Oleh: Muttaqin Kholis Ali
Guru Informatika SMA Negeri 1 Tambangan, Mandailing Natal
PENDAHULUAN
“Pendidikan adalah senjata paling mematikan di dunia, karena dengan itu Anda dapat mengubah dunia,” demikian ungkapan Nelson Mandela yang masih relevan hingga saat ini. Namun, ironi terjadi ketika senjata ini justru digunakan untuk melukai sesama. Fenomena tawuran pelajar yang kembali marak belakangan ini menjadi bukti nyata bahwa ada yang salah dalam sistem pendidikan kita.
Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukkan peningkatan kasus tawuran pelajar sebesar 1,1% pada tahun 2022 dibandingkan tahun sebelumnya. Angka ini mungkin terlihat kecil, namun dampaknya sangat signifikan terhadap masa depan generasi muda Indonesia. Tawuran pelajar bukan lagi sekadar kenakalan remaja biasa, melainkan telah berubah menjadi tindak kekerasan yang terorganisir dan brutal.
Kasus-kasus yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia menunjukkan pola yang sama: kelompok pelajar yang saling berseteru, menggunakan senjata tajam, dan berakhir dengan korban luka-luka bahkan kematian. Di Jakarta, sebagai contoh, sepanjang tahun 2023 tercatat 30 kasus tawuran pelajar yang mengakibatkan 5 korban meninggal dunia. Fenomena ini tidak hanya terjadi di kota-kota besar, tetapi juga merambah ke daerah-daerah yang selama ini dianggap relatif aman.
Sumatera Utara, sebagai salah satu provinsi dengan populasi pelajar yang besar, juga tidak luput dari permasalahan ini. Data dari Polda Sumut menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2023, terjadi 15 kasus tawuran pelajar yang melibatkan siswa SMP dan SMA di berbagai kota seperti Medan, Binjai, dan Pematangsiantar. Kasus yang paling menghebohkan terjadi di Medan pada bulan Agustus 2023, di mana tawuran antara dua sekolah menengah atas mengakibatkan seorang siswa tewas dan lima lainnya mengalami luka serius. Kejadian ini menjadi alarm keras bagi pemerintah daerah dan institusi pendidikan di Sumatera Utara untuk segera mengambil tindakan preventif.
Melihat kondisi yang semakin mengkhawatirkan ini, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menggagas program Penguatan Profil Pelajar Pancasila sebagai solusi jangka panjang. Program ini bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai Pancasila secara lebih mendalam dan aplikatif kepada para pelajar. Enam dimensi yang menjadi fokus dalam profil Pelajar Pancasila adalah beriman, bertakwa kepada Tuhan YME, dan berakhlak mulia, berkebinekaan global, bergotong royong, mandiri, bernalar kritis, dan kreatif.
Namun, pertanyaan yang muncul adalah sejauh mana efektivitas program ini dalam menekan angka tawuran? Apakah penerapan nilai-nilai Pancasila mampu mengatasi akar permasalahan yang sesungguhnya? Kritik terhadap implementasi program Penguatan Profil Pelajar Pancasila pun tak dapat dihindari. Beberapa pengamat pendidikan menilai bahwa program ini masih terlalu teoretis dan kurang menyentuh realitas di lapangan. Dr. Siti Rahmah, seorang psikolog pendidikan dari Universitas Sumatera Utara, dalam sebuah wawancara menyatakan, “Program Penguatan Profil Pelajar Pancasila sebenarnya sudah bagus secara konsep. Namun, implementasinya di lapangan masih jauh dari harapan. Banyak sekolah yang hanya menjalankan program ini sebagai formalitas, tanpa benar-benar mengintegrasikannya ke dalam kurikulum dan kegiatan sehari-hari siswa.” Kritik senada juga dilontarkan oleh praktisi pendidikan, Agus Sutanto, yang menyoroti kurangnya keterlibatan aktif siswa dalam program ini. “Selama ini, pendekatan yang digunakan masih bersifat top-down. Siswa hanya menjadi objek pasif yang menerima ‘doktrin’ nilai-nilai Pancasila, tanpa diberi ruang untuk mengeksplorasi dan mengaplikasikannya secara mandiri,” ujarnya.
