Wilayah Mandailing
Dalam membicarakan perlawanan yang pernah dilakukan oleh Sutan Mangkutur terhadap Belanda di daerah Mandailing, pada abad yang lalu, lebih dahulu akan dikemukakan beberapa hal tentang wilayah tersebut.
Menurut Prapanca di dalam bukunya Negarakertagama, Mandailing termasuk ke dalam wilayah kerajaan Majapahit. Namun demikian dapat dikatakan bahwa sampai sekarang wilayah Mandailing belum termasuk yang banyak dibicarakan. Demikian juga peristiwa-peristiwa bersejarah yang pernah terjadi di wilayah bersangkutan.
Pada masa ini Mandailing merupakan bagian dari Kabupaten Mandailing Natal, sebagai kabupaten pemekaran dari Kabupaten Tapanuli Selatan di Propinsi Sumatera Utara. Wilayah yang bernama Mandailing, ialah kawasan yang di sebelah utara berbatasan dengan kecamatan Batang Angkola dan Kecamatan Sosopan, di sebelah selatan dengan Kabupaten Pasaman di Propinsi Sumatera Barat, di sebelah barat dengan Kecamatan Natal dan disebelah timur dengan Kecamatan Barumun dan Kecamatan Sosa.
Garis batas antara wilayah Mandailing dan Kecamatan Batang Angkola, di utara terletak di dekat daerah Angkola Jae, tepatnya Simarongit dekat desa Huta Baru dan Aek Badak. Dan garis batas antara wilayah Mandailing dengan Kabupaten Pasaman di selatan, terletak di desa Muara Cubadak, dekat Muarasipongi.
Dalam kedudukan geografisnya yang demikian , maka di bagian selatan, wilayah Mandailing langsung berbatasan dengan wilayah Minang Kabau di Propinsi Sumatera Barat. Mandailing merupakan daerah yang paling selatan dari Propinsi Sumatera Utara.
Secara tradisional, wilayah Mandailing terbagi dalam dua daerah, masing-masing yang disebut Mandailing Godang (Mandailing Besar) dan Mandailing Julu (Mandailing Hulu). Garis batas antara keduanya terletak di antara desa Maga dan Laru, dekat Kotanopan.
Kawasan yang termasuk ke dalam daerah Mandailing Godang ialah daerah Panyabungan dan sekitarnya, sampai ke perbatasan dengan daerah Angkola Jae di Kecamatan Batang Angkola. Demikian juga Kecamatan Batang Natal termasuk ke dalam daerah Mandailing Godang di sebelah barat.
Sedangkan kawasan yang termasuk ke dalam daerah Mandailing Julu, ialah daerah Kotanopan dan sekitarnya, sampai ke desa Laru di sebelah utara. Demikian juga daerah Pakantan di sebelah selatan yang terletak di Kecamatan Pakantan.
Di dalam kawasan Mandailing Julu, terdapat salah satu yang bernama Ulu Muarasipongi, yaitu tempat kediaman suku bangsa Ulu Muarasipongi di Kecamatan Muarasipongi.
Sebelum pemekaran dari kabupaten Tapanuli Selatan Kawasan Mandailing Godang pada waktu ini terdiri dari tiga kecamatan, masing-masing Kecamatan Panyabungan, Kecamatan Siabu dan Kecamatan Batang Natal. Dan kawasan Mandailing Julu terdiri dari dua Kecamatan, yaitu Kecamatan Kotanopan dan Kecamatan Muarasipongi.
Kerajaan Huta Godang di Ulu Pungkut
Pada masa yang lalu, sebelum Belanda menduduki wilayah Mandailing menjelang pertengahan abad 19, di wilayah tersebut terdapat banyak kerajaan-kerajaan kecil yang masing-masing diperintah oleh rajanya. Kerajaan-kerajaan kecil itu umumnya hanya terdiri dari beberapa huta atau kampung. Raja-rajanya memerintah secara demokratis bersama satu lembaga perwakilan yang dikenal sebagai lembaga Namora Natoras. Di dalam lembaga tersebut duduk Kepala-kepala Ripe, yaitu pimpinan kelompok orang-orang dari satu marga, ataupun pimpinan komunitas-komunitas lain yang terdapat dalam satu huta. Di dalam lembaga Namora Natoras biasanya duduk pula tokoh-tokoh adat, cerdik- cendekiawan dan tokoh-tokoh yang dituakan di tengah masyarakat. Tokoh-tokoh yang berkedudukan sebagai Namora Natoras boleh dikatakan sebagai wakil rakyat. Bersama merekalah raja menyelenggarakan pemerintahan termasuk di dalam melaksanakan pengadilan terhadap orang-orang yang berbuat kesalahan.
Kerajaan-kerajaan kecil yang terdapat di Mandailing pada masa yang lalu, masing-masing berdiri secara otonom, msekipun di antara raja-raja kecil itu pada dasarnya terdapat hubungan kekeluargaan berdasarkan adat.
Salah satu dari kerajaan (kecil) yang terdapat di Mandailing Julu, sebelum Belanda menduduki daerah tersebut ialah kerajaan Huta Godang di Kawasan Ulu Pungkut. Letaknya kurang lebih 20 kilo meter dari Kotanopan, yang dari sejak dahulu menjadi tempat yang terpenting di Mandailing Julu.
Kurang lebih satu setengah abad yang lalu, Sutan Mangkutur berkedudukan sebagai raja di Huta Godang, Ulu Pungkut, untuk menggantikan abang kandungnya Raja Gadombang, yang meninggal dunia pada tahun 1835 dalam perang Paderi.
Karena Sutan Mangkutur adalah raja dahulu di Huta Godang, maka sebelum membicarakan perlawanan yang pernah dilakukannya terhadap Belanda, ada baiknya kalau dikemukakan serba sedikit hal-hal yang berkaitan dengan kerajaan Huta Godang.
Kapan berdirinya kerajaan Huta Godang di Ulu Pungkut tidak diketahui dengan pasti. Tetapi menurut keterangan Raja Junjungan Lubis, yaitu raja terakhir dari Huta Godang, kerajaan tersebut didirikan oleh nenek moyang ia yang berasal dari Manambin. Manambin sendiri adalah salah satu kerajaan tertua di Mandailing Julu, dan tidak jauh letaknya dari Huta Godang.
Menurut tarombo atau daftar silsilah keluarga, atau marga, semua raja-raja bermarga Lubis yang pernah berkuasa pada kerajaan- kerajaan yang terdapat di Mandailing Julu, adalah keturunan dari seorang tokoh yang bernama Namora Pande Bosi.
Kapan mulai berkuasanya raja-raja bermarga Lubis pada kerajaan-kerajaan kecil yang dahulu terdapat di daerah Mandailing Julu tidak diketahui dengan pasti. Tetapi menurut kebiasaan, setiap raja yang berkuasa di satu tempat, selalu memberikan kesempatan kepada anggota keluarganya untuk pergi mamungka huta (membuka daerah baru) ke tempat lain. Biasanya anggota keluarga raja yang bertindak sebagai sipamungka huta (pembuka daerah baru) di satu tempat akan mendapat kedudukan sebagai pemimpin atau raja di daerah yang dibukanya.
Demikian pulalah awal berdirinya kerajaan Huta Godang di Ulu Pungkut, yang didirikan oleh keluarga raja bermarga Lubis dari Manambin beberapa abad yang lalu.
