Oleh: Intan Marfuah
Aktivis Muslimah
Masyarakat Desa Kedang Ipil, Kecamatan Kota Bangun Darat, Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar), dengan tegas menyatakan penolakan mereka terhadap rencana pengembangan perkebunan kelapa sawit oleh PT Puncak Panglima Perkasa (PPP). Bahkan, aktivitas perusahaan tersebut di wilayah mereka dinilai meresahkan.
Keterangan ini disampaikan langsung oleh Kepala Desa (Kades) Kedang Ipil, Kuspawansyah. Ia mengatakan bahwa masyarakat berharap masalah ini dapat segera diselesaikan. Serta aktivitas PT PPP dapat dihentikan sampai persoalan ini terselesaikan.
“Masyarakat menolak keberadaan perusahaan ini. Kami sudah melaporkan ke pemerintah dua bulan lalu, namun belum ada respon, sehingga kami meminta DPRD untuk menindaklanjuti,” katanya, beberapa waktu lalu.
Kuspawansyah menegaskan bahwa, masyarakat Kedang Ipil menolak keras aktivitas PT PPP. Ini dilakukan karena dianggap akan membawa dampak negatif terhadap lingkungan dan keberlangsungan hidup masyarakat. Menurutnya, rencana pengembangan perkebunan sawit tersebut mengancam kehidupan adat dan budaya yang telah diwariskan turun-temurun di desa tersebut.
“Penolakan ini bukan hanya didasari kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Kami menginginkan keberlangsungan hidup di Desa Kedang Ipil tetap terjaga dan tidak terganggu oleh aktivitas yang berpotensi merusak lingkungan dan adat istiadat kami,” tegas Kuspawansyah.
Lebih lanjut, ia mengungkapkan bahwa aktivitas perusahaan sudah berjalan meskipun belum mendapatkan izin resmi. Hal ini, menurut Kuspawansyah, menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat. Karena perusahaan telah melakukan berbagai upaya untuk mendapatkan dukungan dari warga. Termasuk dengan menawarkan mereka menjadi humas tanpa memberikan pemahaman yang jelas mengenai dampak dari investasi tersebut.
“Kami sudah menyurati bupati Kukar melalui dinas terkait untuk menghentikan aktivitas perusahaan ini. Namun, karena belum ada respons, kami mendatangi DPRD Kukar untuk menyuarakan penolakan kami secara resmi,” ujar Kuspawansyah. (Radarkukar.com,11 Agustus 2024)
Lahan sawit dan pertambangan tersebut dimiliki oleh rakyat dan perusahaan, tetapi mayoritas dikuasai oleh para cukong (korporasi). Hal ini menegaskan kalahnya negara di hadapan korporasi. Padahal, pemerintah sangat bisa untuk menindak tegas para “maling” tersebut dan memberi sanksi yang menjerakan.
Namun, nyatanya deforestasi terus terjadi secara masif. Artinya, terjadi pembiaran dan tidak ada tindakan tegas.
Selama ini, deforestasi mendapatkan “pemakluman” dari pemerintah, alasannya adalah untuk pembangunan.
Nyatanya, lahan hasil deforestasi tersebut mayoritas dikuasai oleh korporasi. Berdasarkan data Walhi, sebanyak 62 persen lahan hutan di Indonesia sudah dikonsesi untuk korporasi.
Padahal, akibat deforestasi oleh korporasi, hutan kita mengalami kerusakan yang parah. Kekayaan alam yang seharusnya milik umum dikuasai oleh segelintir korporasi, sementara rakyat tetap dikungkung nestapa kemiskinan. Selain itu, keanekaragaman hayati terancam, kerusakan lingkungan pun demikian parah hingga terjadi banjir, longsor, dan bencana alam lainnya.
Pangkal persoalan kerusakan hutan adalah keserakahan sistem kapitalisme. Demi keuntungan materi, produksi sawit digenjot tanpa batas hingga “memakan” kawasan hutan. Demi mengeksploitasi kekayaan alam berupa tambang, hutan pun dikeruk habis-habisan.
Sebenarnya, tidak masalah menanam sawit dan melakukan penambangan, tetapi jumlahnya harus dibatasi sesuai dengan daya dukung alam. Ketika alam dieksploitasi melebihi daya dukungnya, kerusakan pun terjadi. Sementara untuk memperbaikinya bukanlah perkara mudah karena untuk menumbuhkan pohon hingga besar butuh waktu bertahun-tahun.
Allah Swt. menganugerahkan alam yang luar biasa kaya bagi rakyat Indonesia. Hal ini harus disyukur, caranya adalah dengan mengelola alam sesuai dengan syariat. QS ar-Rum: 41 jelas melarang kita merusak alam. Rasulullah saw. juga melarang menebang pohon tanpa alasan yang dibenarkan. Rasulullah saw. bersabda:
“Siapa yang memotong pohon bidara, Allah akan hadapkan wajahnya ke neraka.”
Sebaliknya, Islam memerintahkan menanam pohon, sebagaimana sabda Rasulullah saw.,
“Siapa yang menegakkan/menanam satu pohon, lalu ia sabar menjaga dan merawatnya sampai berbuah, maka semua yang mendapat manfaat seperti dari buahnya, menjadi sedekah baginya di sisi Allah.”
Tidak hanya manusia yang terkena dampaknya, alam pun ikut berduka. Inilah kerusakan yang disebut di dalam Al-Qur’an sebagai akibat ulah “tangan” manusia. Allah Swt. berfirman:
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS Ar-Rum: 41).
Selanjutnya adalah mengelola hutan sesuai syariat Islam. Di antaranya:
1. Mengembalikan posisi hutan sesuai posisi kepemilikannya. Khilafah akan memetakan hutan yang terkategori kepemilikan umum, yaitu hutan produksi yang bisa dimanfaatkan untuk pembangunan dan ekonomi. Tentu dengan selalu memperhatikan kelestarian alam. Yang juga termasuk kepemilikan umum adalah hutan wisata.
2. Sementara hutan lindung dan suaka alam termasuk kepemilikan negara yang terlarang bagi siapa pun untuk mengambil manfaat darinya. Justru, Negara Khilafah akan melakukan upaya-upaya untuk melindungi tumbuhan, hewan, sumber air, dan ekosistem yang ada sehingga lestari.
3. Penambangan, baik oleh negara maupun rakyat, harus memperhatikan kelestarian lingkungan, bukan hanya optimalisasi produksi.
4. Pengawasan yang serius terhadap kawasan hutan. Khilafah akan mendayagunakan semua sumber daya untuk pengawasan hutan, termasuk mengerahkan alat-alat yang canggih untuk mendeteksi pembalakan liar, pembakaran hutan, dan berbagai kegiatan ilegal lainnya. Polisi hutan akan direkrut dalam jumlah yang mencukupi, fasilitas yang memadai, dan kesejahteraan yang layak sehingga bisa berfungsi optimal.
5. Menghukum pelaku kejahatan terkait hutan, baik pelaku pembalakan liar, pembakar hutan, pemburu satwa dilindungi, penadah, dan lain-lain. Termasuk menghukum aparat negara yang melakukan kongkalikong dengan para pelaku tindakan kriminal tersebut.
Demikianlah, kita butuh negara Khilafah yang serius menjaga dan melindungi hutan. Bukan negara ala kapitalisme yang mengabaikan kelestarian hutan dan justru kongkalikong dengan para perusaknya. Wallahualam.
Comments
Komentar Anda