Oleh: Saridah
Aktivis Muslimah
Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Sukabumi menyebutkan ada 11 warga Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat diduga menjadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dan disekap di Myanmar.
Ketua SBMI Sukabumi Jejen Nurjanah sebagaimana dilansir Antara edisi Rabu 11/9/024 di Sukabumi, awalnya mereka dijanjikan bekerja jadi tenaga admin/administrasi atau pelayan investasi berbentuk mata uang Kripto di Thailand, tapi pada akhirnya menyeberang ke Myawaddy, Myanmar dan bekerja menjadi pelaku penipuan (scammer) daring.
Hingga saat ini pihaknya masih terus berkoordinasi dengan Kemenlu RI serta instansi terkait lainnya. Selain itu, memantau perkembangan kondisi para korban untuk mengetahui keselamatannya, apalagi seperti diketahui mereka selain disekap juga mengalami penyiksaan serta selama kurang lebih empat bulan hanya diberikan makanan bekas serta tidak layak.
Kasus TPPO, Persoalan Sistem
Sebagian orang memandang maraknya perdagangan orang adalah akibat permasalahan ekonomi dan kemiskinan. Juga karena mandulnya sanksi hukum terhadap pelaku perdagangan orang sehingga tidak membuat jera. Seiring waktu, kasus perdagangan orang ternyata tidak hanya terjadi di dalam negeri, melainkan sudah merambah ke luar negeri.
Sesungguhnya, adanya pengotak-ngotakan menjadi negara-negara kecil — di antaranya ada si kaya dan si miskin — serta kewajiban memiliki surat-surat izin, seperti paspor dan visa, menjadikan kasus ini makin marak. Oleh sebab itu, pembentukan gugus tugas di setiap provinsi untuk menyelesaikan masalah perdagangan orang tidak akan mampu menjadi solusi karena tidak menyentuh akar permasalahan.
Jika kita cermati lebih dalam, penyebab problem ini terjadi tidak bisa dilepaskan dari karut-marut pola kehidupan yang tengah dijalankan di hampir seluruh dunia, termasuk Indonesia. Pola tersebut adalah kapitalisme yang tegak di atas asas sekularisme yang menafikan peran agama dalam pengaturan kehidupan.
Sekularisme berikut paham-paham turunannya yang batil — seperti liberalisme dan materialisme — yang memengaruhi negeri ini, memang meniscayakan kehidupan yang serba sempit. Terlebih adanya kebijakan yang tidak memihak rakyat, makin membebani keluarga muslim dengan kehidupan yang serba sulit.
Berbagai permasalahan yang berakar pada rusaknya sistem kehidupan ini akhirnya menjadikan rakyat mengambil jalan pintas. Di satu sisi mudah terbujuk oleh imbalan materi yang diiming-imingi oleh para pelaku perdagangan orang. Di sisi lain, para pelaku perdagangan orang mengambil cara mudah untuk mendapatkan uang atau materi tanpa berpikir, apakah yang mereka lakukan itu mencelakakan orang atau tidak? Apakah sesuai dengan syariat? Nyatanya, semua dilakukan semata agar bisa mendapatkan sebanyak-banyaknya materi untuk bisa hidup enak.
Walhasil, maraknya perdagangan orang bukan hanya terkait masalah kemiskinan, budaya, dan hukum, melainkan sistemis, yakni akibat pembiaran pengaruh sekuler kapitalisme. Satu-satunya solusi untuk keluar dari permasalahan perdagangan ini hanyalah dengan mencampakkannya dari pengaturan kehidupan dan menggantinya dengan sistem kehidupan yang sempurna, yakni Islam.
