Sanusi Pane adalah satu diantara beberapa tokoh sastra Indonesia di era Pujangga Baru. Sastrawan yang dikenal sebagai pembaharu kesusastraan di tanah air kita ini, lahir di Muara Sipongi, Sumatera Utara, pada tahun 1905. Beliau adalah sastrawan yang banyak menyumbangkan perhatian dan karyanya untuk kemajuan kesusasteraan Indonesia, terutama pada periode diantara tahun 1919 hingga kisaran 1940an. Bergelut dengan dunia kesusastraan di tanah air yang ketika itu “tertatih-tatih” di era Penjajahan, namun tidaklah membuat Sanusi Pane kehilangan semangat perjuangannya dalam mengembangkan kesusastraan semasa hidupnya.
Sanusi Pane adalah kakak kandung dari sastrawan Armijn Pane. Keduanya anak dari seorang seniman yang juga adalah seorang guru di Mandailing bernama Sutan Pengurabaan Pane. Sanusi Pane bersekolah di HIS dan ELS yang ada di Padang Sidempuan, Sumatera Utara. Kemudian pendidikannya berlanjut di MULO, yang dijalaninya di Padang dan Jakarta sampai selesai di tahun 1925. Setelah tamat, Sanusi Pane lebih memilih meneruskan pekerjaan orang tuanya sebagai guru dengan melanjutkan pendidikannya di Kweekschool (Sekolah Guru) di Gunung Sahari (Jakarta) dan tamat pada tahun 1925, kemudian langsung mengajar di almamaternya tersebut, sampai Sanusi Pane dipindahkan ke Lembang, Jawa Barat. Sebelum mengunjungi India, Sanusi Pane juga masih sempat mengenyam pendidikan tinggi (kuliah) dalam mempelajari ontologi di Rechtshogeschool (1929-1930).(edi Nasution)
Dalam setiap karya kesusastraan Sanusi Pane, tampak dengan gamblang kalau sejarah- sejarah Nusantara di masa lampau terutama di zaman kebudayaan Hindu-Budha, yang menjadi latar belakang dominan dari setiap karya-karyanya, di mana banyak contoh filsafat dan falsafah hidupnya yang lebih memperbandingkan antara kebudayaan Timur dan Barat, memperbandingkan antara hal jasmaniah dengan kerohanian, juga memperbandingkan banyak hal yang satu sama lain merupakan hal yang sangat bertolak belakang. Mungkin inilah merupakan hal-hal mendasar yang banyak ditemukan Sanusi Pane selama kunjungannya ke India. Bentuk inspirasi seorang Sanusi Pane yang tergambar dalam salah satu karyanya yang berjudul Manusia Baru, yang pada tahun 1940 pernah diterbitkan oleh Balai Pustaka, Jakarta.
Manakala Sanusi Pane kembali dari kunjungannya ke India, sembari tetap bekerja sebagai guru, ia juga menjadi Pemred majalah Timbul, sebuah majalah yang diterbitkan dalam bahasa Belanda. Semasa hidupnya Sanusi Pane menulis berbagai karangan tentang kesusastraan, filsafat dan politik. Pada tahun 1941, Sanusi Pane diangkat menjadi Pemred Balai Pustaka, Jakarta. Beliau meninggal di Jakarta pada tahun 1968 dalam usia yang ke 62 tahun. Karya-karyanya antara lain: Prosa Berirama (1926), Pancaran Cinta (1926), Kumpulan Sajak (1927), Puspa Mega (1927), sedangkan naskah drama yang berbahasa Belanda yaitu Airlangga (1928) dan Eenzame Caroedalueht (1929). Karya lainnya adalah Madah Kelana (1931), Kertajaya (1932), Sandhyakala Ning Majapahit (1933), Manusia Baru (1940), dan Kakawin Arjuna Wiwaha (Mpu Kanwa, terjemahan dari bahasa Jawa Kuno, 1940).