Fenomena tawuran pelajar yang terus berulang menunjukkan adanya kesenjangan antara idealisme pendidikan karakter berbasis Pancasila dengan realitas di lapangan. Di satu sisi, kita memiliki landasan filosofis yang kuat dalam Pancasila sebagai pedoman hidup berbangsa dan bernegara. Namun di sisi lain, implementasi nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari, terutama di kalangan pelajar, masih jauh dari harapan. Dr. Rahmat Hidayat, seorang sosiolog dari Universitas Negeri Medan, menekankan pentingnya memahami akar permasalahan tawuran pelajar secara lebih komprehensif. “Tawuran bukan sekadar manifestasi dari kurangnya pemahaman terhadap nilai-nilai Pancasila. Ada faktor-faktor sosial, ekonomi, dan psikologis yang juga berperan. Misalnya, tekanan akademik yang berlebihan, kurangnya ruang ekspresi bagi remaja, hingga masalah keluarga yang dibawa ke lingkungan sekolah,” jelasnya. Lebih lanjut, Dr. Hidayat menggarisbawahi pentingnya pendekatan yang lebih holistik dalam menangani masalah tawuran pelajar. “Kita tidak bisa hanya mengandalkan pendekatan punitif atau hukuman. Yang lebih penting adalah bagaimana membangun kesadaran kolektif di kalangan pelajar bahwa tawuran bukan solusi atas permasalahan apapun,” ujarnya.
Dalam konteks Sumatera Utara, di mana keberagaman etnis dan budaya sangat kental, penguatan nilai-nilai Pancasila menjadi semakin relevan. Provinsi ini, dengan komposisi penduduk yang terdiri dari berbagai suku seperti Batak, Melayu, Nias, dan pendatang dari berbagai daerah lain di Indonesia, seharusnya menjadi miniatur keberagaman Indonesia yang harmonis. Namun, fakta bahwa tawuran pelajar juga marak terjadi di wilayah ini menunjukkan bahwa nilai-nilai kebhinekaan belum sepenuhnya terinternalisasi dalam diri para pelajar. Prof. Dr. Syaiful Sagala, guru besar Universitas Negeri Medan, dalam sebuah seminar pendidikan baru-baru ini menyoroti pentingnya revitalisasi pendidikan karakter di sekolah-sekolah. “Kita perlu kembali ke akar, yaitu menanamkan nilai-nilai luhur budaya bangsa yang tercermin dalam Pancasila. Namun, cara penyampaiannya harus disesuaikan dengan konteks kekinian. Penggunaan teknologi dan metode pembelajaran yang lebih interaktif bisa menjadi solusi,” ungkapnya.
PEMBAHASAN (ISI)
Implementasi program Penguatan Profil Pelajar Pancasila di sekolah-sekolah diharapkan dapat menjadi benteng pertahanan terakhir dalam mencegah tawuran pelajar. Namun, efektivitas program ini dalam menekan angka tawuran masih menjadi pertanyaan besar. Beberapa kritik terhadap penerapan program ini selama ini tidak dapat dihindari. Dr. Siti Rahmah, psikolog pendidikan dari Universitas Sumatera Utara, mengungkapkan, “Program Penguatan Profil Pelajar Pancasila sebenarnya sudah bagus secara konsep. Namun, implementasinya di lapangan masih jauh dari harapan. Banyak sekolah yang hanya menjalankan program ini sebagai formalitas, tanpa benar-benar mengintegrasikannya ke dalam kurikulum dan kegiatan sehari-hari siswa.” Kritik lain datang dari praktisi pendidikan, Bapak Agus Sutanto, yang menyoroti kurangnya keterlibatan aktif siswa dalam program ini. “Selama ini, pendekatan yang digunakan masih bersifat top-down. Siswa hanya menjadi objek pasif yang menerima ‘doktrin’ nilai-nilai Pancasila, tanpa diberi ruang untuk mengeksplorasi dan mengaplikasikannya secara mandiri,” ujarnya.