Islam Punya Solusi Tuntas
Berbeda dengan kapitalisme, sistem Islam tegak di atas paradigma yang sahih, yakni pemikiran mendasar yang meyakini bahwa di balik alam semesta, manusia, dan kehidupan, ada Allah Swt., Sang Maha Pencipta, Yang Maha Pengatur. Bahwa hakikat kehidupan manusia terkait dengan misi penciptaan sebagai khalifatullah fil-ardh yang suatu saat nanti di kehidupan akhirat akan dimintai pertanggungjawaban, sekaligus mendapat balasan setimpal atas segala yang telah dilakukan.
Pemikiran inilah yang akan mencegah seseorang untuk melakukan tindakan kejahatan, termasuk perdagangan orang atau memaksa perempuan (bahkan anak-anak) terlibat dalam bisnis prostitusi.
Tersebab syariat Islam turun untuk mengatur kehidupan manusia sesuai dengan misi penciptaannya, syariat Islam hakikatnya merupakan solusi atas seluruh aspek kehidupan dengan solusi yang sempurna dan menyeluruh. Syariat Islam bersifat universal, lengkap, dan terpadu. Alhasil, jika syariat ini diterapkan secara kafah, dipastikan manusia akan bisa meraih kebahagiaan hakiki yang secara fitrah diinginkannya, baik di kehidupan dunia dengan diraihnya kesejahteraan dan jaminan keadilan, maupun di kehidupan akhirat berupa diperolehnya rida Allah Taala.
Jika dilaksanakan secara sempurna, syariat Islam akan berfungsi menjaga hal-hal mendasar dan urgen bagi manusia tanpa kecuali, seperti menjaga jiwa, keturunan, akal, kehormatan, agama, harta, hingga menjaga keamanan dan negara.
Contohnya, Islam mengharamkan pembunuhan dan kekerasan, termasuk perdagangan orang, perzinaan (apalagi menyuruh berzina sebagaimana sering terjadi pada kasus perdagangan orang), melarang tindakan yang mengganggu keamanan, dan lain-lain. Sebagai jaminan bagi tegaknya hukum-hukum tersebut, Islam menetapkan sistem sanksi yang sangat tegas, adil, dan konsisten.
Dengan gambaran ini, masyarakat yang menerapkan syariat Islam secara utuh akan menjadi masyarakat yang bersih, sehat, dan sejahtera. Kalaupun ada kemaksiatan, hal itu hanya akan bersifat kasuistik dan bukan menjadi potret buram seperti sekarang. Setiap orang, tanpa terkecuali, akan terlindungi hak-haknya. Begitu pun kaum perempuan, kehormatannya akan senantiasa terjaga.
Dengan demikian, kasus-kasus komoditisasi perempuan yang merebak saat ini, termasuk perdagangan orang yang sebagian besarnya adalah perdagangan perempuan dan anak- anak, akan tercegah dengan sendirinya. Hal yang tidak akan muncul dalam sistem masyarakat yang menerapkan Islam, yakni dalam sistem Khilafah Islamiah, sebagaimana telah terbukti pada masa lalu.
Bagaimana Khilafah Melindungi Rakyatnya dari Perdagangan Orang?
Dalam sistem Islam, negara adalah pihak yang bertanggungjawab penuh atas rakyatnya. Negara adalah pihak yang paling bertanggung jawab dalam persoalan masyarakat hingga individu per individunya.
Dalam Islam, tanggung jawab negara diserahkan kepada kepala negara, yaitu khalifah. Ia sebagai imam atau pemimpin dari kaum muslim. Sebagai raa’in, kepala negara harus melindungi rakyatnya dari segala mara bahaya. Kelak, ia akan dimintai pertanggungjawaban pada hari kiamat atas amanah kepemimpinannya itu.
Rasulullah saw. bersabda,
رَعِيَّتِهِ عَنْ وَمَسْئُولٌ رَاعٍ الإِمَامُ
“Imam adalah raa’in atau penggembala dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR Bukhari).
Lalu bagaimana Khilafah melaksanakan tugasnya?
Pertama, negara menjadi perisai (pelindung) sepenuhnya bagi rakyatnya.