Namun demikian kerajaan Huta Godang bukan bahagian dari kerajaan Manambin tetapi ia merupakan kerajaan yang berdiri sendiri dan terlepas dari kekuasaan raja Manambin.
Kerajaan Huta Godang, terletak di daerah Ulu Pungkut. Pada kenyataan hanya kerajaan tersebut yang ada pada masa sebelum abad ke 19 atau sebelum masuknya Kaum Paderi ke Mandailing. Fakta adanya kerajaan lain, hampir sama sekali tidak dapat diperoleh. Hanya diketahui, bahwa sebelum Huta Godang (yang berarti kampung besar) didirikan, raja berkedudukan di satu tempat yang bernama Huta Dolok, yang terletak di atas sebuah bukit tidak begitu jauh dari Huta Godang yang sekarang.
Kemudian, setelah Islam masuk dibawa orang-orang Minangkabau ke Mandailing pada awal abad ke 19, Huta Dolok dipindahkan ke satu tempat yang baru, dan kemudian dinamakan Huta Godang.
Perpindahan terjadi sewaktu Raja Junjungan yang penghabisan. Atas perintah Tuanku Rao, Huta Dolok ditinggalkan dan didirikanlah Huta na Godang, agar masyarakat dapat berdiam dekat sungai guna mencuci diri untuk keperluan agama.
Melalui catatan yang demikian, dapatlah diketahui, bahwa Huta Godang didirikan setelah Islam masuk ke Mandailing. Sebab dipindahkannya Huta Dolok, ke tempat yang sekarang bernama Huta Godang, dengan tujuan agar orang dapat berdiam dekat sungai guna mencuci diri untuk keperluan agama, yaitu untuk mengambil air wuduk untuk sembahyang.
Selanjutnya, kurang lebih satu setengah abad yang lalu, di Huta Godang lah Sutan Mangkutur, yaitu salah seorang raja bermarga Lubis di Mandailing Julu menyusun kekuatannya untuk melakukan perlawanan terhadap Belanda.
Sutan Mangkutur
Keterangan biografis tentang Sutan Mangkutur tidak banyak diketahui. Menurut dugaan ia dilahirkan pada akhir abad ke 18 di Huta Dolok, Ulu Pungkut, Mandailing Julu. Setelah abang kandungnya Raja Gadombang meninggal dunia pada tahun 1835, karena tetembak di satu tempat antara Rao dan Lubuk Sikaping, sewaktu berkecamuknya perang antara kaum Paderi dan Belanda di tempat tersebut. Sutan Mangkutur dinobatkan menjadi raja sebagai penggantinya di Huta Godang.
Kedudukan Sutan Mangkutur sebagai raja di Huta Godang hanya berlangsung beberapa tahun saja, karena akhirnya ia ditangkap dan dibuang oleh Belanda.
Sutan Mangkutur adalah anak Namora Junjungan Lubis, setelah Namora Junjungan Lubis meninggal dunia, kedudukannya sebagai raja di Huta Godang digantikan oleh anaknya Raja Gadombang yang pernah diangkat Belanda menjadi Regen Mandailing. Kemudian setelah Raja Gadombang meninggal dunia pada tanggal 16 Nopember 1835, kedudukannya sebagai raja di Huta Godang digantikan oleh Sutan Mangkutur.
Kedatangan Belanda ke Mandailing
Dengan adanya surat dari Gubernur Jenderal Van den Bosch di Betawi, yang dikirimkan kepada Komandan Militer Belanda di Padang yaitu Letnan Kolonel Elout, pada tanggal 10 Maret 1832, dapatlah diketahui, bahwa Belanda bertujuan untuk menaklukkan seluruh Sumatera.
Surat tersebut antara lain berbunyi: “Tujuan Belanda di Sumatera harus dilaksanakan oleh pemerintah, penaklukan seluruh Sumatera ke bawah kekuasaan kita telah diterima sebagai satu asas ketatanegaraan, dan tujuan tersebut harus selekas mungkin, seandainya keadaan di tanah Eropa dan didalam negeri mengizinkan.”
Demikian juga kedatangan Belanda ke Mandailing, yang dahulu disebutkan (secara tidak benar) sebagai bagian dari Tanah Batak, adalah untuk tujuan menaklukkannya. Hal ini terbukti dengan adanya isi surat Gubernur Jenderal Van den Bosch tersebut di atas, yang antara lain berbunyi: ‘’…..setelah Lintau, Bonjol dan XII Koto ditaklukkan, bila mungkin daerah Batak harus ditaklukkan pula, karena selama ini daerah tersebut sangat menguntungkan perdagangan Paderi.’’
Namun demikian, masuknya pasukan Belanda ke wilayah Mandailing buat pertama kali, bukan dengan cara terang-terangan untuk menaklukkan melalui kekuatan senjata. Sebab masuknya pasukan Belanda ke wilayah Mandailing, seakan-akan terbawa oleh keadaan Perang Paderi, yang sedang berkecamuk di daerah Bonjol dan Rao, yang tidak jauh letaknya dari Mandailing.
Pada masa berkecamuknya Perang Paderi di wilayah Minangkabau, di Mandailing sendiri, yang telah di taklukkan dan dilindas oleh kaum Paderi sejak awal abad ke 19, sedang terjadi perlawanan terhadap kaum Paderi. Terjadinya perlawanan itu, disebabkab kelaliman tindakan kaum Paderi terhadap penduduk Mandailing.
Di antara pimpinan kaum Paderi, Tuanku Tambusai disebutkan terlalu lalim dan bengis kepada orang Batak. Dalam hal ini, yang disebutkan sebagai orang Batak, saat itu tentu termasuk penduduk Mandailing.
Pada waktu penduduk Mandailing bangkit melakukan perlawanan terhadap kaum Paderi, Raja Gadombang dari Huta Godang, Ulu Pungkut, yaitu abang kandung Sutan Mangkutur, tampil memimpin perlawanan tersebut. Ketika pasukan Belanda yang sedang berperang dengan kaum Paderi tiba di daerah Rao, yang tidak begitu jauh letaknya dari Mandailing, Raja Godambang membuat satu siasat untuk menjalin kerja sama dengan pasukan Belanda buat melawan kaum Paderi.
Tatkala Letnan Kolonel Elout dan Letnan Engelbert van Bevervoorden di Rao, Raja Gadombang dari Huta Godang di Mandailing datang menghadap mereka, dengan maksud akan menawarkan bantuan kepada tentara Belanda dalam perang membasmi kaum Paderi.
Sebenarnya, dengan membantu tentara Belanda itu, Raja Gadombang hendak membalaskan dendamnya, dan dendam rakyat Mandailing yang telah bertahun-tahun diperintah dan dianiaya, diperlakukan sewenang-wenang oleh kaum Paderi. Perlakuan yang melanggar perikemanusiaan, seperti merampas harta benda, mengambil gadis-gadis cantik yang di bawa ke Bonjol untuk diperisteri atau diperbudak, menyuruh orang-orang berperang untuk keuntungan dan kemegahan Paderi.
Pertemuan Raja Gadombang dengan Letnan Kolonel Elout di Rao terjadi pada tahun 1832. Sementara itu dari Rao dan Mandailing kaum Paderi terpaksa menyingkir, karena perlawanan penduduk. Yang Dipertuan Rao diangkat jadi regen. Raja Gadombang dari Huta Godang, yang memimpin perlawanan penduduk Mandailing terhadap kaum Paderi mendapat gelar regen pula.