Menanggapi berbagai kritik tersebut, perlu adanya evaluasi menyeluruh terhadap implementasi program Penguatan Profil Pelajar Pancasila. Beberapa solusi yang dapat dipertimbangkan untuk penerapan ke depan antara lain:
1. Integrasi nilai-nilai Pancasila dalam kurikulum secara holistik. Tidak hanya dalam mata pelajaran tertentu seperti PKn, tetapi juga dalam mata pelajaran lain dan kegiatan ekstrakurikuler. Misalnya, dalam pelajaran sejarah, siswa dapat diajarkan tentang peran nilai-nilai Pancasila dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.
2. Pendekatan pembelajaran berbasis proyek dan pengalaman. Siswa dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan nyata yang mencerminkan nilai-nilai Pancasila, seperti proyek sosial kemasyarakatan atau kolaborasi lintas sekolah. Contohnya, siswa dapat merancang dan melaksanakan program bersih lingkungan yang melibatkan berbagai komunitas di sekitar sekolah.
3. Pelatihan guru yang lebih intensif. Guru sebagai ujung tombak implementasi program ini harus dibekali dengan pemahaman dan keterampilan yang memadai untuk menjadi role model bagi siswa. Pelatihan tidak hanya berfokus pada aspek teoritis, tetapi juga praktis dalam mengintegrasikan nilai-nilai Pancasila dalam proses pembelajaran sehari-hari.
4. Pelibatan orang tua dan masyarakat. Program ini tidak boleh hanya berhenti di sekolah, tetapi harus didukung oleh lingkungan keluarga dan masyarakat. Sekolah dapat mengadakan seminar atau workshop untuk orang tua tentang bagaimana menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari di rumah.
5. Penggunaan teknologi dan media sosial. Memanfaatkan platform digital untuk menyebarluaskan nilai-nilai Pancasila dengan cara yang lebih menarik dan relevan bagi generasi muda. Misalnya, mengadakan kompetisi konten kreatif berbasis nilai Pancasila di media sosial yang populer di kalangan remaja.
6. Evaluasi berkala dan perbaikan berkelanjutan. Perlu adanya sistem monitoring dan evaluasi yang terstruktur untuk memastikan efektivitas program dan melakukan penyesuaian yang diperlukan. Evaluasi ini harus melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk siswa, guru, orang tua, dan masyarakat.
Implementasi solusi-solusi di atas diharapkan dapat mengubah persepsi bahwa tawuran adalah hal yang “keren” atau menjadi bagian dari budaya pelajar. Sebaliknya, tawuran harus dipandang sebagai tindakan yang memalukan dan bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila yang menjadi jati diri bangsa Indonesia.Dr. Rahmat Hidayat, sosiolog dari Universitas Negeri Medan, menekankan pentingnya pendekatan yang lebih humanis dalam menangani masalah tawuran pelajar. “Kita tidak bisa hanya mengandalkan pendekatan punitif atau hukuman. Yang lebih penting adalah bagaimana membangun kesadaran kolektif di kalangan pelajar bahwa tawuran bukan solusi atas permasalahan apapun,” ujarnya. Lebih lanjut, Dr. Hidayat menyarankan agar sekolah-sekolah di Sumatera Utara mulai menginisiasi program “Duta Perdamaian Pelajar” yang melibatkan siswa-siswa dari berbagai sekolah untuk bersama-sama menyuarakan anti-kekerasan dan mempromosikan resolusi konflik secara damai. Program ini bisa menjadi model percontohan yang kemudian diadopsi secara nasional. Di sisi lain, peran media juga tidak kalah penting dalam membentuk opini publik tentang tawuran pelajar dan nilai-nilai Pancasila. Pemberitaan yang berimbang dan edukatif dapat membantu membangun kesadaran masyarakat tentang pentingnya menjaga keharmonisan dan menghindari konflik. Penguatan Profil Pelajar Pancasila bukan sekadar program pendidikan biasa. Ini adalah upaya strategis untuk membentuk generasi muda Indonesia yang berkarakter, berwawasan luas, dan memiliki integritas moral yang tinggi.