Dalam hadis Rasulullah saw., imam atau negara adalah junnah (perisai). Sebagaimana layaknya perisai, ia bertanggungjawab sepenuhnya terhadap rakyatnya.
إِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ
“Sesungguhnya al-imam itu perisai yang (orang-orang) akan berperang di belakangnya dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)nya.” (HR Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud).
Al-imam atau khalifah harus bisa menjadi junnah bagi orang yang dipimpinnya. Ia wajib melindungi dan menjaga agama rakyatnya agar tetap dalam ketakwaan kepada Allah Taala. Ia juga wajib memelihara agar sandang, pangan, dan papan rakyatnya bisa tercukupi.
Demikian juga kebutuhan kolektif mereka, seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan terjaga. Mereka juga paham bahwa tanggung jawab mengurus urusan rakyat ini akan dimintai pertanggungjawabannya hingga ke akhirat. Khalifah dan aparatnya harus melayani kebutuhan rakyatnya sesuai syariat Islam.
Ketika peran ini dilaksanakan oleh negara, kebutuhan pokok rakyat (sandang, pangan, dan papan), juga kebutuhan kolektif rakyat (pendidikan, kesehatan, dan keamanan) akan terpenuhi seluruhnya.
Dengan penjagaan ketakwaan yang dilakukan negara, terpenuhinya seluruh kebutuhan rakyat, serta banyak kesempatan untuk bisa memenuhi kebutuhan pelengkapnya, rakyat tidak akan mudah tergiur —bahkan sama sekali tidak akan tergiur— oleh bujuk rayu atau iming-iming dari berbagai pihak yang menjanjikan pekerjaan sampai harus ke luar negeri. Ini karena negara telah mencukupi semua kebutuhan pokok dan kolektifnya.
Kedua, negara akan mengedukasi rakyat dengan pemahaman Islam.
Ketika negara Islam berdiri, bukan berarti dakwah Islam berhenti. Justru Khilafah yang akan menjadi pemeran utama dalam melakukan proses pencerdasan rakyatnya dengan dakwah Islam.
Tentu saja target dari proses edukasi atau pencerdasan ini adalah agar ketakwaan umat Islam makin kuat dan mereka makin memahami syariat Islam secara benar, selanjutnya menjadikan syariat Islam sebagai pegangan dalam kehidupan. Dengan edukasi ini, setiap kepala keluarga akan paham tugas dan kewajibannya. Demikian pula para perempuan, akan paham tentang tugas utamanya sebagai ummun wa rabbatul bait.
Dengan pemahaman Islam yang dimiliki, keduanya akan berusaha menunaikan kewajiban masing-masing. Seorang ayah atau suami tidak akan mudah mengizinkan anak atau istrinya bekerja ke luar negeri, padahal mereka memiliki anak, walaupun akan digaji besar.
Para muslimah pun tidak mudah terbujuk atau tergiur bekerja ke tempat lain, apalagi ke negeri lain, hanya karena iming-iming gaji besar, sedangkan ia harus meninggalkan suami dan anak-anaknya. Ia paham jika ia meninggalkan suami dan anaknya, ia telah melalaikan kewajibannya sebagai ibu dan istri. Dengan edukasi inilah, rakyat akan terjaga dalam pelaksanaan hukum syarak.
Ketiga, negara mewajibkan kepala keluarga untuk mencari nafkah.
Khilafah berkewajiban memastikan setiap individu, keluarga, dan masyarakat bisa memenuhi tanggung jawabnya memenuhi kesejahteraan. Negara memastikan setiap kepala keluarga memiliki mata pencarian dan mewajibkan pihak-pihak yang bertanggung jawab terhadap perempuan dan anak-anak untuk memenuhi hak mereka dengan baik.