Pukulan yang dilakukan oleh kaum Paderi terhadap pasukan Belanda di Rao, pada bulan Nopember 1833, kurang lebih setahun setelah terjadinya kerjasama antara pasukan Belanda dan orang-orang Mandailing yang dipimpin Raja Gadombang, ternyata mempercepat proses masuknya pasukan Belanda ke wilayah Mandailing. Setelah 40 hari dikepung, ditembaki dan diserbu kaum Paderi, tanggal 28 Nopember 1833, tentara Belanda dan barisan Mandailing berangkat ke luar Rao.
Besoknya, meninggalkan Limau Manis (satu tempat di Mandailing, dekat Muarasipongi), terus mundur ke Tamiang (yang terletak di Mandailing Julu-penulis). Mereka sampai di sana tanggal 2 Desember, dan bertangsi di sebuah mesjid. Di satu tempat di Singengu (yang letaknya lebih kurang 10 kilometer dari Tamiang), dibuat sebuah benteng, untuk menolak serbuan Paderi dari Rao. Setelah benteng ini selesai, dibuatnya sebuah lagi di Kotanopan (yang terletak kira-kira 1 kilometer dari Singengu-penulis), dekat batas dengan Rao.
Dengan demikian dapatlah diketahui, bahwa tanggal 28 Nopember 1833, pasukan Belanda yang mundur dari Rao memasuki wilayah Mandailing, sebab pada waktu itulah mereka sampai di Limau Manis yang tidak begitu jauh letaknya dari Muarasipongi. Kotanopan tidak makan waktu yang terlalu lama. Sebab pada tahun 1835, kurang lebih satu tahun setelah Belanda memasuki wilayah Mandailing, dan mendirikan benteng di Singengu dan Kotanopan, wilayah tersebut telah berada di bawah kekuasaan seorang kontelir Belanda.
Kontelir Mandailing Bonnet, tanggal 19 April 1835, menerima sepucuk surat rahasia dari Residen, yang memintanya untuk memberikan bantuan seberapa mungkin kepada Letnan Beethouven yang diperintahkan maju ke Rao. Bonnet lalu menyediakan 1100 orang Mandailing yang bersenjata. Mereka berangkat tanggal 26 April ke batas Rao, dan tengah malam 1 menjelang 2 Mei pasukan-pasukan Belanda itu melanjutkan perjalanan dari Limau Manis ke Rao.
Sampai pada bulan Oktober 1835, di dalam pertempuran antara Belanda dan kaum Paderi di daerah Rao dan sekitarnya, Raja Gadombang, abang kandung Sutan Mangkutur, masih ikut pula terlibat. Pada bulan Oktober itu juga, Raja Gadombang yang sedang dalam perjalanan dari Lundar ke Sundatar (yang terletak di antara Rao dan Lubuk Sikaping-penulis) dengan anak buahnya, di tengah jalan dihadang oleh sepasukan Paderi. Pada pertempuran inilah, seorang Paderi dapat menembak perut Raja Gadombang dan keesokan harinya ia meninggal dunia.
Raja Gadombang yang tertembak dalam perjalanan dari Lundar ke Sundatar, sempat dibawa pulang ke Huta Godang, dan ia meninggal dunia di sana.
Sampai sekarang, baju yang dipakai oleh Raja Gadombang ketika ia tertembak, masih disimpan oleh keturunannya, yaitu Raja Junjungan Lubis di Medan. Menurut bekas tembakan peluru yang terdapat pada bajunya itu, Raja Gadombang tertembak pada dadanya. Pada batu nisan Raja Gadombang, yang sekarang disimpan di Bagas Godang (istana raja) Huta Godang, tertera, bahwa Raja Gadombang meninggal dunia pada tanggal 16 Nopember 1835.
Setelah Raja Gadombang meninggal dunia, karena ia tidak mempunyai anak, maka diangkatlah adik kandungnya, Sutan Mangkutur, sebagai gantinya menjadi raja di Huta Godang.
Tetapi meskipun Sutan Mangkutur menggantikan abang kandungnya Raja Gadombang menjadi raja di Huta Godang, sampai sekarang belum terdapat catatan yang menunjukan, bahwa ia pernah bekerja sama dengan Belanda, seperti yang dilakukan oleh abangnya.
Belanda Memperkuat Kedudukannya di Wilayah Mandailing
Pada waktu Sutan Mangkutur mulai menjadi raja di Huta Godang tahun 1835. Belanda telah menduduki wilayah Mandailing kurang lebih setahun lamanya, dan telah mengangkat seorang kontelir, yaitu Bonnet untuk wilayah tersebut.
Pada masa ia memerintahlah, Gouvernement mengadakan bestuur-shervorming di Tapanuli Selatan dan dengan mula-mula berlakunya Sumatra reglement di Luhak itu. Pengadilan anak negeri (Inheemscherecht spraak) bertukar dengan pengadilan Goevernement (Gouv. Rechspraak). Sejak itu terasalah oleh raja-raja dengan berjalannya reglement, kekuasaan mereka kembali hilang.
Sesuai dengan tujuan Belanda, bahwa bila mungkin daerah Batak harus ditaklukkan pula, karena selama ini daerah tersebut sangat menguntungkan perdagangan Paderi. Dua tahun setelah menduduki wilayah Mandailing, Belanda pada tahun 1837, mulai memperkuat kedudukannya di wilayah tersebut, dengan melakukan tindakan seperti tersebut di atas. Untuk itu, Bonnet sebagai Koomandoor Kepala Pemerintah dari negeri Mandailing, menyampaikan surat kepada raja-raja di Mandailing dan Angkola, yang berbunyi sebagai berikut :
“Fort van Sevenhouven 17 Agustus 1837.
Den Assistant Resident van Mandailing
(W. G) Bonnet.
Segala surat pengadilan (kehakiman) yang datang dari Tuan Bonnet, Koomandoor Kepala Pemerintah dari negeri Mandailing ini semua, saya katakan di dalam surat kehakiman ini kepada Sutan Naparas dan Sutan Guru di Pakantan dengan raja-raja dan semua negerinya.
Adapun tentang perkara-perkara, tidak boleh dibawa kepada saya ke Singengu. Sekarang diperintahkan supaya diketahui raja-raja semua, pada penghabisan bulan yang akan datang, Di situlah semua raja-raja datang dari Singengu membicarakannya, dihitung hari yang ketiga puluh, yaitu hari berkumpul semua raja-raja ke gedung Singengu, dan mulai sekarang dibawalah dari tiap-tiap negeri raja-raja, kalau ada yang hendak dibicarakan dinantikanlah dahulu sampai pangkal bulan baru, supaya dibawa ke gedung (kantor)
Barang siapa raja-raja yang tidak datang didenda setahil sepaha. Adapun raja-raja yang tidak boleh berwakil supaya raja-raja ketahui perkataan kita. Kalau raja-raja datang membawa perkara-perkara ke gedung Singengu, bersamalah dibawa dengan orangnya kemari, yaitu orang yang akan diperkara. Supaya dapat diadili. Kalau ada perkara yang berat, bawalah segera ke gedung Singengu, jangan lagi ditunggu-tunggu sampai habis bulan supaya raja-raja semua ketahui.
