MEDAN – Terkatung-katungnya proses hukum terhadap kasus dugaan korupsi mantan sekretaris daerah Pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan (Sekda Tapsel), Rahudman Harahap, menjadi preseden buruk bagi institusi penegak hukum di Sumatera Utara. Sejak ditetapkan sebagai tersangka 25 Oktober 2010 lalu, hingga kini Rahudman masih menghirup udara bebas. Saat ini, Rahudman menjabat sebagai walikota Medan.
Oleh karena itu, anggota Komisi A DPRD Sumut, Hardi Mulyono, berpendapat bahwa kasus ini hanya bisa terselesaikan bila ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK. Maka dari itu, jelas Hardi, KPK harus didesak untuk mengambil alih kasus ini. Sebab, baik kinerja Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejati Sumut) maupun Kejaksan Agung (Kejagung), sangat lamban dalam penanganan kasus ini.
Bahkan terkesan tidak mampu dan tidak bersedia untuk mengungkap kasus korupsi ini. “KPK harus segera mengambil alih kasus dugaan korupsi Rahudman Harahap. Sebab langkah dan kinerja Kejagung untuk menuntaskan kasus Rahudman, hingga kini belum menunjukkan keseriusan yang berarti,” kepada Waspada Online, hari ini Hardi mengatakan.
Dikatakan ketua fraksi Partai Golongan Karya (Golkar) di DPRD Sumut ini, hingga kini pihak Kejagung masih berdalih pada belum terbitnya surat izin dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), untuk melakukan pemeriksaan terhadap Rahudman. “Untuk itu, sudah selayaknya kasus Rahudman tersebut diambil alih oleh KPK. Karena, jika KPK yang langsung menangani kasus ini, tidak diperlukan lagi izin dari presiden untuk memeriksa Rahudman,” jelasnya.
Menurut Hardi, campur tangan KPK dalam kasus ini sangat dibutuhkan, karena hal ini juga memperlihatkan keseriusan pemerintah untuk menegakkan proses hukum di Indonesia. Selain itu, hal ini juga bakal menjadi daya dongkrak bagi KPK, bahwa lembaga superbody ini benar-benar menjalankan fungsinya untuk memberantas korupsi.
“Kita yakin KPK akan cepat bekerja, jika berkenan untuk mengambil alih kasus dugaan korupsi Rahudman. Ini juga akan menghasilkan apresiasi yang tinggi terhadap KPK, karena berhasil membuat efek jera bagi para kepala daerah atau pejabat pemerintahan untuk korupsi,” tegasnya.
Pernyataan seirama juga dilontarkan oleh LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Medan. Menurut Wakil Direktur LBH Medan, Muslim Muis, belum juga diproses dan diperiksannya Rahudman dalam kasus korupsi dana TPAPD (Tunjangan Pendapatan Apratur Pemerintahan Desa) Tapsel senilai Rp1,5 miliar, ketika menjabat sebagai Sekda Tapsel tahun 2005 lalu, sudah layak diambil alih KPK. Sebab, Kejati Sumut sebagai lembaga adhiyaksa dinilai lamban dan terkesan sengaja untuk mengambil langkah bijak dalam menegakan hukum.
“Rahudman sudah ditetapkan Kejati Sumut sebagai tersangka. Tapi mengapa prosesnya hukumnya masih mengambang?” kata Muslim.
Lanjut Muslim, jika dilihat berdasarkan kinerja Kejati Sumut dapat disimpulkan kinerjanya gagal. Akibatnya, asumsi negatif dari publik pun muncul terhadap Kejati Sumut, sehingga publik tidak lagi percaya pada proses hukum di negara ini. “Tidak ada alasan KPK untuk tidak mengambil alih kasus ini. Contoh, seperti kasus Bupati Nias, Binahati Baeha dan kasus RE Siahaan. Kasusnya membuahkan hasil ketika sudah ditangani KPK,” ucapnya.
Dijelaskannya, kegagalan-kegagalan Kejati Sumut dalam mengungkap berbagai kasus korupsi di Sumut bukan baru kali ini saja. “Jadi kita meminta KPK untuk segera mengambil alih kasus korupsi ini. Kita tidak ingin kasus serupa seperti Monang Sitorus yang ditangani Kejati Sumut tidak jelas. Buktinya, hingga sampai saat ini kasusnya masih mengambang,” pungkasnya.
Sumber : waspada.co.id
Comments
Komentar Anda