Satu-satunya yang bisa diharapkan mengatasi problem ekonomi itu adalah sistem ekonomi Islam. Islam memang tidak mengharuskan persamaan dalam kepemilikan kekayaan, namun Islam tidak membiarkan buruknya distribusi kekayaan. Islam memandang individu sebagai manusia yang harus dipenuhi kebutuhan-kebutuhan primernya secara menyeluruh.
Oleh : Ustaz Rokhmat S Labib
“Masyarakat tidak perlu panik, persedian beras kita cukup untuk setahun.” Demikian pernyataan yang sering kita dengar dari seorang pejabat ketika menanggapi isu krisis pangan. Sekilas pernyataan pejabat itu tampak benar. Namun jika dicermati, pernyataan terdapat kesalahan serius. Sebab, kendati persediaan beras itu cukup atau bahkan berlimpah jika dibagi dengan jumlah penduduknya, akan tetapi masalahnya tidak berhenti sampai di situ.
Persoalan yang justru lebih penting adalah, “Apakah beras yang jumlahnya berlimpah itu bisa sampai ke tangan tiap-tiap orang?” Dengan kata lain, “Adakah jaminan bagi setiap orang untuk mendapatkan beras sehingga kebetuhan mereka bisa terpenuhi?”
Jaminan atas persoalan tersebut amat penting, mengingat kebutuhan manusia bersifat individual atau orang per orang. Andaikan semua orang telah makan kecuali satu orang, orang itu tetap saja butuh makan. Ia tidak lantas menjadi kenyang ketika semua orang lain makan. Ia juga tidak lantas bisa mengenakan pakaian atau tinggal di sebuah rumah manakala orang lain bisa memenuhi kebutuhannya.
Karena kebutuhan bersifat individual, maka alat pemuasnya harus sampai kepada tiap-tiap orang. Melimpahnya jumlah alat pemuas kebutuhan dalam sebuah negara, tidak serta merta bisa semua orang kenyang. Kelaparan akan tetap terjadi jika sebagian besar bahan pangan itu dikuasai segelintir orang.
Kasus busung lapar yang mencuat dua tahun silam bisa menjadi salah contohnya. Sebagaimana disitir Menkes Siti Fadilah Supari, ada sekitar 1,67 juta anak-anak di bawah usia lima tahun di Indonesia yang menderita gizi buruk. Merebaknya kasus busung lapar jelas bukan disebabkan oleh minimnya persediaan pangan. Buktinya, pada saat yang sama banyak orang mengalami obesitas karena kelebihan lemak dan kalori.
Bukti lainnya, kasus busung lapar juga terjadi di beberapa daerah yang dikenal sebagai lumbung padi, seperti NTB. Di Provinsi tersebut, ada sekitar 49.000 anak balita yang menderita busung lapar. Realitas itu menjadi bukti nyata bahwa kelaparan bukan disebabkan oleh minimnya alat pemuas kebutuhan, namun karena buruknya distribusi.
Demikian pula kehidupan mengenaskan yang dialami 39,1 juta jiwa penduduk Indonesia yang tergolong miskin. Penghasilan mereka hanya Rp 152 ribu per kapita per bulan atau sekitar Rp 5 ribu per hari (hasil survei Badan Pusat Statistik akhir tahun 2006).
Dengan penghasilan sebesar itu, amat sulit bagi mereka memenuhi aneka kebutuhan. Kalaupun bisa memenuhinya, tentu dengan serba minim. Makan nasi aking, pakaiannya lusuh dan kumal, tinggal di gubuk reot dan kumuh, dan tidak bisa mengenyam pendidikan. Realitas itu terjadi bukan disebabkan karena sedikitnya kekayaan. Namun sebagian besar kekayaan itu dikuasai segelintir konglomerat.
Sukanto Tanoto (Bos Grup Raja Garuda Mas) yang dinobatkan Majalah Forbes Asia sebagai orang Indonesia terkaya di Indonesia, misalnya, memiliki kekayaan bersih 2,8 US dollar miliar atau sekitar Rp 25,2 triliun Atau Rachman Halim, pemilik Gudang Garam. Dia memiliki kekayaan sebesar 1,90 US dollar miliar (tempointeraktif.com 06/09/2006).