Perintah ini 28 Juli 1837
Surat ini sudah dikirim kepada :
Yang Patuan………………… .Mandailing
Langgar Laut………………… Angkola
Baginda, di…………………… Panyabungan
Sutan Paruhum………………..Singengu
Sutan Naparas……………….Tamiang
Sutan Mangkutur……………..Ulu Pungkut
Sutan Guru )
)……………….. Pakantan
Sutan Naparas )
Yang Patuan…………………Lubuk Sikaping
Hendaklah diumumkan perintah ini kepada orang banyak.”
Dari isi surat yang demikian ini, dapatlah diketahui, bahwa Belanda telah mendudukkan diri sebagai penguasa penjajah di Mandailing, yang dapat memerintah raja-raja di wilayah tersebut untuk memenuhi kehendaknya. Malahan akan menjatuhkan denda, apabila perintahnya tidak dijalankan oleh raja-raja yang bersangkutan.
Sedangkan sebelum Belanda menduduki Mandailing, raja-raja yang berkuasa di wilayah tersebut masing-masing berdaulat penuh di negerinya.
Langkah-langkah Belanda untuk memperkuat kedudukannya di wilayah Mandailing, yang di mulainya dengan mengambil alih kekuasaan pengadilan dari tangan raja-raja di wilayah tersebut mulai tanggal 28 Juli 1837, yaitu sejak berlakunya surat perintah seperti yang dikemukakan di atas, nampaknya bukan hanya sesuatu yang kebetulan dijalankan serentak dengan semakin berhasilnya Belanda mendesak kekuatan kaum Paderi di Bonjol dan Rao. Kemudian ternyata pula, bahwa tidak lama setelah Belanda mulai memaksakan kehendaknya kepada raja-raja di Mandailing, Bonjol akhirnya jatuh ke tangan Belanda, pada tanggal 16 Agustus 1837, jam 8 pagi, sembilan hari setelah Belanda mengirimkan surat perintah tersebut di atas kepada raja-raja di Mandailing.
Dengan demikian, nampaknya usaha Belanda untuk lebih memperdalam kekuasaannya di Mandailing, dibuat melalui perencanaan yang matang, dengan perhitungan bahwa kalau seandainya timbul reaksi sebagai akibat perbuatannya itu, Belanda sudah punya kekuatan yang cukup untuk menghadapinya.
Sutan Mangkutur Tidak Mematuhi Perintah Belanda
Sebelum Belanda menduduki Mandailing, Sutan Mangkutur tentu sudah dapat melihat betapa besarnya penderitaan rakyat berada di bawah kekuasaan dan penindasan orang asing. Sebab lama sebelum Belanda menduduki Mandailing, kaum Paderi sudah lebih dahulu menguasai daerah tersebut dan menindas rakyatnya. Sehingga akhirnya abang kandung Sutan Mangkutur, yaitu Raja Gadombang bangkit melakukan perlawanan terhadap kaum Paderi.
Sebab itu, dapatlah dipahami mengapa ketika Belanda mengambil alih kekuasaan pengadilan dari tangan raja-raja Mandailing, seperti yang telah diuraikan di atas, Sutan Mangkutur tidak mematuhi perintah Belanda untuk membawa perkara anak negerinya ke Singengu buat diadili oleh Belanda.
Sikap Sutan Mangkutur yang tidak mematuhi perintahnya itu, ternyata tidak membuat Belanda mengambil tindakan terhadap Sutan Mangkutur. Kemungkinan sekali, Belanda memang terpaksa menahan diri menghadapi sikap Sutan Mangkutur yang membangkang itu, karena ia adalah adik kandung Raja Gadombang, Regen Mandailing, yang telah banyak berjasa menolong Belanda ketika dalam kesulitan menghadapi kaum Paderi di Rao beberapa tahun sebelumnya.
Faktor-Faktor Penyebab Perlawanan Sutan Mangkutur
Pengalaman masa lalu Sutan Mangkutur, seperti yang dikemukakan di atas, telah menjadi salah satu faktor yang menyebabkan Sutan Mangkutur tidak mau membiarkan dirinya berada di bawah kekuasaan orang asing. Sehingga ia mengambil sikap untuk melawan, meskipun pada mulanya perlawanannya itu hanya dalam bentuk tidak mematuhi perintah Belanda.
Dalam proses selanjutnya, kemungkinan sekali Sutan Mangkutur makin merasakan dan menyadari, bahwa dengan tindakannya mengambil alih kekuasaan pengadilan dari tangan raja-raja di Mandailing, Belanda makin memperdalam kekuasaan di Mandailing. Sementara itu tindakan Belanda yang demikian, dirasakan pula mengurangi kekuasaan tradisionalnya.
Tindakan Belanda itu, pada gilirannya tentu dapat ia rasakan pula sebagai intervensi yang berbahaya terhadap persoalan internal di negerinya.
Faktor-faktor yang demikianlah yang menyebabkan Sutan Mangkutur, melalui suatu proses yang cukup lama, akhirnya bangkit melakukan perlawanan terhadap Belanda.
Di atas telah dikemukakan, bahwa tindakan Belanda mengambil alih kekuasaan pengadilan dari tangan raja-raja di Mandailing dirasakan oleh Sutan Mangkutur mengurangi kekuasaan tradisionalnya. Alasan untuk itu ialah, bahwa sebelum Belanda menduduki Mandailing secara tradisional atau menurut adat yang berlaku di daerah tersebut, Sutan Mangkutur sebagai seorang raja, mempunyai kekuasaan untuk mengadili sendiri anak negerinya yang bersalah, bersama-sama dengan tokoh-tokoh Namora Natoras. Yaitu tokoh-tokoh terkemuka yang dituakan dan dihormati sepanjang adat, sebagai wakil rakyat dengan fungsi untuk bersama-sama dengan raja melakukan kegiatan pemerintahan secara demokratis, dan juga ikut serta melakukan kekuasaan pengadilan menurut aturan adat.
Menurut adat dan tradisi yang dahulu berlaku di Mandailing, pengadilan terhadap anak negeri yang melakukan kesalahan, diselenggarakan oleh raja bersama Namora Natoras di satu tempat yang bernama Sopo Godang yaitu balai sidang kerajaan, yang biasanya selalu terdapat di setiap negeri tempat kedudukan raja.
Dengan adanya cara pengadilan tradisional itu, dapat dikatakan, bahwa sebelum Belanda datang rakyat dan raja-raja di wilayah Mandailing menentukan hukumannya sendiri. Raja bersama Namora Natoras mendapat kekuasaan dan kemuliaan untuk menjalankan pengadilan, menurut norma-norma adat yang berlaku.
Ternyata kemudian, di hadapan Sutan Mangkutur, Belanda bertindak mengabaikan nilai-nilai budaya tradisional itu, sekaligus berarti pula mengurangi kekuasaan tradisional Sutan Mangkutur sebagai salah seorang raja di Mandailing.
Lebih jauh lagi, tindakan Belanda seperti yang telah dikemukakan, tentu dapat dirasakan dan dipandang oleh Sutan Mangkutur sebagai gangguan terhadap kedaulatannya sebagai seorang raja, adik bekas Regen Mandailing (Raja Gadombang) yang telah banyak jasa terhadap Belanda. Tambahan pula, tindakan Belanda itu, cukup beralasan untuk dapat dirasakan Sutan Mangkutur sebagai tuntutan untuk mengakui kekuasaan asing di Negerinya.