Menurut J.S. Badudu, dkk (1984:30), Armijn Pane memiliki nama panggilan yang cukup banyak, antara lain: Ammak, Ananta, Anom Lengghana, Antar Iras, AR, A.R., Ara bin Ari, dan Aria Indra. Nama-nama itu ia gunakan dalam majalah Pedoman Masyarakat, Poedjangga Baroe, dan Pandji Islam. Armijn Pane, anak ketiga dari delapan bersaudara, dilahirkan di Muara Sipongi, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, pada tahun 1908. Ayahnya Sutan Pangurabaan Pane adalah seorang seniman daerah yang telah berhasil membukukan sebuah cerita daerah berjudul Tolbok Haleoan. Armijn Pane dan adik bungsunya, Prof. Dr. Lafran Pane yang menjadi sarjana ilmu politik yang pertama, juga mewarisi bakat ayahnya sebagai pendidik. Armijn Pane menjadi guru Taman Siswa, sementara Lafran Pane adalah Guru Besar IKIP Negeri Yogya dan Universitas Islam Indonesia Yogya. Ayah Armijn Pane adalah juga seorang aktivis Partai Nasional pada masa Pergerakan Nasional di Palembang. Hal itu juga menyiratkan bahwa ayah mereka termasuk golongan yang cinta tanah air. Rasa cinta terhadap tanah air ini juga diwariskan kepada anaknya, baik Armijn Pane, Sanusi Pane, maupun Lafran Pane. Pada Armijn Pane hal itu dapat kita lihat dalam sajaknya Tanah Air dan Masyarakat dalam Gamelan Djiwa, bagian kedua. Armijn Pane meninggal pada tahun 1970 di Jakarta, dalam usia 62 tahun.
Armijn Pane mengawali pendidikannya di Hollandsislandse School (HIS) Padang Sidempuan dan Tanjung Balai. Kemudian masuk Europese Lagere School (ELS), yaitu pendidikan untuk anak-anak Belanda di Sibolga dan Bukit Tinggi. Pada tahun 1923 ia menjadi salah seorang Studen Stovia (sekolah kedokteran) di Jakarta. Namun, ia tidak melanjutkannya. Pada tahun 1927, ia pindah ke Nederlands-Indische Artsenschool (Nias), yaitu sekolah kedokteran yang didirikan pada tahun 1913 di Surabaya. Namun, jiwa seninya tidak dapat dikendalikan sehingga ia kemudian masuk ke AMS bagian AI Jurusan Bahasa dan Kesusastraan di Surakarta hingga tamat tahun 1931. Dalam dunia pendidikan ia juga pernah melakoni dunia pendidikan sebagai guru bahasa dan sejarah di perguruan Taman Siswa di Kediri dan Jakarta. Oleh karena itu, salah seorang tokoh Taman Siswa, Pak Said, atas nama seluruh warga Taman Siswa menyampaikan penghargaan atas jasa almarhum dalam upacara pemakamannya.
Apakah pengalamannya sebagai studen kedokteran (Stovia) di Jakarta dan Surabaya yang melatarbelakangi karyanya yang tokohnya dokter, seperti dr. Sukartono dalam novel Belenggu dan dr. Abidin dalam drama Antara Bumi dan Langit ? Dalam kedua cerita itu tidak tampak hal-hal yang mendasar tentang ilmu kedokteran yang dimiliki tokohnya, yang disajikan hanya wajah dan perilaku tokoh dokter secara permukaan. Hal itu mungkin karena ia sekolah kedokteran tidak sampai tamat sehingga tidak sampai menghayati segalanya yang berhubungan dengan ilmu kedokteran. Tampaknya, Armijn Pane tidak tertarik oleh dunia kedokteran, ia lebih tertarik pada dunia seni. Untuk itu, ia mampu menamatkan pendidikannya di AMS AI (Jurusan Kebudayaan Timur) di Solo.
