Artikel

Pilkada “Restoratif”: Raih “Emas”, Buang Cemas! (Bagian 1)

Oleh: M Ludfan Nasution

Sejarah. Banyak yang lari dari asal kelahirannya. Ada yang menghapusnya. Bahkan, ada juga yang berlagak seperti orang yang lahir dari rumpun bambu dan dengan arogansi itulah dia menantang dunia dan menentang Tuhannya.

Pilkada merupakan satu momentum untuk hidup sumringah. Banyak variabel di sana. Namun, yang paling berpengaruh adalah munculnya sejenis sikap dan kesepakatan masyarakat untuk mengabaikan nilai-nilai sejarah yang unggul dan ajaran agama yang menunjukkan Mandailing pernah memiliki masa-masa emas, kejayaan.

Madina, Mandailing Natal. Satu kabupaten di pinggir selatan Sumut. Sudah memasuk angle kontestasi kepala daerah. Masyarakat Madina kembali berhadapan dengan beberapa pilihan. Nampaknya, belum terlambat untuk memilih:
1) Kembali ke masa emasnya;
2) Lari mengejar ilusi masa depannya; atau
3) Diam stagnan (mandeg) dalam keterpurukan.

Anda, mereka atau kita sebagai pemilih, tentu harus menjawabnya. Agar tak asal atau salah jawab, sekalipun itu pilihan yang jelas berbeda, kita perlu sudut pandang yang luas. Tak sekedar melihat apa yang sudah kita tahu, tapi perlu mencermati hal lain yang berbeda. Bahkan penting untuk menelisik dan meneliti kembali bangunan pemikiran teoritis yang kita miliki.

Kita, selalu pemilih, tak berhenti mengenal, menyukai dan mendukung satu pasangan Balon Bupati/Wakil Bupati lain. Tetapi, wajib membuat perbandingan (komparasi) antara satu dengan Balon lainnya.

Pun sebagai Balon yang akan dipilih, seyogianya jauh lebih mengenal sosok Madina, memahami problematika dan resolusinya. Yang lebih mendasar, mohon maaf, semua Balon harus cukup tahu diri, kenal diri dan percaya diri (tangguh).

Tulisan ini sedianya menjadi satu tawaran untuk menjawab tantangan Pilkada Kelima Madina 2024: Mau ambil “emas” atau cuma kebagian cemas?

Masa Emas

Satu bentuk penerapan politik desentralisasi secara nasional adalah pemekaran wilayah provinsi maupun kabupaten/kota. Kemudian, dari pemekaran itu kita dimungkinkan untuk menggelar PIlkada, bahkan secara Langsung dan Serentak.

Sebagai satu daerah otonom, Mandailing Natal punya peluang untuk membuat semuanya lebih baik melalui Pilkada. Secara teoritis, kondisi Madina sudah lebih baik daripada suasana sebelum Pilkada pertamanya. Begitu juga selanjutnya, hingga tiba di Pilkada kelima di 2024 ini.

Kontestasi-kontestasi kepala daerah itu sejatinya menjadi peluang untuk menciptakan kembali masa emasnya.

Dengan dimensi evaluatifnya, Madina menghitung kembali berapa jauh dan lamanya perjalanan. Dari situ kita menarik pelajaran dan memetik hikmah besar. Empat kali Pilkada dalam hitungan 20 tahun bukan pengalaman yang sia-sia.

Kalau kita kembali ke titik nol kehidupan berkabupaten ini, tentu saja di dalam cetusan “bismilah”, ada asa dan cita-cita. Ada visi besar, mulia dan berkah. Ada moto “Madina yang Madani” dan sempat dibungkus slogan “Negeri Beradat, Taat Beribadat” sebagai bentuk ungkapan dari kehendak dan tekad untuk meraih emas-nya.

Untuk itu, sembari mengikuti semua rambu dan aba-aba, kita susun suatu perencanaan. Melalui partai-partai, lewat DPRD Madina. Tercetus visi dan jabaran misi, program dan strategi dalam APBD tahun per tahun. RPJMD per lima tahun, setiap pasca Pilkada.