Hal tersebutlah dapat ditempatkan sebagai faktor penting yang menyebabkan Sutan Mangkutur melakukan perlawanan terhadap Belanda di Mandailing.
Bersumpah Dalam Pertemuan Rahasia
Menurut keterangan Raja Junjungan Lubis, sebagai salah seorang keturunan Sutan Mangkutur, sebelum perlawanan bersenjata dilakukan oleh Sutan Mangkutur terhadap Belanda yang telah menduduki Mandailing, dan membuat benteng Singengu, Kotanopan, Sutan Mangkutur terlebih dahulu melakukan pendekatan kepada raja-raja di Mandailing, yang dianggapnya dapat diajak bekerja sama untuk memerangi Belanda yang berkedudukan di Kotanopan.
Sebagai hasil pendekatan itu, pada satu waktu, Sutan Mangkutur bersama beberapa orang raja di Mandailing menyelenggarakan pertemuan rahasia di Huta Godang. Di dalam pertemuan itu, ikut hadir Yang Dipertuan, yaitu raja dari Huta Siantar, Panyabungan, yang masih punya hubungan keluarga yang dekat dengan Sutan Mangkutur.
Pada kesempatan tersebut, mereka membicarakan berbagai hal yang menyangkut perlawanan yang akan dilakukan terhadap Belanda, yang memusatkan kekuatannya di Singengu, Kotanopan, yang terletak kurang lebih 20 kilometer dari Huta Godang.
Selanjutnya, untuk mengingat janji setia di antara raja-raja di Mandailing yang akan memerangi Belanda, dilakukanlah persumpahan. Upacara persumpahan itu diselenggarakan menurut cara tradisional yang berlaku pada waktu itu, dengan mengambil tempat di bawah serumpun bambu.
Pada upacara tersebut, semua raja-raja yang hadir, masing-masing menyerahkan beberapa butir peluru, yang kemudian dicampur dengan beras kuning atau dahanon na niunikan (beras yang dicampur dengan kunyit). Setelah itu peluru dan beras kuning diaduk dengan mempergunakan sebilah keris pusaka. Raja-raja yang ikut dalam upacara persumpahan itu masing-masing menyatakan dengan sumpah, bahwa mereka akan menembakkan pelurunya untuk membunuh Si Bontar Mata (si mata putih) yaitu Belanda.
Untuk upacara persumpahan itu, disediakan pula seekor ayam yang dijahit mata dan lobang duburnya. Gunanya ialah untuk memperkuat lagi isi persumpahan, agar barang siapa yang melakukan pelanggaran atas sumpahnya, akan mengalami nasib yang seperti ayam tersebut.
Kemudian Datu (dukun) sakti yang memimpin upacara persumpahan itu mengupas kulit bamboo yang tumbuh di tempat penyelenggaraan upacara sumpah. Tujuannya ialah agar bambu itu mati secara perlahan-lahan dan daunnya jatuh berguguran. Selesai mengupas kulit batang bambu itu, sang Datu mengucapkan kata-kata :
Sanga ise memangaluari tingon parsumpaan on, mambelut, songon bulu on ma ia tu pundi ni ari, tu toru inda marurat, tu ginjang inda marpusuk, rurus songon parurus ni bulung ni bulu on. Dung I muse, sanga ise ma mangaluari tingon persumpahan on, nangkan songon manuk na dijait mata dohot mata muarana, tu julu inda mar ulu, tu jae inda marmuara” (artinya : “Barang siapa mengingkari persumpahan ini, membelot, maka ia akan mengalami nasib seperti bambu ini di kemudian hari, ke bawah tidak berakar, ke atas tidak berpucuk, gugur seperti gugurnya daun bambu ini. Selain itu, barang siapa mengingkari sumpah ini, ia akan mengalami nasib seperti ayam yang dijahit mata dan lobang duburnya ini, ke hulu tidak berhulu, ke hilir tidak bermuara”).
Melalui persumpahan yang dilakukan di bawah rumpun bambu itu, Sutan Mangkutur dan raja-raja lain, mengikat diri mereka untuk selalu setia satu sama lain dan bersama-sama melakukan perlawanan terhadap Belanda. Dengan demikian, diharapkan tidak akan terjadi penghianatan di antara sesama mereka, apabila sudah tiba waktunya mereka mengangkat senjata untuk memerangi Belanda di Mandailing.
Di dalam pertemuan rahasia yang diselenggarakan di Huta Godang itu, diputuskan pula, bahwa pada waktu yang telah ditentukan, Sutan Mangkutur, bersama-sama dengan beberapa orang raja dari Mandailing Julu, akan membawa pasukan mereka menyerang Belanda di Singengu, Kotanopan, yang letaknya tidak begitu jauh dari Huta Godang. Pada waktu yang sama, Yang Dipertuan Huta Siantar, bersama pasukannya akan melakukan serangan pula dari arah Panyabungan. Dengan serangan yang demikian itu, yakni dengan serentak datang dari dua arah yang berlainan, diharapkan Belanda akan terjepit dan hancur di tengah-tengahnya, yakni Singengu, Kotanopan, yang terletak di antara Huta Godang dan Panyabungan.
Yang Dipertuan Huta Siantar, yang ikut di dalam pertemuan rahasia di Huta Godang itu, dan telah berjanji akan melakukan serangan dari Penyabungan pada waktu Sutan Mangkutur dari Huta Godang menyerang Belanda di Singengu, Kotanopan, sebenarnya adalah seorang raja yang sejak lama telah bekerja sama dengan Belanda.
Pada tahun 1837, yakni dua tahun sebelum terjadi serangan yang pertama oleh Sutan Mangkutur terhadap Belanda, Yang Dipertuan Huta Siantar, ikut membantu pasukan Belanda yang diperintah gubernur militer Belanda, Michiels, melakukan serangan terhadap Tuanku Tambusai di Padang Lawas (Dalu-dalu).
Yang Dipertuan Huta Siantar, mengepalai pasukan Mandailing untuk membantu pasukan Belanda di dalam penyerangan tersebut, yang akhirnya berhasil mengalahkan Tuanku Tambusai.
Selain itu, menurut keterangan Jendaral van Damme (Jenderal Michiels) kepada seorang komisaris pemerintah (Belanda di Batavia-penulis) yang datang ke Sumatera, ia dapat mengandalkan kesetiaan dan kepatuhan Yang Dipertuan. Ia juga mengatakan, bahwa ia pribadi menjamin kesetiaan Yang Dipertuan.
Ternyata pula, ia (Yang Dipertuan-penulis) seorang yang punya rasa lebih tinggi derajat kedudukannya daripada orang lain. Sehingga pernah menimbulkan permusuhan antara Yang Dipertuan dengan kepala negeri Natal.
Pantas diperkirakan, bahwa latar belakang demikian bisa saja membuat Yang Dipertuan ingkar terhadap sumpah yang pernah ia buat di dalam pertemuan rahasia di Huta Godang, sebelum Sutan Mangkutur mulai menyerang Belanda.
Setelah berproses selama kurang lebih dua tahun, yaitu sejak Belanda bertindak mengambil alih kekuasaan pengadilan dari tangan raja-raja di Mandailing pada tahun 1837, maka sesudah pertemuan rahasia di Huta Godang di tahun 1839, Sutan Mangkutur mulai mempersiapkan pasukan untuk menyerang Belanda di Kotanopan yang terletak kurang lebih 20 kilo meter dari Huta Godang.