Beberapa fakta di atas menunjukkan, problem utama dalam ekonomi sesungguhnya adalah masalah distribusi kekayaan. Oleh karena itu, kelaparan dan kemiskinan tidak bisa di atasi hanya dengan melimpahnya jumlah kekayaan. Akan tetapi harus ada sebuah sistem ekonomi yang mengatur distribusi kekayaan hingga terpenuhinya kebutuhan tiap-tiap orang-orang.
Solusi Sistem Ekonomi Islam
Sistem ekonomi Kapitalisme jelas tidak bisa diharapkan menjadi solusi atas problem tersebut. Alih-alih menjadi solusi, buruknya distribusi kekayaan yang selama ini terjadi justru disebabkan oleh Kapitalisme. Kendati secara teoretis Kapitalisme memberikan kesempatan yang sama (equality of opportunity) kepada setiap anggota masyarakat, namun dalam kenyatannya bersifat diskriminatif.
Hanya mereka yang dekat dengan sumber dana, sumber informasi, atau kekuasaan saja yang sering mendapatkan kesempatan. Sebagai akibatnya, akan muncul sekelompok kecil orang yang menguasai sebagian besar aset ekonomi.
Satu-satunya yang bisa diharapkan mengatasi problem ekonomi itu adalah sistem ekonomi Islam. Islam memang tidak mengharuskan persamaan dalam kepemilikan kekayaan, namun Islam tidak membiarkan buruknya distribusi kekayaan. Islam memandang individu sebagai manusia yang harus dipenuhi kebutuhan-kebutuhan primernya secara menyeluruh.
Sebagai buktinya, banyak sekali ayat Alquran dan al-Hadis yang memerintahkan manusia menginfakkan harta dan memberi makan orang-orang fakir, miskin, dan kekurangan, seperti dalam QS al-Hajj [22]: 28; al-Baqarah [2]: 177, 184, 215; al-Insan [76): 8, al-Fajr (90):13-14; dan al-Maidah [5]: 89. Alquran menyatakan bahwa dalam setiap harta terdapat hak bagi orang miskin.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُوْمِ
Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bahagian (al-Dzariyat [51]:19).
Rasulullah ﷺ juga memberikan ancaman keras bagi orang yang tidak peduli nasib orang miskin dan kelaparan. Rasulullah ﷺ:
“Tidak beriman kepadaKu, seseorang yang tidur malam hari dalam keadaan kenyang, sementara dia mengetahui tetangganya kelaparan.”
Islam mencegah berputarnya harta kekayaan hanya di kalangan orang-orang kaya, sementara kelompok lainnya tidak memperoleh bagian. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
كَيْ لاَ يَكُوْنُ دُوْلَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ
Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu (QS al-Hasyr [59]: 7).
Mekanisme Pasar dan Nonpasar
Secara umum, ada dua mekanisme distribusi kekayaan dalam sistem ekonomi Islam. Pertama, mekanisme pasar. Yakni mekanisme yang dihasilkan dari proses tukar-menukar dari para pemilik barang dan jasa. Mekanisme ini diterangkan dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا لَا تَأْكُلُوْا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu (QS al-Nisa’ [4]: 29).
Tidak sekadar diizinkan, Islam juga menetapakan berbagai hukum yang mengatur mekanisme ini. Berbagai tindakan yang dapat mengakibatkan deviasi harga dan merugikan para pelaku jual-beli dilarang. Islam melarang praktik penimbunan barang (al-ihtikâr), sebuah praktik curang yang dapat menggelembungkan harga dan merugikan masyarakat.
Demikian pula penimbunan emas dan perak atau alat tukar yang berlaku di tengah masyarakat. Tindakan itu diharamkan Islam (QS al-Taubah [9]: 34). Sebagai alat tukar (medium of exchange) antara harta satu dengan harta lainnya, antara harta dengan tenaga, dan antara tenaga satu dengan harta lainnya, uang memiliki kedudukan amat strategis.