Lalu, menjelang genapnya 25 tahun pertama, kita pun segera menuntaskan perjuangan realisasi RPJP pertama.

Timbul pertanyaan: Dengan semua hasil pembangunan selama 25 tahun ini, apa yang sudah kita dapatkan, seperti bagaimana rasanya? Target apa pula yang sudah dapat kita raih?

Apakah justeru salah di visi, misi, orientasi dan/atau strategi sehingga capaian itu hanya kemunduran?

Bukankah masa penuh “emas” itu sejatinya menunjukkan indikator dan ukuran yang positif, terbentang penorama kemakmuran dan kemasyhuran masyarakat Madina hari ini?

Ilusi Masa Depan

Ternyata, hingga Pilkada keempat pun, masyarakat Madina di 23 kecamatan belum mendapatkan “emas” itu. Yang kebagian butiran emas pun cuma segelintir orang, itu pun setelah berjibaku ancaman penjara, tekanan sesama, longsor mematikan atau tragedi tertimbun batuan/tanah.

Mengapa begitu?

Tentu saja, karena ada sesuatu yang keliru. Pasti ada yang salah!

Logis dan bijaksana jika kita mencari kesalahan itu. Jelas sekali, evaluasi Pilkada ketiga tidak membuahkan hasil yang lebih mendekati harapan.

Begitu juga Pilkada keempat, tidak membawa kita ke fase yang lebih nyaman. Padahal, kita sudah berhadapan lagi dengan Pilkada kelima!

Jika tidak ada evaluasi total. Jika kita masih arogan mengabaikan dan meminggirkan yang lain dan mendominasi sentra-sentra produktif. Jika kekuatan-kekuatan tradisional dan informal masih kita kucilkan. Jika energi positif di luar panggung malah memilih untuk mengalah.

Itu artinya, Pilkada yang menelan biaya mahal itu kembali jadi prosesi politik yang mekanistis belaka. Pemilihan yang berujung pada munculnya kandidat yang buruk dan rakyat pemilih yang salah pilih.

Tokoh yang muncul masih dari kalangan yang sama, sama hanya punya ambisi,  elektabilitas pas-pasan dan isi tas. Tanpa integritas yang teruji, tak mengedepankan kapasitas yang pas. Istilahnya, “itus” (les i do na tu si – tetap itu yang pindah ke sini), sama dengan angin kali angin.

Makanya, Pilkada bisa jadi pintu stagnasi lebih mencekam. Kita bisa terjebak di dalamnya. Tak mengherankan lagi, jika yang kemudian bisa hidup mapan hanya yang mau jadi pecundang. Sisanya, sama sekali tak dapat panggung.

Selanjutnya, kalau tak ada evaluasi total, berarti kita bertahan untuk hanya mendapat hasil Pilkada yang minim (tak pantas), hanya rasa cemas berkepanjangan.  Hasil yang sesungguhnya, jauh dari target dan harapan. Istilahnya, jauh panggang dari api!

Kalau memang begitulah duduk perkaranya, berarti tujuan-tujuan mulia dari pemekaran Mandailing Natal itu hanya pepesan kosong, ilusi atau khayalan, tak penting dan tak perlu diwujudkan.

Stagnan dalam Keterpurukan

Jika kita tidak melakukan sesuatu yang bermakna dalam sirkulasi “mesin” Pilkada, berarti kita terjebak dalam keterpurukan. Maka, filosofinya jadi buruk: hidup hanya main-main, homonimi luden. Maka, ideologinya kemudian bisa-bisa jadi hina, homonimi lupus, saling memangsa sesama.

Pertanyaannya: Apakah kita masih menutup mata terhadap gambaran realita dramatik, tragis dan traumatis hari ini? Dimana berperilaku binal layaknya binatang di diri kita bukan lagi hal yang mustahil. Sudah terjadi. Terlalu banyak pemberitaan yang membuat kita tercengang. Saya sendiri makin yakin, semakin hari perilaku sebahagian dari kita makin tak manusiawi.