Tahun 1949 Armijn Pane kembali ke Jakarta dari pengungsiannya di Yogyakarta. Setibanya Armijn Pane di Jakarta, ia menekuni bidang penerbitan. Armijn Pane juga mengasuh majalah Indonesia sejak Februari 1955 bersama Mr. St. Moh. Syah dan Boeyoeng Saleh. Armijn menulis buku Produksi Film Cerita di Indonesia setebal 112 halaman dalam majalah Indonesia kala itu. Di samping itu, ia juga memimpin majalah Kebudayaan Timur yang dikeluarkan oleh kantor Pendidikan Kebudayaan. Di dalam dunia sandiwara, Armijn Pane menjadi anggota terkemuka gabungan usaha sandiwara Jawa, di samping sebagai Ketua Muda Angkatan Baru, adalah perkumpulan seniman di kantor kebudayaan itu. Ia memulai kariernya sebagai pengarang dan sastrawan ketika ia menjadi wartawan dan sebagai guru di Pendidikan Taman Siswa. Ia pernah mengajar bahasa dan sejarah di Sekolah Taman Siswa di Kendiri, kemudian di Jakarta. Kariernya dalam bidang penerbitan dirintis di Balai Pustaka, sebagai pegawai, di kantor itu. Tahun 1936 Armijn diangkat menjadi redaktur.
Pada masa penjajahan Jepang, beliau menjabat Kepala Bagian Kesusastraan di Pusat Kebudayaan Djakarta. Di samping itu, tahun 1938 ia menjadi Sekretaris Kongres Bahasa Indonesia. Ia juga menjadi penganjur Balai Bahasa Indonesia dan di zaman Jepang ia menjadi anggota Komisi Istilah. Dalam dunia organisasi kebudayaan/kesastraan, Armijn Pane juga aktif. Ia menjadi penganjur dan sekretaris Lembaga Kebudayaan Indonesia (LKI). Selanjutnya, ia menjadi anggota Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN) setelah tahun 1950. Dalam penerbitan, Armijn Pane tidak hanya berkecimpung dalam majalah Pujangga Baru, tetapi juga menjadi anggota dewan redaksi majalah Indonesia. Dalam dunia film, Armijn aktif sebagai anggota sensor film (1950-1955). Karya puisinya yaitu Gamelan Djiwa dan Djiwa Berdjiwa, sedangkan kumpulanya cerpennya adalah Djinak-Djinak Merpati (Balai Pustaka, 1940), dan Kisah Antara Manusia (Balai Pustaka, 1953). Karya lain berupa drama berjudul Antara Bumi dan Langit (Pedoman, 1951). Atas jasanya dalam bidang seni (sastra), ia memperoleh Anugerah Seni dari pemerintah Indonesia pada tahun 1969.
Menurut J.S. Badudu, dkk (1984:30), Armijn Pane memiliki nama panggilan yang cukup banyak, antara lain: Ammak, Ananta, Anom Lengghana, Antar Iras, AR, A.R., Ara bin Ari, dan Aria Indra. Nama-nama itu ia gunakan dalam majalah Pedoman Masyarakat, Poedjangga Baroe, dan Pandji Islam. Armijn Pane, anak ketiga dari delapan bersaudara, dilahirkan di Muara Sipongi, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, pada tahun 1908. Ayahnya Sutan Pangurabaan Pane adalah seorang seniman daerah yang telah berhasil membukukan sebuah cerita daerah berjudul Tolbok Haleoan. Armijn Pane dan adik bungsunya, Prof. Dr. Lafran Pane yang menjadi sarjana ilmu politik yang pertama, juga mewarisi bakat ayahnya sebagai pendidik. Armijn Pane menjadi guru Taman Siswa, sementara Lafran Pane adalah Guru Besar IKIP Negeri Yogya dan Universitas Islam Indonesia Yogya. Ayah Armijn Pane adalah juga seorang aktivis Partai Nasional pada masa Pergerakan Nasional di Palembang. Hal itu juga menyiratkan bahwa ayah mereka termasuk golongan yang cinta tanah air. Rasa cinta terhadap tanah air ini juga diwariskan kepada anaknya, baik Armijn Pane, Sanusi Pane, maupun Lafran Pane. Pada Armijn Pane hal itu dapat kita lihat dalam sajaknya Tanah Air dan Masyarakat dalam Gamelan Djiwa, bagian kedua. Armijn Pane meninggal pada tahun 1970 di Jakarta, dalam usia 62 tahun.
