradisi “markobar” secara betahap sebagaimana tahapan-tahapan “markobar” di tanah leluhur Mandailing. “Markobar” di acara “siriaon” maupun “siluluton” tetap dilakukan, hanya saja tak lagi memiliki tahapan bergantian dari “kahanggi”, “anakboru” dan “mora”.
Esensi ketiga pilar itu tak lagi terlalu mempengaruhi sistem sosial kaum Mandailing di sana. Sehingga peran dan fungsi “kahanggi”, “anakboru” dan “mora” tak lagi menjadi unsur-unsur penting dalam pelaksanaan “horja” pernikahan maupun dalam “siluluton”.
Tak diketahui secara pasti sejak kapan perubahan pola markobar itu terjadi serta faktor-faktor penyebabnya.
JEJAK SEJARAH
Berdasar keterangan yang saya catat dari kaum Mandailing di tiga kampung itu, kaum Mandailing di Kampung Kerangai, Tambahtin dan Kampung Baru Lanjut Manis memiliki sejarah yang sama serta sebagian dari mereka memiliki hubungan kekerabatan.
Kaum Mandailing yang bermukim di tiga kampung itu dulunya berasal dari kawasan Negeri Perak yang berimigrasi ke kawasan Negeri Sembilan pada era penghujung 1800-an. Migrasi itu erat kaitannya dengan kenyamanan beribadah serta pelestarian ajaran Tuan Nadua yakni Tuan Natobang dan Tuan Naposo.
Kawasan pertama sebagai tujuan migrasi adalah Kerangai. Perpindahan selanjutnya juga terjadi di awal 1900-an (?), yakni dari Kerangai ke Tambahtin, lalu dari Tambahtin menuju Lanjut Manis. Kemudian kembali lagi ke Kerangai. Tak semua penduduk ikut pindah dalam rentang etape perpindahan itu. Sebagian ada yang memilih menetap di Tambahtin, sebagian menetap di Lanjut Manis. Itulah sebab lahirnya 3 kampung itu.
Selain di tiga kampung Mandailing ini, kaum Mandailing juga ada yang berdomisili di kampung lain di kawasan Jelebu itu, seperti perkampungan Felcra Belia Lakai. Hanya saja kampung-kampung itu sudah bercampur penduduknya dengan kaum Melayu, sehingga tak bisa dikatakan sebagai kampung Mandailing. Meski begitu, orang Mandailing yang tinggal di kampung campuran masih bisa berbahasa Mandailing karena hubungan silaturrahim masih terus dilakukan, baik dalam acara “siriaon”, “siluluton” maupun pergaulan lainnya.
Ajaran Tuan Natobang dan Tuan Naposo itu juga yang diduga menjadi faktor lestarinya bahasa Mandailing di kalangan penduduk tiga kampung tersebut. Sebab, dalam ajaran kaji diri sebagai salah satu tahapan dasar, dilafazkan dalam bahasa Mandailing.
Ajaran Tuan Nadua itu juga ada di kawasan Siabu, Mandailing Natal, Sumatera Utara, yakni di kawasan Huta Raja hingga Sihepeng sebagai kampung kelahiran Tuan Naposo yang bermigrasi ke tanah Semenanjung pada era 1800-an atas panggilan Tuan Natobang dari tanah Semenanjung.
Secara umum, kaum Mandailing yang bermukim di tiga kampung itu berasal dari berbagai kawasan tanah leluhur : mulai dari Mandailing Julu, Mandailing Godang higga Mandailing Angkola yang bermigrasi pada era 1800-an ke kawasan Perak sebelum berpindah ke kawasan Negeri Sembilan.
“Halak di son asalna adong na tingon Kotanopan, Panyabungan, Siabu sampe tu Padang Lawas. Sudena koumta na i tolu kampung on leng marsibinoto tano leluhur. Tai kampung-kampung halak hita na asing di Malaysia on, madung bahat naso mamboto ijia hutana i tano leluhur,” kata Ramli Bin Abdul Karim Hasibuan.
Pada program “Mulak Tu Huta 1”, yakni kunjungan silaturrahim kaum Mandailing Malaysia ke tanah leluhur yang diselenggarakan Persatuan Halak Mandailing Malaysia (PHMM) tahun 2012 lalu, banyak peserta yang berasal dari tiga kampung ini. Begitu juga program “Mulak Tu Huta 2” tahun 2013 yang diselenggarakan Ikatan Mandailing Malaysia Indonesia (IMAMI) serta program tahun 2014 dan tahun 2015.
Bagi kaum Mandailing lainnya yang tak mengatahui letak kampung leluhurnya, hanya dibawa keliling melihat-lihat tanah leluhur serta menginap di hotel di Panyabungan dan Sidempuan, serta menyaksikan pertunjukan Gordang Sambilan di Pidoli Lombang, sebab mereka tak tahu harus kemana, karena mereka tak tahu di mana dan apa nama desa kelahiran nenek moyang mereka di tanah leluhur.
Dan, sebenarnya keluarga keturunan leluhur mereka masih ada di Mandailing Natal atau di Tapanuli Selatan atau di Sidimpuan atau di Palas atau di Paluta, tetapi di mana desa-nya belum diketahui. Oleh karena itu, diperlukan satu lembaga yang dibentuk pemerintah-pemerintah daerah di kawasan Mandailing Raya bekerjasama dengan lembaga Mandailing Malaysia untuk bekerja menelusurinya, agar perpisahan keluarga yang sudah berratus tahun dapat kembali dipertemukan. Padomu na marigat, palagut na marserak. ***
Comments
Komentar Anda