Kalau kita jujur, fenomena mutakhir sudah menunjukkan perilaku yang hina. Makan hari ini hanya untuk makan hari esok. Halal-haram makin tak penting. Makan bukan lagi untuk hidup! Kalau pun masih hidup, tidak lagi untuk menjadi mulia! Hakikat sebagai makhluk paling mulia ternyata memilih berjuang untuk menjadi hina.

Menurut hemat saya, sudahlah. Yang sudah berlalu, berlalulah. Biarlah empat kali Pilkada belum membawa kebaikan optimal atau justeru sebaliknya. Tak lebih baik mencari siapa yang salah, dibanding menemukan letak kesalahan itu.

Sebaliknya, jika Pilkada bukan permainan yang murah, dimensi kaji ulang atau pikir ulang (re-thinking) itu harus dihamparkan secara terbuka.

Pilkada yang repetitif, mekanistis dan “itus” itu tak boleh jadi jebakan yang bikin kita jatuh terpuruk lagi, dan lagi. Madina harus meloncat bangkit untuk keluar dari keterpurukan. Bangkit, benar-benar berbenah dan kembali berjuang mengejar mimpi pemekaran. Lakukan optimasi pencapaian melalui Pilkada 2024.

Melihat dari Sejarah

Seperti juga masyarakat kabupaten lain, Madina tidak bisa kembali ke masa lalu. Kamus politik pun tak mengenal istilah kembali ke kabupaten induk. Tidak ada sejarahnya, a-historis, DOB itu bubar!

Yang bisa kita lakukan adalah melihat sejarah secara utuh. Lalu, membangun perspektif, pandangan dan sikap realistis yang arif dan bijaksana dari 24 tahun masa yang sudah berlalu itu.

Sejarah menjadi catatan penting. Saya melihat bahwa capaian budaya kita sebagai bangsa/etnis Mandailing sudah sampai pada fase yang ulung dan unggul. Kejayaan itu sudah melampaui masanya. Kedigdayaan itu sudah mendekati fase paripurna (sempurna).

Horja Godang

Pada puncak kemapanan itu, kita setara dengan Belanda yang awalnya datang bertamu sebagai pedagang. Perlahan-lahan, pada masa dimana tak sulit menggelar “horja godang” tujuh hari tujuh malam dan setiap hari memotong seekor kerbau, pola hubungan kerja sama “bilateral” membuahkan kebijakan elit (Raja-raja) pada masa itu.

Yaitu, keputusan untuk melaksanakan penataan pemukiman. Tak heran jika kemudian tata pemukiman harajaon di Panyabungan (Mandailing Godang) dan Kotanopan-Manambin (Mandailing Julu) mirip dengan kota-kota di Belanda. Planologi seperti itu masih bisa kita saksikan hingga hari ini.

Dari kolaborasi seperti itu juga kita mencoba pola perkebunan monokultur, seperti komoditas kopi dan karet.

Namun, tak lama kemudian, kolaborasi seperti itu beralih jadi penekanan dan imperialisme/kolonialisme sebagai “anak sulung” dari modernisme. Perubahan-perubahan politis pun terjadi secara dramatis.

Setelah memperlakukan kearifan lokal sebagai keluguan dan dicap sebagai kebodohan, Belanda dan antek-ateknya pun menyentuh dan mengotak-atik ranah kepemimpinan lokal dengan politik devide et impera (pecah-belah dan jajah).

Raja-raja Panusunan yang menjadi simpul-simpul kekuasaan genetik, makin terperdaya. Seiring gerakan Paderi dari arah selatan, Belanda semakin memaksakan kehendaknya dan memecah konstalasi politik, termasuk dengan memunculkan konsep “kuria” serta menunjuk sendiri kepala kuria-nya dari kalangan keluarga Raja Panusunan.

