Oleh: Muhammad Falah Nasution
Guru Sejarah SMAN 2 Plus Panyabungan/Alumni Pend. Sejarah FIS UNIMED
Menurut Drs. Askolani, selaku budayawan Mandailing, mengatakan bahwa sungai Batang Angkola menjadi rute transportasi air dalam pengangkutan kapur barus dan kemenyan dari dataran tinggi Tapanuli Bagian Selatan menuju Barus melewati laut barat Sumatera pada perdagangan kapur barus di Barus saat itu. Sedangkan sungai Batang Gadis terdapat penambangan emas di sekitaran sungainya. Hal itu memiliki keterkaitan dengan sebutan pada tanah Mandailing sebagai “Tano Sere” atau tanah emas. Penambangan emas disekitaran sungai Batang Gadis diperkuat lagi dengan adanya lubang penggalian emas oleh masyarakat pada masa itu yang terletak tidak jauh dari Lumpatan Harimau (sekitaran muara).
Selain hal di atas, awal abad ke-16 M pada masa kedatangan bangsa Eropa ke Nusantara, pulau Sumatera dikatakan sebagai penghasil emas dengan jumlah yang banyak diperoleh dari pedalaman ke Pedir di pantai Timur Aceh (MeKinnon, 2013: 19). Pernyataan itu ditulis seorang penulis Portugis bernama Tome Pires yang dapat memberikan penguatan bahwa daerah aliran sungai (DAS) Batang Gadis dan Batang Angkola penghasil emas dengan adanya penambangan emas pada masa itu.
Pernyataan bahwa sungai Batang Angkola sebagai rute perdagangan dalam perdagangan kapur barus dan kemenyan di Barus dapat dikaitkan dan dikatkan dengan sumber-sumber yang menyinggung daerah-daerah di Tapanuli Bagian Selatan sebagai penghasil kapur barus dan kemenyan. Dalam sebuah jurnal yang berjudul “The Trans-Sumatra Trade and the Ethnicization of the Batak” oleh Leonard Y. Andaya (2002) menyebut bahwa keberadaan kapur barus dan kemenyan tumbuh di tanah Sumatera, yaitu Singkel dan Air Bangis di Sumatera barat laut. Selain itu, dalam jurnal ini dikatakan bahwa jenis tanaman ini ditemukan di sebelah utara Padang Sidempuan ke daerah sekitar Tarutung. Sehingga tidak menutup kemungkinan sungai Batang Angkola dijadikan sebagai rute perdagangan mengangkut komoditi kapur barus dan kemenyan menuju Barus.
Pada perkembangan selanjutnya, akhir abad ke-8 M Kerajaan Sriwijaya menguasai perdagangan (monopoli) kapur barus dengan salah satunya mencegah ekspor kapur barus ke pelabuhan di Delta Mekong. Adanya monopoli perdagangan kapur barus oleh Sriwijaya di daerah laut barat Sumatera ini telah melibatkan daerah aliran sungai Batang Angkola dan sungai Batang Gadis sebagai lintasan perdagangan dalam pengangkutan komoditi kapur barus dan kemenyan dari huta barat laut Sumatera. Padang Lawas sebagai pusat pengumpulan komoditi dan selanjutnya komoditi tersebut dibawa melintasi pegunungan menuju lembah Angkola dekat Si Abu (Siabu sekarang) dan dilanjutkan ke selatan melalui Bonan Dolok ke Penyabungan dan Hutanopa di lembah Batang Gadis dan melewati beberapa daerah sampai tiba di kerajaan Sriwijaya.
Sungai Batang Gadis dan Sungai Batang Angkola: Situs-situs Hindu-Buddha
Jalur perdagangan yang telah ada di sungai Batang Gadis dan Batang Angkola serta di daerah aliran sungai kedua sungai tersebut telah meninggalkan hasil kebudayaan masyarakatnya. Hasil kebudayaan yang ditinggalkan berupa candi-candi atau dalam sebutan pada masyarakat Mandailing disebut “biara” yang bercorak Hindu-Buddha. Hal tersebut memberikan tanda bahwa pada masa lalu di daerah kedua sungai tersebut masyarakat dengan kebudayaan Hindu-Buddha datang dan bertempat tinggal di daerah tersebut, sehingga melahirkan situs-situs berkebudyaan yang dibawanya.
Pada masyarakat Hindu-Buddha di Nusantara, bangunan candi bukanlah sekedar bangunan saja. Candi bagi masyarakatnya memiliki fungsi dan berarti penting dalam politik dan religi. Candi pada masyarakat Hindu memilik fungsi sebagai tempat pemakaman, sedangkan candi pada masyarakat Buddha berfungsi sebagai tempat peribadatan (Darini, 2013: 59-60).
Peninggalan kebudayaan bercorak Hindu-Buddha di DAS Batang Gadis dan Batang Angkola ditemukan 5 situs yakni situs Biara Dagang dan Biara Balik atau Saba Biara di Pidoli Lombang, Panyabungan; situs Huta Siantar di Panyabungan dan situs Sibaluang di Siabu, serta situs Biara Simangambat di Desa Simangambat (Soedewo, 2008: 49). Jika dikelompokkan berdasarkan daerah ditemukannya situs-situs candi tersebut pada setiap aliran kedua sungai, maka dapat dilihat situs Biara Dagang dan Biara Balik atau Saba Biara di Pidoli Lombang, Panyabungan dan Situs Huta Siantar di Panyabungan terdapat di DAS Batang Gadis sedangkan Situs Sibaluang di Siabu dan Situs Biara Simangambat di Desa Simangambat terdapat di DAS Batang Angkola.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dianalisis antara keberadaan kelima situs dengan perdagangan internasional dan perdagangan Sumatera pada saat itu memiliki keterkaitan dan hubungan antara keduanya. Selain itu, adanya aktifitas perdagangan berbagai suku bangsa di Sumatera Timur pada awal tarikh telah meninggalkan peradaban manusia berupa jalur perdagangan dan bangunan megah dan indah berupa candi-candi.
Referensi
Andaya, Leonard Y. 2002. The Trans-Sumatra Trade and the Ethnicization of the Batak. KITLV. Volume 158, No. 3. Diunduh dari situs http://www.jstor.org/stable/27865844
Asnan, Gusti. 2016. Sungai & Sejarah Sumatra. Yogyakarta: Ombak
Azhari, Ichwan. 2017. “Politik Historiografi” Sejarah Lokal: Kisah Kemenyan dan Kapur dari Barus, Sumatera Utara. Jurnal Sejarah dan Budaya No. 1.
Darini, Ririn. 2013. Sejarah Kebudayaan Indonesia Masa Hindu-Buddha. Yogyakarta: Ombak
MeKinnon, Edmund Edwards. Kota China: Konteks dan Makna Dalam Perdagangan Asia Tenggara pada Abad Kedua Belas hingga Abad Keempat Belas. Medan Estate: Unimed Press
Reid, Anthony. (2011). Menuju Sejarah Sumatrs: Antara Indonesia dan Dunia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia
BPS Kabupaten Mandailing Natal. 2010. Statistik Daerah Kabupaten Mandailing Natal 2010.
Diunduh dari situs https://mandailingnatalkab.bps.go.id
Soedewo, Ery. 2008. Sumberdaya Lahan Basah di Situs-Situs Masa Hindu-Buddha di Daerah Aliran Sungai Batang Gadis dan Batang Angkola. Jurnal Berkala Arkeologi Sangkhakala. Volume 22. No. 11.
Comments
Komentar Anda