Armijn Pane mengawali pendidikannya di Hollandsislandse School (HIS) Padang Sidempuan dan Tanjung Balai. Kemudian masuk Europese Lagere School (ELS), yaitu pendidikan untuk anak-anak Belanda di Sibolga dan Bukit Tinggi. Pada tahun 1923 ia menjadi salah seorang Studen Stovia (sekolah kedokteran) di Jakarta. Namun, ia tidak melanjutkannya. Pada tahun 1927, ia pindah ke Nederlands-Indische Artsenschool (Nias), yaitu sekolah kedokteran yang didirikan pada tahun 1913 di Surabaya. Namun, jiwa seninya tidak dapat dikendalikan sehingga ia kemudian masuk ke AMS bagian AI Jurusan Bahasa dan Kesusastraan di Surakarta hingga tamat tahun 1931. Dalam dunia pendidikan ia juga pernah melakoni dunia pendidikan sebagai guru bahasa dan sejarah di perguruan Taman Siswa di Kediri dan Jakarta. Oleh karena itu, salah seorang tokoh Taman Siswa, Pak Said, atas nama seluruh warga Taman Siswa menyampaikan penghargaan atas jasa almarhum dalam upacara pemakamannya.
Apakah pengalamannya sebagai studen kedokteran (Stovia) di Jakarta dan Surabaya yang melatarbelakangi karyanya yang tokohnya dokter, seperti dr. Sukartono dalam novel Belenggu dan dr. Abidin dalam drama Antara Bumi dan Langit ? Dalam kedua cerita itu tidak tampak hal-hal yang mendasar tentang ilmu kedokteran yang dimiliki tokohnya, yang disajikan hanya wajah dan perilaku tokoh dokter secara permukaan. Hal itu mungkin karena ia sekolah kedokteran tidak sampai tamat sehingga tidak sampai menghayati segalanya yang berhubungan dengan ilmu kedokteran. Tampaknya, Armijn Pane tidak tertarik oleh dunia kedokteran, ia lebih tertarik pada dunia seni. Untuk itu, ia mampu menamatkan pendidikannya di AMS AI (Jurusan Kebudayaan Timur) di Solo.
Tahun 1949 Armijn Pane kembali ke Jakarta dari pengungsiannya di Yogyakarta. Setibanya Armijn Pane di Jakarta, ia menekuni bidang penerbitan. Armijn Pane juga mengasuh majalah Indonesia sejak Februari 1955 bersama Mr. St. Moh. Syah dan Boeyoeng Saleh. Armijn menulis buku Produksi Film Cerita di Indonesia setebal 112 halaman dalam majalah Indonesia kala itu. Di samping itu, ia juga memimpin majalah Kebudayaan Timur yang dikeluarkan oleh kantor Pendidikan Kebudayaan. Di dalam dunia sandiwara, Armijn Pane menjadi anggota terkemuka gabungan usaha sandiwara Jawa, di samping sebagai Ketua Muda Angkatan Baru, adalah perkumpulan seniman di kantor kebudayaan itu. Ia memulai kariernya sebagai pengarang dan sastrawan ketika ia menjadi wartawan dan sebagai guru di Pendidikan Taman Siswa. Ia pernah mengajar bahasa dan sejarah di Sekolah Taman Siswa di Kendiri, kemudian di Jakarta. Kariernya dalam bidang penerbitan dirintis di Balai Pustaka, sebagai pegawai, di kantor itu. Tahun 1936 Armijn diangkat menjadi redaktur.
Pada masa penjajahan Jepang, beliau menjabat Kepala Bagian Kesusastraan di Pusat Kebudayaan Djakarta. Di samping itu, tahun 1938 ia menjadi Sekretaris Kongres Bahasa Indonesia. Ia juga menjadi penganjur Balai Bahasa Indonesia dan di zaman Jepang ia menjadi anggota Komisi Istilah. Dalam dunia organisasi kebudayaan/kesastraan, Armijn Pane juga aktif. Ia menjadi penganjur dan sekretaris Lembaga Kebudayaan Indonesia (LKI). Selanjutnya, ia menjadi anggota Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN) setelah tahun 1950. Dalam penerbitan, Armijn Pane tidak hanya berkecimpung dalam majalah Pujangga Baru, tetapi juga menjadi anggota dewan redaksi majalah Indonesia. Dalam dunia film, Armijn aktif sebagai anggota sensor film (1950-1955). Karya puisinya yaitu Gamelan Djiwa dan Djiwa Berdjiwa, sedangkan kumpulanya cerpennya adalah Djinak-Djinak Merpati (Balai Pustaka, 1940), dan Kisah Antara Manusia (Balai Pustaka, 1953). Karya lain berupa drama berjudul Antara Bumi dan Langit (Pedoman, 1951). Atas jasanya dalam bidang seni (sastra), ia memperoleh Anugerah Seni dari pemerintah Indonesia pada tahun 1969.