Siasat adu domba makin seram. Kerajaan Eropa yang dipimpim perempuan itu tidak hanya menjauh dari Raja Panusunan dan makin mendekati para kepala kuria, tapi jauh-jauh hari sebelumnya sudah melancarkan fitnah dan adu domba antar-anggota keluarga kerajaan (harajaon).

Dalam situasi seperti itu, raja-raja yang arif tentu mengambil sikap mengalah ketimbang harus berselisih atau bertikai dengan saudaranya sendiri (sedarah). Wong, saudara sendiri juga bodoh, bisa diagitasi dan dicatur-catur.

Maka, tak heran jika ilustrasi sejarah yang terjadi kemudian pun menunjukkan power (pengaruh) Raja-raja Mandailing yang bertempat tinggal di bagas godang (rumah besar, istana) makin redup. Sedang di lokasi yang berdekatan di dalam kompleks istana muncul “bagas godang” baru dengan bius kekuasaan yang makin mendominasi percaturan.

Memang, tak terdengar cerita konflik terbuka antara raja-raja adik-berdik dengan para kepala kuria. Tapi, dampaknya, terasa hingga hari ini. Setidaknya, kita menemukan adanya dua-tiga bagas godang (istana) dalam satu harajaon. Sekalipun masih ada pemilahan antara “bagas godang” untuk menyebut istana yang sesungguhnya dan “bagas na godang” untuk menunjukkan pusat ke-kuria-an.

Pada fase pra-kemerdekaan NKRI, secara umum nampak jelas, pengaruh dan keteguhan harajaon yang terbelah, bahkan pecah berkeping-keping, sudah sangat lemah. Bahkan hingga 17 Agustus 1945, imperium Mandailing yang terdiri dari dua sisi (Mandailing Godang dan Mandailing Julu) tetap dalam keadaan yang bercerai berai.

“Pastak” Redup

Secara sosiologis, fakta sejarah itu dapat dimaknai sebagai disorientasi peran. Masing-masing pihak yang berkuasa di dua geo-politik Mandailing itu, menghadapi tuntutan: 1) Terus bertanggung jawab atas kawasan yang tak lagi sepenuhnya dalam kepemimpinan dua Raja Panusunan (Nasution di Mandailing Godang dan Lubis di Mandailing Julu). 2) Tak lagi cukup berdaya untuk menegakkan kembali aturan-aturannya (pastak, pago, uhum dan ugari). Titah dan semua turunannya meredup.

Pun setelah kemerdekaan, sejumlah tokoh masyarakat yang transisional sempat terjebak simpati kepada PRRI atau DI/TI untuk melakukan perlawanan terhadap Pemerintah Pusat di bawah bendera NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Kepemimpinan harajaon Mandailing yang sudah berubah jadi informal makin lemah. Sepertinya, tak punya animo/ambisi lagi untuk menegakkan supremasinya.

Makanya, ketika Jenderal Abdul Haris Nasution menjalani penugasan dari Jakarta untuk meyakinkan agar Mandailing bergabung ke NKRI, tak terjadi perdebatan panjang. Sembari melancarkan negosiasi dengan para pentolan pemberontak, AH Nasution pun terus menggalang komunikasi persuasif dengan harajaon Mandailing yang masih tergolong keluarganya. Harapannya, harajaon Mandailing menyerahkan kedaulatannya. Akhirnya, Raja Panusunan dan segenap Raja Pamusuk, Raja Ripe dan Raja Ihutan pun menyerahkan kekuasaan eksekutifnya tanpa syarat apa-apa.

Inti dari kepingan cerita hipotesis ini berbeda dengan catatan sejarah pra dan pasca kemerdekaan di Sumatera Timur (Nanggroe Aceh Darussalam) dan Pulau Jawa (Yogyakarta/Surakarta). Garis besarnya, kepemimpinan tradisional dan budaya lokal Madina akhirnya terpinggir. (Bersambung)

Comments

Komentar Anda

Silahkan Anda Beri Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.