Catatan : Damra Tua Parlindungan Siregar, SHI
(wali kelas Aldi Suphandi Hasibuan)
Setelah membaca berita utama di Malintang Pos dan Mandailing Online, opini publikpun terbentuk.
Opini itu sangat urgen dalam upaya menggalang infaq bagi biaya perobatan Aldi Sphandi Hasibuan, santri cerdas dari keluarga miskin yang kini membutuhkan biaya agar kakinya tak diamputasi.
Awalnya ustadz Muhammad Ilyas Nasution, S.PdI, merilis balik berita. Ustadz yang terkenal piawai membawa berita ini meletakkan lembaran informasi di meja dan tempat strategis. Dengan mudah beritanya disantap dalam sajian pasar pembaca. Kita sebut saja di warung putri ustadz Hudzaifah, yang merupakan ‘gedung’ parlemennya Ma’had Darul Ikhlash, ‘kantor cabang’ dekat kantor koperasi, dan kantor guru sebagai pusat aktivitas pesantren mendapat bagian kopian berita ini.
Suasana perbincangan hangat tercipta tentang Aldi Suphandi. Sekarang kata sepakat didapatkan : “Apa yang mesti diperbuat untuk membantu santri berprestasi yang terancan diamputasi itu?”
Babak cerita Aldi dimulai akhir pekan Juli lalu. Ketika MDI menggelar penyerahan hadiah kepada para juara kelas. Tepuk tangan sahut menyahut terdengar riuh rendah memberi apresiasi kepada para sang juara. Berderet dan berturut dipanggil nama-nama mereka satu persatu menuju beranda kelas, yang dindingnya didominasi cat warna kuning.
Di antara tiang-tiang penyangga atap sekolah, dengan menghadap ke arah santri, suara berat berwibawa Ustadz Nasrullah dari Mompang Jae, terdengar : “Selamat, ananda adalah anak didik yang unggul di kelas, jadilah orang yang mengabdi kepada nusa, bangsa dan agama,” seraya menggengam erat tangan para juara.
Tapi ada yang terasa hambar dalam acara ini, ibarat sambal kentang pokir tanpa cabe dan garam. Atau gulai patayat berupa bulung gadung tanpa ciak-ciak dan rimbangya. Pengumuman Juara Kelas hari itu tidak dihadiri seorang santri. Dia dikenal di antara teman-temannya, kalem, bersahabat dan berprestasi. Dia adalah Aldi Suphandi Hasibuan.
Tiga karakter Istimewa
Santri yang kalem
Kita sebut kalem karena kata mereka dia selalu bersifat tenang bila ayah guru dan ustadz masuk dan mengajar di ruang kelas, tidak seperti teman-temannya yang masih bersifat kekanak-kanakan.
Sebagian teman-temannya masih sering reseh dan rusuh ketika study berlangsung. Maklum, masih kelas 1, baru tamat SD. Tetapi lain halnya dengan santri Aldi, dia berbeda dengan teman-temannya, lebih bersikap dewasa.
Kenapa kita sebut dia bersahabat? Vicky Wijaya, seorang abang kelas, punya kenangan persahabatan dengannya. Vicky (begitu panggilan akrabnya) pernah satu perjalanan di waktu sore hari menuju seberang jalan lintas Sumatera. Bersama teman lainnya meninggalkan lokasi pemondokan putra.Tujuan mereka sama, menikmati es kelapa sambil menonton kendaraan yang lalu lalang berkeliaran di jalan raya.
Memang diakui, es kelapa di warung ini sedap rasanya. Apalagi harganya cukup familiar untuk kalangan santri. Cukup Rp2000 saja, kita sudah bisa menukmati cairan es yang berkolaborasi kelapa muda, dengan menggunakan pipet putih di gelasnya. Mendengar cerita saja, hampir saja tenggorokan kita hilang rasa dahaganya.
“Tapi itu dulu, waktu dia masih bersama kami. Sekarang rasanya ada yang kurang, dia tidak lagi ikut menikmati es kelapa ustadz..!” kenang Vicky saat membeli gorengan buat tambah menu makanannya di warung Ustadz Parlin.
Berprestasi
Aldi adalah santri yang berasal dari Kampung Al-Qur’an, gagasan Bupati Mandailing Natal, Huraba. Sejak namanya dipanggil dalam acara pengumuman juara, dan tidak bisa langsung menerima hadiahnya, telah menjadi cerita diantara civitas Ma’had Darul Ikhlash. Menjadi juara III diatas 38 orang adalah mengagumkan di saat dia kondisi sakit. Kegigihannya memang luar biasa. Pantang menyerah, aktif hadir selama ujian meski menahan rasa sakit. Dan Alhamdulillah, juara tetap bisa diraihnya. Tambahan lagi, sangat rajin mengikuti program tahfidz al-Qur’an.
Penggalangan Dana Masih Maraton
Secara maraton penggalangan dana diadakan dua kali putaran. Kita sebut maraton karena rentang waktu enam bulan Pesantren Darul Ikhlash baru mampu menyumbangkan sekitar Rp 3.280.000. Dengan rincian, tahap pertama Rp1.340.000, sedangkan tahap kedua Rp1.940.000.
Kita paham, sumbangan ini masih kecil dibanding kebutuhan biaya perobatan Aldi. Tapi kitapun juga mafhum, keadaan ekonomi rumah tangga pesantren. Paduan amal saleh santripun paling mampu rata-rata Rp2.000 persiswa. Tambahan lagi, harga bahan baku penghasilan orangtua pun belum memiliki harga lumayan.
Jadi tidak mungkin maraton ini akan cepat sampai ke tujuan. Syukur! Kabar tentang sakitnya Aldi diketahui para alumni. Dengan diarsiteki Saudara Jamaluddin Siregar, alumni Ma’had Darul Ikhlash yang mempersunting idaman hatinya dari Desa Pagaran Tonga, mulai melanjutkan pembangunan opini di media sosial. Hasilnya, lebih dari Rp 1.000.000 dana terkumpul.
Masih menggunakan jejaring media sosial, gerakan kaki masih berjalan dengan terseok-seok. Tetapi akan tetap tegar berjalan hingga sampai dapat menggalang dana buat adiknya Aldi.
Tersebutlah satu nama, Qariamin Dalimunthe. Dia ini salah seorang mahasiswa di salah satu perguruan tinggi di ibu kota Propinsi Sumatera Utara. Berbekal relasi yang baik dengan Ustadz Muhammad Ilyas Nasution, Amin (sapaan akrabnya) mendapat rekomendasi untuk melangkah di laman dan halaman “rumah” para alumni. Dan buah tangan para alumni lain tetap kita nantikan.
Renungan di Oase
Perjalanan menggalang dana yang cukup melelahkan ini, takkan kenal kata mengeluh. Kata Bung Karno : “Jangan mengeluh, keluh adalah tanda kelemahan jiwa”. Begitu petuah beliau memberi semangat kepada pemuda Indonesia. Ya, kita akan kuatkan langkah kita. Bangun komunikasi yang bagus. Orang tua Aldi memang sangat membutuhkan uluran tangan kita. Kelak amal yang kita berikan kepada orang lain akan berpulang pada kita. Di sana, di alam akhirat yang kekal adanya, pasti kita dapatkan hasil perjalanannya.
Comments
Komentar Anda