Karenanya jika uang itu ditarik dari pasar dan tidak diperoleh manusia, maka tidak akan berlangsung pertukaran, dan roda ekonomi pun akan terhenti.
Pematokan harga (al-tasy’îr) yang biasanya dilakukan pemerintah dikatagorikan sebagai kezaliman sehingga tidak boleh dikerjakan. Pematokan harga jelas merusak kaidah ‘an tarâdh[in] (yang dilakukan secara sukarela) antara pembeli dan penjual. Harga tidak terlahir dari kesepakatan dan kerelaan pembeli dan penjual, namun oleh pihak lain.
Padahal, merekalah yang paling tahu berapa seharusnya berapa harga barang itu dibeli atau diual. Karena tidak didasarkan pada kemaslahatan meraka, sangat berpotensi merugikan salah satu atau kedua belah pihak. Tidak mengherankan jika kebijakan pematokan harga ini rawan memunculkan ‘pasar gelap atau ilegal’.
Demikian pula praktik penipuan, baik penipuan pada komoditas dan alat pembayarnya (al-tadlîs) maupun penipuan pada harga (al-ghabn al-fâhisy). Praktik curang itu juga akan mencipatkan deviasi harga. Pada umumnya, seseorang bersedia melakukan pertukaran barang dan jasa karena ada unsur kesetaraan. Seorang pembeli bersedia membeli harga mahal jika komoditasnya bagi. Sebaliknya, dia hanya mau membeli barang yang buruk dengan murah.
Akibat praktik al-tadlîs — yakni menutupi keburukan atau cacat pada komoditas; serta menampakkannya seolah-olah baik—membuat pembeli tertipu. Barang yang seharusnya berharga murah itu melonjak harganya karena ketidaktahuan pembeli.
Demikian pula al-ghabn al-fâhisy (penipuan harga). Pembeli atau penjual memanfatkan ketidaktahuan lawan transaksinya dengan harga yang terlalu murah atau terlalu mahal. Semua praktik tersebut jelas dapat mengakibatkan deviasi harga.
Berbagai hukum Islam tersebut jika dipraktikkan akan menciptakan pasar yang benar-benar bersih. Kompetisi yang sehat dan fair akan mewarnai mekanisme pasar. Para produsen dan penjual yang menginginkan barangnya berharga mahal akan kreatif memproduksi dan menjual barang yang benar-benar berkualitas. Bukan dengan jalan menimbun, menipu, atau menutut pemerintah mematok tinggi harga barangnya.
Kendati telah tercipta pasar yang bersih dan fair, tetap saja ada orang-orang yang tidak mampu bersaing dan tersingkir dari mekanisme pasar itu. Hal itu bisa terjadi karena berbagai sebab, seperti cacat fisik maupun non-fisik, tidak memiliki ketrampilan dan keahlian, tidak memiliki cukup modal, tertimpa musibah, dan sebagainya. Karena mereka tidak bisa ‘menjual’ sesuatu yang dimilikinya, maka mereka pun tidak memperoleh pendapatan. Padahal mereka tetap memiliki kebutuhan yang harus dipenuhi. Dari manakah mereka memperoleh pendapatan?
Terhadap mereka, Islam menciptakan mekanisme kedua, yakni mekanisme nonpasar. Yakni sebuah mekanisme yang tidak dihasilkan dari transaksi pertukaran barang dan jasa. Mekanisme itu berupa aliran barang dam jasa dari satu pihak kepada pihak lain tanpa meminta timbal balik. Mekanisme inilah yang dilakukan kepada orang-orang lemah, miskin, dan kekurangan.
Dengan mekanisme tersebut, diharapkan mereka bisa memenuhi kebutuhan hidupnya. Bahkan lebih dari itu, dengan modal baru yang mereka peroleh dari mekanisme nonpasar ini mereka dapat bangkit untuk kembali berkompetisi dalam mekanisme pasar.