Menurut keputusan pertemuan rahasia di Huta Godang itu, pada saat Sutan Mangkutur melakukan serangan terhadap Belanda di Kotanopan, Yang Dipertuan Huta Siantar akan melakukan serangan pula dari arah Penyabungan.
Tetapi ternyata kemudian, sebelum Sutan Mangkutur bersama pasukannya bergerak dari Huta Godang untuk melakukan serangan bersenjata ke Kotanopan, Belanda sudah lebih dahulu mengetahui rencana penyerangan Sutan Mangkutur itu. Sebab itu, Belanda bergerak dari Kotanopan menuju Huta Godang untuk lebih dahulu menyerang Sutan Mangkutur.
Sebelum pasukan Belanda tiba di Huta Godang, kedatangan mereka telah diketahui pula oleh Sutan Mangkutur, yang segera membawa pasukannya menghadapi kedatangan Belanda. Akhirnya bertemulah pasukan Belanda dan pasukan Sutan Mangkutur di satu tempat yang bernama Batu Godang (Batu Besar) di dekat kampung Sipalupuk, yang tidak begitu jauh dari Huta Godang.
Maka terjadilah pertempuran sengit antara pasukan Sutan Mangkutur dan pasukan Belanda di tempat itu, yang mengakibatkan matinya beberapa orang perwira Belanda dan puluhan orang anggota pasukannya.
Dalam pertempuran yang pertama itu, pasukan Belanda dapat dikalahkan pasukan Sutan Mangkutur, sehingga mereka terpaksa mundur kembali ke Kotanopan, sambil dikejar terus oleh pasukan Sutan Mangkutur yang mengharapkan kedatangan pasukan Yang Dipertuan Huta Siantar dari Penyabungan untuk bersama-sama menyerang Belanda.
Selanjutnya, berulang-ulang terjadi pertempuran antara Sutan Mangkutur dan Belanda, tetapi Yang Dipertuan Huta Siantar tidak pernah muncul ikut bertempur melawan Belanda.
Karena itu, timbul dugaan, bahwa yang memberitahukan rencana penyerangan Sutan Mangkutur terhadap Belanda, adalah Yang Dipertuan Huta Siantar, meskipun ia telah ikut di dalam persumpahan yang dilakukan di Huta Godang.
Di dalam pertempuran-pertempuran selanjutnya, Sutan Mangkutur selalu didampingi oleh beberapa orang hulu balangnya yang setia, mereka adalah Ja Layang, Sampuran Tolang, Balang Garang, Langka Salupak dan Manimba laut.
Pada suatu saat, ketika pasukan Sutan Mangkutur melakukan serangan lagi ke Kotanopan, terjadilah pertempuran sengit di satu tempat bernama Paya Ombur, di seberang Sungai Batang Gadis yang tidak begitu jauh letaknya dari Kotanopan. Di dalam pertempuran tersebut, hulu balang Ja Layang mati tertembak, yang dirasakan sebagai pukulan berat oleh pasukan Sutan Mangkutur. Karena Ja Layang adalah hulu balang Sutan Mangkutur yang terpenting, dan dikenal sebagai hulu balang yang sangat berani.
Karena pasukan Belanda bertambah kuat dengan bantuan orang-orang Mandailing sendiri, maka Sutan Mangkutur bersama pasukannya, terpaksa mundur ke Huta Godang dan bertahan sambil bersembunyi di satu tempat rahasia di luar Huta Godang.
Sungguh menyedihkan bagi ia, sebab sebahagian dari raja-raja yang disangkanya semula sehaluan, dan bersetia di dalam menjalankan maksud itu (bertempur melawan Belanda-penulis), telah berkhianat menyebelah kepada Gouvernement.
Sutan Mangkutur Ditangkap Belanda
Ketika Sutan Mangkutur dan pasukannya terpaksa mundur dan bertahan sambil bersembunyi di satu tempat rahasia di luar Huta Godang, datanglah pasukan Belanda untuk menyerangnya. Ternyata Yang Dipertuan Huta Siantar ikut bersama pasukan Belanda itu. Kenyataan itu membuktikan bahwa Yang Dipertuan Huta Siantar, lebih suka berpihak kepada Belanda daripada ikut bersama Sutan Mangkutur untuk melepaskan negerinya dari kekuasaan penjajah.
Setibanya pasukan Belanda di Huta Godang, bersama-sama dengan Yang Dipertuan Huta Siantar, mereka langsung hendak membakar rumah-rumah dan Bagas Godang (istana raja) di tempat tersebut. Melihat tindakan Belanda yang demikian itu isteri Sutan Mangkutur yang kebetulan sedang berada di alaman Bolak (halaman istana), segera pergi mendapatkan Yang Dipertuan Huta Siantar sambil menangis meminta agar Yang Dipertuan Huta Siantar (yang masih punya hubungan keluarga dengan Sutan Mangkutur) mencegah pasukan Belanda membakar Huta Godang.
Atas jasa baik Yang Dipertuan Huta Siantar, terhindarlah Huta Godang dari kemusnahan dimakan api. Atas jasa baiknya itu, Yang Dipertuan Huta Siantar, sebagai orang yang masih mempunyai hubungan dekat dengan Sutan Mangkutur, meminta agar isteri Sutan Mangkutur memberitahukan kepadanya di mana Sutan Mangkutur dan pasukannya bersembunyi.
Permintaan Yang Dipertuan itu pada mulanya ditolak oleh isteri Sutan Mangkutur. Tetapi akhirnya Yang Dipertuan berhasil membujuk isteri Sutan Mangkutur untuk menunjukan tempat persembunyian suaminya, dengan alasan bahwa kedatangan bersama Belanda adalah untuk melakukan perdamaian dengan Sutan Mangkutur. Sebagai orang yang masih punya hubungan keluarga dengan Sutan Mangkutur, Yang Dipertuan memberi janji dan menjamin, bahwa Sutan Mangkutur tidak akan diapa-apakan oleh Belanda.
Di balik peranan Yang Dipertuan Huta Siantar yang dilakukannya dengan sangat meyakinkan itu, rupa-rupanya telah direncanakan siasat dan tipuan licik seperti yang sudah biasa dilakukan Belanda untuk menangkap musuhnya.
Kemudian, setelah dapat diyakinkan oleh Yang Dipertuan bahwa kedatangannya bersama Belanda ke Huta Godang adalah untuk mengadakan perdamaian dengan Sutan Mangkutur. Dikirimlah utusan oleh isteri Sutan Mangkutur untuk menjemput suaminya dari tempat persembunyian yang dirahasiakan.
Ketika Sutan Mangkutur berada dalam perjalanan dari tempat persembunyiannya menuju Huta Godang, pasukan Belanda yang telah diperintahkan atasannya untuk mengikuti utusan yang menghubungi Sutan Mangkutur secara sembunyi-sembunyi, berhasil menangkap Sutan Mangkutur.
Keberhasilan Belanda menangkap Sutan Mangkutur dengan cara licik itu, tentu tidak terlepas dari kelihaian Yang Dipertuan Huta Siantar menjalankan peranannya dengan cara amat meyakinkan, sehingga Sutan Mangkutur tidak berdaya menghadapi tipuan Belanda.