Dengan ketetapan ini, seorang istri tidak perlu susah payah mencari uang karena telah terpenuhi oleh suami atau walinya. Ia akan fokus menjalankan peran utamanya sebagai ummun wa rabbatul bait sehingga tumbuh kembang anak-anak bisa tetap terjaga. Lebih dari itu, kehormatan dan kemuliaan perempuan akan terjaga sehingga tercegah dari tindakan kekerasan terhadapnya, apa pun bentuknya
Islam mewajibkan suami atau para wali untuk mencari nafkah. Allah Swt. berfirman, “Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut.” (QS Al-Baqarah: 233).
“Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya.” (QS An-Nisa: 34).
Khilafah akan menindak tegas suami yang tidak memenuhi kebutuhan keluarganya dengan baik — melalui perantara khalifah. Lebih dari itu, meskipun kaum perempuan tidak bekerja dan tidak mempunyai uang, kedudukan mereka tidak lantas menjadi rendah di depan suaminya ataupun di tengah masyarakat, juga tidak berpeluang untuk dianiaya. Ini karena istri berhak mendapatkan perlakuan baik dari suaminya.
Pergaulan suami istri adalah pergaulan persahabatan. Satu sama lain berhak mendapatkan ketenteraman dan ketenangan. Kewajiban nafkah ada di pundak suami yang jika dipenuhi akan menumbuhkan ketaatan pada diri istri. Pelaksanaan hak dan kewajiban suami istri inilah yang menciptakan mawaddah wa rahmah dalam keluarga.
Keempat, Khilafah wajib menyediakan lapangan pekerjaan bagi laki-laki.
Khilafah menyediakan berbagai fasilitas lapangan kerja agar setiap orang yang mampu bekerja dapat memperoleh pekerjaan. Jika orang-orang yang wajib bekerja telah berupaya mencari pekerjaan, tetapi ia tidak memperoleh pekerjaan, sedangkan ia mampu bekerja dan telah berusaha mencari pekerjaan tersebut, negaralah yang wajib menyediakan lapangan pekerjaan atau memberikan berbagai fasilitas.
Dengan demikian, seorang suami dapat bekerja untuk mencari nafkah penghidupan agar dapat memberi nafkah pada keluarga mereka. Perempuan tidak harus bekerja keluar rumah, bahkan harus pergi ke luar negeri menjadi buruh migran sehingga tidak memberi peluang adanya perlakuan keji terhadap mereka.
Berdasarkan hadis bahwa imam adalah raa’in atau pemelihara dan pengatur urusan rakyatnya, para ulama menyatakan bahwa wajib atas waliyyul amri (penguasa) memberikan berbagai sarana pekerjaan kepada para pencari kerja. Menciptakan lapangan kerja adalah kewajiban negara dan merupakan bagian tanggung jawabnya terhadap pemeliharaan dan pengaturan urusan rakyat. Inilah kewajiban yang telah ditetapkan secara syar’i dan telah diterapkan oleh para pemimpin negara Islam, terutama pada masa-masa kejayaannya.
Kelima, Khilafah Islamiah tidak menoleransi prinsip bisnis ala kapitalisme.
Khilafah wajib menerapkan syariat Islam secara kafah di tengah umat. Bisnis yang dilakukan warganya juga mesti berdasarkan ketentuan syariat. Negara akan melarang semua praktik prostitusi, klub malam, atau tempat-tempat lainnya yang menyajikan tarian mesum; atau aktivitas bisnis, seperti toko-toko dan pameran yang mengeksploitasi penampilan perempuan dan lelaki sebab dapat mengantarkan pada perkara haram.
Faktanya pula, bisnis seperti ini justru menumbuhsuburkan prostitusi dan perdagangan orang, terutama perempuan dan anak-anak. Hal ini tentu saja dilarang oleh Islam berdasarkan kaidah syarak (حرام الحرام إلى الوسيلة) “Sarana yang dapat mengantarkan pada yang haram adalah haram.”
Keenam, Khilafah menerapkan sanksi bagi pelaku kejahatan.