Dalam konteks maraknya tawuran pelajar, program ini menjadi lebih relevan dari sebelumnya. Namun, keberhasilan program ini tidak bisa hanya bertumpu pada pemerintah dan institusi pendidikan semata. Dibutuhkan kerja sama dan sinergi dari seluruh elemen masyarakat. Orang tua, tokoh masyarakat, media, dan tentunya para pelajar sendiri harus berperan aktif dalam mewujudkan cita-cita Pelajar Pancasila. Dalam konteks Sumatera Utara, di mana keberagaman etnis dan budaya sangat kental, penerapan nilai-nilai Pancasila menjadi semakin penting. Program-program yang mengedepankan interaksi positif antar pelajar dari berbagai latar belakang perlu digalakkan. Misalnya, festival budaya antar sekolah atau proyek kolaboratif yang melibatkan siswa dari berbagai daerah di Sumatera Utara. Pemerintah daerah Sumatera Utara juga perlu mengambil langkah konkret dalam mendukung program Penguatan Profil Pelajar Pancasila. Alokasi anggaran yang memadai untuk pelatihan guru, pengembangan kurikulum berbasis Pancasila, dan fasilitas pendukung lainnya harus menjadi prioritas.
Pada akhirnya, upaya mengatasi tawuran pelajar melalui Penguatan Profil Pelajar Pancasila harus dilihat sebagai investasi jangka panjang untuk masa depan bangsa. Meskipun hasilnya mungkin tidak akan terlihat dalam waktu singkat, konsistensi dan komitmen dari semua pihak dalam menjalankan program ini akan membawa perubahan positif yang signifikan bagi generasi muda Indonesia.
PENUTUP
Sebagai penutup, mari kita renungkan kembali makna sejati pendidikan. Apakah hanya untuk mengejar nilai akademis dan gelar, ataukah untuk membentuk manusia Indonesia seutuhnya yang mampu menghadapi tantangan global tanpa kehilangan jati diri? Sudah saatnya kita semua, sebagai bagian dari masyarakat Indonesia, mengambil peran dalam membentuk generasi penerus bangsa yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga bijaksana dalam bersikap dan bertindak.
Penguatan Profil Pelajar Pancasila bukan sekadar program pemerintah, melainkan tanggung jawab bersama seluruh elemen bangsa. Setiap langkah yang kita ambil hari ini dalam mendidik generasi muda akan menentukan masa depan Indonesia. Mampukah kita mengubah tren tawuran menjadi tren prestasi? Bisakah kita mentransformasi energi para pelajar dari konflik menjadi kreativitas? Tantangan terbesar kita adalah menjadikan nilai-nilai Pancasila bukan hanya sebagai konsep abstrak yang dipelajari di ruang kelas, tetapi sebagai panduan hidup yang tercermin dalam setiap tindakan. Ini adalah perjalanan panjang yang membutuhkan kesabaran, konsistensi, dan kerja keras dari semua pihak. Namun, bukankah lebih baik memulai perjalanan seribu mil hari ini daripada menyesali keterlambatan di kemudian hari?
Akhirnya, kepada para pelajar di seluruh Indonesia, khususnya di Sumatera Utara, ingatlah bahwa masa depan bangsa ada di tangan kalian. Setiap pilihan yang kalian ambil hari ini akan membentuk Indonesia di masa depan. Jadilah pelopor perubahan, bukan pengikut arus negatif. Bukankah lebih membanggakan menjadi pemimpin yang membangun, daripada perusak yang menghancurkan? Mari kita bersama-sama mewujudkan cita-cita Pelajar Pancasila: generasi muda Indonesia yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, berkebhinekaan global, bergotong royong, mandiri, bernalar kritis, dan kreatif. Karena pada akhirnya, bukankah lebih baik mencegah satu tawuran daripada menangisi seribu korban?
Comments
Komentar Anda