Atas prestasi gemilang yang demikian itulah maka di kemudian hari Jenderal Michiels secara pribadi berani menjamin kesetiaan Yang Dipertuan, dan dapat pula mengandalkan kepatuhannya.
Sutan Mangkutur Dibuang Oleh Belanda
Setelah Sutan Mangkutur dapat ditangkap Belanda dengan tipuan yang licik itu, maka ia pun dibawa ke Huta Godang. Kemudian di hadapan Namora Natoras dan rakyat sendiri di Huta Godang, dengan cara yang amat menghinakan, Belanda mengumumkan diturunkannya Sutan Mangkutur dari Tahta kerajaannya di Huta Godang, Ulu Pungkut, di Mandailing Julu.
Sutan Mangkutur ditempatkan sebagai penjahat yang telah melawan terhadap Belanda, sehingga ia diwajibkan membayar denda dengan sejumlah emas kepada Belanda. Akhirnya, pada tahun itu juga (1839-penulis) ia diasingkan ke pulau Ambon dengan tiga orang saudaranya bernama : Sutan Naga, Sepata Raja dan Raja Mangatas (lihat foto prasasti Kepahlawanan Sutan Mangkutur melawan Belanda. Prasasti ini terletak di Batu Godang, Desa Sipalupuk, Ulupungkut). Di tempat pengasingan itulah masing-masing menemui ajalnya. Hanya seorang yang sempat pulang ke negerinya, yaitu Raja Mangatas. Ia ini seorang budiman yang banyak beroleh pengetahuan selama berada di tempat pengasingan. Ditebarkannya penuntunan itu dan selama sisa hidupnya menceritakan semua kejadian dan pengalaman yang sudah-sudah, yaitu zaman yang penuh dengan pengorbanan, penderitaan, masa yang sudah silam.
Sebelum Belanda membawa Sutan Mangkutur dari Huta Godang, ia lebih dahulu harus membayar denda emas yang telah dijatuhkan atas dirinya. Tetapi ternyata ia tidak mempunyai cukup mas untuk membayar denda tersebut.
Untuk mengatasi hal itu, tujuh orang raja dari Mandailing Julu mufakat untuk ikut bersama-sama membantu Sutan Mangkutur membayar denda itu kepada Belanda. Delapan orang raja termasuk Sutan Mangkutur sendiri membayar denda tersebut, dengan memberikan masing-masing seperdelapan bahagian.
Pembagian beban secara merata yang demikian itu, di kemudian hari dikenal sebagai solidaritas delapan raja di Mandailing Julu, dan dinamakan Dandang na saparwaluan, yang dapat diartikan, masing-masing seperdelapan bahagian.
Ke delapan raja di Mandailing Julu yang dikenal sebagai Dandang na saparwaluan itu terdiri dari :
1. Raja Huta Godang (Sutan Mangkutur)
2. Raja Patahajang;
3. Raja Tolang;
4. Raja Hutapungkut;
5. Raja Tamiang;
6. Raja Muarasipongi;
7. Raja Pakantan Dolok, dan
8. Raja Pakantan Lombang.
Setelah pembayaran denda itu selesai, dibawalah Sutan Mangkutur dari Huta Godang, untuk selanjutnya dibuang Belanda ke Ambon.
Pembuangan Sutan Mangkutur bersama tiga saudaranya itu, menimbulkan duka yang amat dalam bagi rakyat Mandailing yang bersimpati kepada mereka, terutama bagi penduduk di Huta Godang dan seluruh kawasan Ulu Pungkut. Rakyat sangat mencintai Sutan Mangkutur yang mereka kenal sebagai seorang raja perbatu mamang di indora (raja yang mempunyai pendirian sangat teguh). Sebab itu, ketika Belanda membawa Sutan Mangkutur dari Huta Godang, penduduk mengandungi atau meratapi kepergiannya dengan cara tradisional yang biasa dilakukan apabila raja meninggal dunia.
Meskipun kejadian yang menyedihkan itu terjadi lebih dari satu setengah abad yang lalu, hingga sekarang di Huta Godang masih ada orang yang ingat bahwa dahulu di negerinya itu dalam kehidupan masyarakat pernah terdapat ratapan sedih yang bernama Andung-andung ni Sutan Mangkutur na langka buat tu pambuangan (ratapan untuk Sutan Mangkutur yang berangkat ke pembuangan).
Sejak Sutan Mangkutur dibawa Belanda dari Huta Godang lebih dari setengah abad yang lalu untuk dibuang ke Ambon karena telah melakukan perlawanan terhadap Belanda di Mandailing, ia tak pernah kembali lagi, karena jiwanya melayang dalam pembuangan Belanda. Sampai sekarang tidak diketahui di mana letak pusarannya. Sebab itu, tidak berlebihan kalau Sutan Mangkutur disebut sebagai pahlawan yang dilupakan selama ini.
Bagaimana lanjutan perlawanan rakyat Mandailing yang dibangkitkan dan dipimpin oleh Sutan Mangkutur, setelah ia dibuang oleh Belanda, keadaannya tidak jelas.
Tetapi beberapa keterangan di dalam Buku Max Havelaar yang dapat dipercaya, dapat dipergunakan sebagai sumber informasi oleh fakta-fakta di dalam itu benar dan teks dokumen yang diterbitkan itu asli. Di dalam buku tersebut yang ditulis oleh Multatuli atau Eduard Dowes Dekker, yang pernah menjadi kontelir di Natal yang tidak jauh letaknya dari Mandailing, terdapat beberapa petunjuk tentang adanya pemberontakan terhadap Belanda di Mandailing.
Mengingat, bahwa kejadian pemberontakan di Mandailing yang dikemukakan oleh Multatuli di dalam bukunya Max Havelaar, terjadi ketika ia sedang bertugas di Natal pada tahun 1842, yaitu kurang lebih tiga tahun setelah perlawanan Sutan Mangkutur, dapatlah ditafsirkan, bahwa kemungkinan pemberontakan yang diceritakan oleh Multatuli itu, ada hubungannya dengan perlawanan yang pernah dipimpin oleh Sutan Mangkutur.
Pada masa Multatuli bertugas sebagai kontelir di Natal tahun 1842, ternyata, segala yang terjadi di Mandailing selalu berpengaruh ke Natal. Berikut catatannya:
“Mandailing dan Angkola inilah- nama daerah asisten residen yang dibentuk Belanda, baru saja diamankan belum lagi bersih dari pengaruh Aceh, sebab di mana telah berakar semangat fanatik, sukar sekali menghilangkannya, tapi orang Aceh tidak ada lagi, namun ini tidak cukup bagi gubernur.”
Melalui catatan demikian, dapatlah diketahui bahwa pada sekitar tahun 1842, ketika Multatuli bertugas sebagai kontelir di Natal, yakini kira-kira tiga tahun setelah perlawanan Sutan Mangkutur, (1839), tanah Mandailing dan Angkola baru saja diamankan oleh Belanda. Tidak mungkin bahwa yang diamankan oleh Belanda pada waktu itu adalah perlawanan Sutan Mangkutur atau follow up dari perlawanannya. Sebab Multatuli memberikan keterangan pula, bahwa di sana telah berakar semangat fanatik, sukar sekali menghilangkannya. Yang dimaksud dengan semangat fanatik dalam hal ini tentunya semangat fanatik Islam. Sutan Mangkutur serta sebahagian besar penduduk Mandailing adalah penganut Islam, yang mungkin fanatik, sebab mereka cukup lama berada di bawah pengaruh kaum Paderi.