Dalam Islam cukup banyak aliran barang dan jasa yang tidak melalui mekanisme pasar. Di antaranya adalah zakat. Islam mewajibkan orang kaya yang hartanya mencapai nishab untuk membayar zakat. Harta itu disalurkan kepada delapan golongan. Sebagian besar adalah untuk orang-orang yang miskin dan membutuhkan perotolongan.
Patut dicatat, pembayaran zakat itu tidak harus menanti kesadaran orang-per orang. Negara juga harus pro aktif mengambilnya dari kaum Muslim (QS al-Taubah [9]: 103), sebagaiman ayang dilakukan Khalifah Abu Bakar dahulu. Beliau pernah memerangi orang yang menolak untuk membayar zakat.
Selain zakat yang diwajibkan, ada juga infak dan sedekah yang disunnahkan. Pemberian itu dilakukan tanpa mengharap pengembalian. Demikian pula hibah, hadiah, dan wasiat. Pemberian harta kepada orang lain itu juga sangat dianjurkan. Pembagian harta waris juga dapat dimasukkan dalam mekanisme nonpasar.
Bukan hanya individu. Mekanisme nonpasar bisa juga dilakukan oleh negara. Negara bisa memberikan tanah kepada warganya. Dalam istilah fiqh, kebijakan itu dikenal dengan iqthâ’ .
Dengan demikian, Islam tidak menjadikan mekanisme pasar sebagai satu-satunya mekanisme dalam distribusi kekayaan. Dengan adanya dua mekanisme inilah Islam menjamin terpenuhinya kebutuhan primer setiap warganya.
Membutuhkan Peran Negara
Patut dicatat, distribusi kekayaan dalam sistem ekonomi Islam tidak hanya dilakukan di ujung akibat. Penataan distribusi kekayaan dimulai sejak penetapan hukum tentang kepemilikan.
Islam menetapkan sejumlah harta kekayaan dan sumber daya alam sebagai milik umum, seperti tambang yang yang depositnya melimpah; sarana-sarana umum yang amat diperlukan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari (air, padang rumput, api, dll); dan harta-harta yang keadaan aslinya terlarang bagi individu tertentu untuk memilikinya (sungai, danau, laut, masjid, lapangan, dll). Sebagai milik umum, semua harta kekayaan itu boleh dimafaatkan oleh setiap individu.
Jika dicermati, harta-harta yang tergolong milik umum itu amat penting bagi hajat hidup manusia. Nilainya pun amat besar. Apabila harta-harta itu boleh dimiliki individu, niscaya akan mengakibatkan terkosentrasinya kekayaan pada segelintir orang. Dengan menguasai harta milik umum itu, para pemilik modal besar akan dengan mudah menggelembungkan kekayaannya. Sementara orang miskin akan makin kesulitan mengakses harta milik umum itu dan memenuhi kebutuhannya.
Jika politik ekonomi ini diterapkan dalam suatu negara secara konsisten, maka problema lebarnya kesenjangan ekonomi antar individu di tengah-tengah masyarakat dapat diatasi. Bahkan melalui penerapan hukum-hukum Islam secara totalitas, problematika itu dapat diantispasi sejak awal dan keadilan sosioekonomi dapat ditegakkan
Apabila masyarakat mengalami kesenjangan yang lebar antar individu, dalam memenuhi kebutuhannya atau di dalam masyarakat tersebut terjadi kesenjangan karena mengabaikan hukum-hukum Islam serta meremehkan penerapan hukum-hukum tersebut, maka negara wajib memecahkannya dengan mewujudkan keseimbangan dalam masyarakat dengan cara memberikan harta negara yang menjadi hak miliknya kepada orang-orang memiliki keterbatasan dalam memenuhi kebutuhannya.
Dari paparan di atas, nyatalah bahwa hanya sistem ekonomi Islam yang bisa menjadi solusi bagi buruknya distribusi kekayaan. Dan tentu saja, keunggulan sistem Islam hanya akan mewujud secara sempurna jika ada khilafah yang menerapkannya. Wallahu a’lam bi al-Sawab.
Sumber : Tempo.co / MuslimahNews.com