Apakah pengalamannya sebagai studen kedokteran (Stovia) di Jakarta dan Surabaya yang melatarbelakangi karyanya yang tokohnya dokter, seperti dr. Sukartono dalam novel Belenggu dan dr. Abidin dalam drama Antara Bumi dan Langit ? Dalam kedua cerita itu tidak tampak hal-hal yang mendasar tentang ilmu kedokteran yang dimiliki tokohnya, yang disajikan hanya wajah dan perilaku tokoh dokter secara permukaan. Hal itu mungkin karena ia sekolah kedokteran tidak sampai tamat sehingga tidak sampai menghayati segalanya yang berhubungan dengan ilmu kedokteran. Tampaknya, Armijn Pane tidak tertarik oleh dunia kedokteran, ia lebih tertarik pada dunia seni. Untuk itu, ia mampu menamatkan pendidikannya di AMS AI (Jurusan Kebudayaan Timur) di Solo.
Tahun 1949 Armijn Pane kembali ke Jakarta dari pengungsiannya di Yogyakarta. Setibanya Armijn Pane di Jakarta, ia menekuni bidang penerbitan. Armijn Pane juga mengasuh majalah Indonesia sejak Februari 1955 bersama Mr. St. Moh. Syah dan Boeyoeng Saleh. Armijn menulis buku Produksi Film Cerita di Indonesia setebal 112 halaman dalam majalah Indonesia kala itu. Di samping itu, ia juga memimpin majalah Kebudayaan Timur yang dikeluarkan oleh kantor Pendidikan Kebudayaan. Di dalam dunia sandiwara, Armijn Pane menjadi anggota terkemuka gabungan usaha sandiwara Jawa, di samping sebagai Ketua Muda Angkatan Baru, adalah perkumpulan seniman di kantor kebudayaan itu. Ia memulai kariernya sebagai pengarang dan sastrawan ketika ia menjadi wartawan dan sebagai guru di Pendidikan Taman Siswa. Ia pernah mengajar bahasa dan sejarah di Sekolah Taman Siswa di Kendiri, kemudian di Jakarta. Kariernya dalam bidang penerbitan dirintis di Balai Pustaka, sebagai pegawai, di kantor itu. Tahun 1936 Armijn diangkat menjadi redaktur.
Pada masa penjajahan Jepang, beliau menjabat Kepala Bagian Kesusastraan di Pusat Kebudayaan Djakarta. Di samping itu, tahun 1938 ia menjadi Sekretaris Kongres Bahasa Indonesia. Ia juga menjadi penganjur Balai Bahasa Indonesia dan di zaman Jepang ia menjadi anggota Komisi Istilah. Dalam dunia organisasi kebudayaan/kesastraan, Armijn Pane juga aktif. Ia menjadi penganjur dan sekretaris Lembaga Kebudayaan Indonesia (LKI). Selanjutnya, ia menjadi anggota Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN) setelah tahun 1950. Dalam penerbitan, Armijn Pane tidak hanya berkecimpung dalam majalah Pujangga Baru, tetapi juga menjadi anggota dewan redaksi majalah Indonesia. Dalam dunia film, Armijn aktif sebagai anggota sensor film (1950-1955). Karya puisinya yaitu Gamelan Djiwa dan Djiwa Berdjiwa, sedangkan kumpulanya cerpennya adalah Djinak-Djinak Merpati (Balai Pustaka, 1940), dan Kisah Antara Manusia (Balai Pustaka, 1953). Karya lain berupa drama berjudul Antara Bumi dan Langit (Pedoman, 1951). Atas jasanya dalam bidang seni (sastra), ia memperoleh Anugerah Seni dari pemerintah Indonesia pada tahun 1969.