Kalau memang pada waktu itu, Belanda mengalami kesukaran menghilangkan semangat fanatik Islam dari penduduk Mandailing, keadaan itu sendiri dapat mengandung indikasi, bahwa para pengikut Sutan Mangkutur masih meneruskan perlawanan terhadap Belanda, sekalipun Sutan Mangkutur sendiri sudah ditangkap Belanda. Jika memang demikian, maka dapat pula diambil kesimpulan, bahwa perlawanan Sutan Mangkutur yang terjadi pada tahun 1839, berlangsung sampai sekitar tahun 1842, yaitu sampai pada waktu Multatuli atau Eduard Douwes Dekeer, bertugas sebagai kontelir di Natal.
Catatan lain di dalam buku Max Havelaar, karya Multatuli, terjemahan H. B. Jassin, yang kemungkinan sekali berkaitan dengan perlawanan Sutan Mangkutur, adalah yang menyangkut diri Yang Dipertuan. Catatan tersebut berasal dari keterangan kontelir yang digantikan oleh Multatuli atau Eduard Douwes Dekker, di Natal. Sebab peristiwa yang menyangkut diri Yang Dipertuan itu terjadi pada masa dinas kontelir yang kemudian digantikan oleh Multatuli atau Eduard Douwes Dekker, yaitu sebelum tahun 1842:
“Sekonyong-konyong tersiar desas-desus bahwa telah ditemukan komplotan di Mandailing, di mana Yang Dipertuan terlibat, dan yang dimaksud dengan mengadakan pemberontakan, dan membunuh semua orang Eropa”, demikian keterangan yang diperoleh Multatuli, dari kontelir yang bertugas di Natal, sebelum Multatuli menggantikannya pada tahun 1842.
Melihat, bahwa peristiwa itu terjadi sebelum Multatuli bertugas di Natal, atau sebelum tahun 1842, maka kemungkinan sekali, bahwa komplotan di Mandailing, yang bermaksud mengadakan pemberontakan itu, adalah komplotan Sutan Mangkutur, di mana pada mulanya Yang Dipertuan ikut di dalamnya, dan kemudian komplotan perlawanan Sutan Mangkutur melakukan serangan ke Kotanopan.
Selanjutnya terdapat pula keterangan di dalam buku Max Havelaar yang menjelaskan, bahwa : “menurut keterangan saksi-saksi yang didengar kontelir Natal (yang bertugas di tempat tersebut sebelum Multatuli menggantikannya pada tahun 1842-penulis), ia (Yang Dipertuan-penulis) bersama-sama dengan saudaranya Sutan Adam telah mengumpulkan kepala-kepala dalam sebuah hutan keramat di mana mereka bersumpah tidak akan berhenti sebelum kekuasaan injing Kristen di Mandailing harus binasa.”
Keterangan yang demikian itu, seakan-akan suatu ungkapan versi lain dari pertemuan rahasia dan persumpahan, yang dilakukan oleh Sutan Mangkutur di Huta Godang sebelum memulai serangannya terhadap Belanda. Di dalam pertemuan rahasia dan persumpahan di Huta Godang itu, Yang Dipertuan Huta Siantar memang ikut ambil bagian.
Hal lain yang perlu pula diperhatikan ialah, kalau keterangan tersebut di atas mengatakan “ ia (Yang Dipertuan) bersama-sama dengan saudaranya Sutan Adam telah mengumpulkan kepala-kepala Batak dalam sebuah hutan keramat, di mana mereka bersumpah…………………” dalam kenyataannya Yang Dipertuan memang punya hubungan saudara yang masih dekat dengan Sutan Mangkutur.
Di bagian lain dalam buku Max Havelaar, dituliskan pula oleh Multatuli, bahwa Yang Dipertuan pernah ditangkap, dan dibawa ke Padang. Tetapi ternyata setelah tiba di Padang, Yang Dipertuan dinyatakan bebas, malahan disambut dengan hormat dan Jenderal (Michiels) mengundang Yang Dipertuan ke rumahnya dan menyediakan penginapan baginya.
Yang Dipertuan ditangkap, karena ada tuduhan ia terlibat dalam komplotan yang hendak memberontak terhadap Belanda. Tetapi, sesuai dengan yang diterangkan di atas, setibanya di Padang Yang Dipertuan dinyatakan bebas, malahan disambut secara hormat oleh Jenderal (Michiels).
Kalau keterangan ini dikaitkan dengan keberhasilan Belanda menangkap Sutan Mangkutur di Huta Godang dengan bantuan Yang Dipertuan Huta Siantar, seperti yang telah dikemukakan terdahulu, wajarlah kalau ia kemudian dibebaskan begitu saja setelah ia ditangkap, seperti yang diceritakan oleh Multatuli di dalam bukunya Max Havelaar. Karena Yang Dipertuan adalah orang yang berjasa besar membantu Belanda dalam penangkapan secara licik terhadap Sutan Mangkutur di Huta Godang.
Selain itu, kemungkinan besar pula, bahwa sebelumnya Yang Dipertuan juga sudah berjasa memberitahukan kepada Belanda rencana penyerangan yang akan dilakukan oleh Sutan Mangkutur.
Dalam hal ini, perlu diingat kembali, bahwa pada waktu Sutan Mangkutur pertama kali menyerang Belanda, sampai kepada pertempuran-pertempuran selanjutnya, Yang Dipertuan tidak pernah muncul membantu Sutan Mangkutur, meskipun di dalam pertemuan rahasia di Huta Godang Yang Dipertuan sudah berjanji akan menyerang secara serentak dengan Sutan Mangkutur, agar Belanda terjepit di Kotanopan.
Hal lain yang perlu diingat lagi, ialah bahwa Jenderal (Michiels) pada suatu ketika, “secara pribadi menjamin kesetiaan Yang Dipertuan, dan dapat mengandalkan kepatuhannya.”
Demikianlah keterangan-keterangan yang terdapat di dalam karya Multatuli, Max Havelaar, turut memberikan garis perspektif, dalam memandang peranan Sutan Mangkutur pada abad yang lalu, dan peranan Yang Dipertuan Huta Siantar, sebagai tokoh antagonis dalam kisah perlawanan tersebut.
Meskipun perlawanan Sutan Mangkutur belum berhasil mengusir Belanda dari wilayah Mandailing pada abad 19 kiranya perlawanan itu telah menjadi ilham besar bagi rakyat di daerah tersebut untuk senantiasa bersikap anti terhadap alak Ulando” (orang Belanda) sehingga pada gilirannya rakyat Mandailing pernah menampikan sikap yang demikian itu melalui pantun-pantun protes, seperti yang berbunyi :
Intap kuligi Tano Bato
Anta marmombang kare-kare
Intap muli alak Ulando
Anta sumonang hate-hate
Isinya berarti :
Asalkan pulang orang Belanda
Hati di dalam bersuka ria
(Pantun ini dimuat dalam Bijdragen tot de Taal, Land, en Volkenkunde van Nederlansch Indie, No. 35, P. 402, thn, 1886, bersama ulasan Van Ophuysen berjudul De Poezie in het Bataksche Volksleven).(oleh Z.Pangaduan Lubis/Pusat Informasi dan Dokumentasi Mandailing/holik/MO)
Comments
Komentar Anda