Negara akan menjatuhkan sanksi keras dan tegas kepada sindikat atau pihak-pihak yang terlibat dalam jaringan perdagangan orang. Sanksi akan dijatuhkan sesuai keterlibatan dan kejahatan yang mereka lakukan. Siapa pun yang terlibat akan mendapat sanksi atas setiap tindakan yang mereka lakukan, tanpa pandang bulu.
Adapun korban mereka tidak akan dijatuhkan sanksi karena status mereka adalah korban dan dipaksa melakukan tindakan kriminal. Mereka terbebas dari segala sanksi, tetapi tetap akan diberikan ta’dib (pendidikan).
Abdurrahman al-Maliky dalam kitab Nizhamul ‘Uqubat menjelaskan sanksi bagi orang yang membawa atau melarikan orang lain dengan tipu muslihat, atau dengan paksaan dan tidak mengembalikannya selama 3 hari, akan dikenakan sanksi penjara 5 tahun. Namun, jika disertai penyiksaan, akan dikenakan 15 tahun penjara ditambah hukuman jilid dan pengasingan.
Selain itu, siapa pun yang memperdaya perempuan atau laki-laki dengan pekerjaan fiktif atau dengan kekerasan, ancaman, atau pemberian uang, maka pelakunya dikenakan sanksi 3 tahun penjara dan dijilid.
Sementara itu, setiap orang yang memudahkan orang lain untuk berzina dengan sarana dan cara apa pun, akan dikenakan sanksi 5 tahun penjara dan dijilid. Jika pelakunya suami atau mahramnya atau lebih berat tindakannya, hukumannya lebih berat, yakni penjara 10 tahun (Nizhamul ‘Uqubat karya Abdurrahman al-Maliky).
Penerapan hukum secara utuh ini akan menyelesaikan masalah perdagangan orang, terlebih lagi anak-anak — sebagai aset bangsa — secara tuntas. Anak-anak dapat tumbuh dengan aman, serta menjadi para calon pemimpin, pejuang, dan generasi terbaik.
Namun, yang mampu menjalankan fungsi dan tanggung jawab seperti di atas tidak lain hanyalah negara yang menerapkan sistem Islam secara utuh, yaitu Khilafah Islamiah. Dalam khilafah, jangankan nyawa dan kehormatan manusia, nasib seekor anak domba pun amat diperhatikan oleh pemimpinnya.
Ada perkataan yang masyhur dari Khalifah Umar bin Khaththab ra., “Jika ada anak domba mati sia-sia di tepi Sungai Eufrat (di Irak), sungguh aku takut Allah akan menanyaiku tentang hal itu.”
Jika nasib anak domba saja begitu dicemaskan oleh para khalifah, apalagi nasib anak-anak manusia.
Demikianlah keunggulan sistem kehidupan Islam. Masihkah berharap pada sistem sekuler kapitalisme yang sungguh telah gagal melindungi rakyatnya? Dengan lantang kita katakan, “Tidak!”
Inilah saatnya bagi kita berjuang bersama untuk mewujudkan sistem kehidupan yang unggul dalam bingkai Khilafah. Hanya dengan Khilafah, seluruh aturan Islam akan bisa tegak di muka bumi ini. Hanya dengan diterapkannya aturan Islam secara kafah pula, seluruh permasalahan akan bisa diselesaikan, termasuk perdagangan orang.
Mengembalikan sistem Islam inilah yang seharusnya menjadi titik fokus perjuangan umat saat ini. Caranya adalah membangkitkan pemikiran mereka dengan Ideologi Islam, sebuah ideologi yang selama berabad-abad mampu menjadikan umat Islam sebagai sebaik-baik umat.
Pada saat itu, seluruh masyarakat, laki-laki dan perempuan, hidup dalam jaminan keadilan dan kesejahteraan di bawah sistem negara yang bersih dan mendapat ampunan Allah Taala. Sistem negara yang dimaksud adalah Khilafah Islamiah. Wallahualam bissawab.
Comments
Komentar Anda