JAKARTA (Mandailing Online) – Permintaan Referendum di Aceh merupakan sikap politik yang tegas menghadapi Indonesia yang terus menuju kegagalan dalam berdemokrasi.
Pimpinan Komite I DPD RI, Fachrul Razi meminta pemerintah pusat bersikap dan memberikan perhatian serius terhadap permintaan dilakukannya referendum Aceh secara resmi.
Apalagi, kata Fachrul, yang berbicara referendum itu adalah Ketua Komite Peralihan Aceh (KPA) dan Ketua DPA Partai Aceh (PA) Muzakir Manaf atau akrab disapa Mualem. Senator asal Aceh itu menegaskan yang disampaikan Mualem bukanlah pernyataan biasa. Menurut Fachrul, pernyataan ini serius dan memiliki arti penting.
“Ini yang berbicara Mualem. Jadi ini bukan wacana lagi tetapi satu sikap politik yang tegas untuk menjawab quo vadis Aceh ke depan menghadapi Indonesia yang terus menuju pada kehancuran dan kegagalan dalam berdemokrasi,” ujar Fachrul, Rabu (29/5) yang dilansir Jawa Pos edisi 30 Mei 2019.
Sebelumnya, dalam sambutannya pada peringatan kesembilan tahun wafatnya Wali Neugara Aceh, Paduka Yang Mulia Tgk Muhammad Hasan Ditiro (3 Juni 2010-3 Juni 2019?) dan buka bersama di salah satu Gedung Amel Banda Aceh, Senin (27/5) malam, Mualem mengeluarkan pendapat agar ke depan Aceh minta referendum.
Menurut Mualem, negara tidak jelas dalam menyelesaikan persoalan keadilan dan demokrasi. Dia pun menilai Indonesia diambang kehancuran dari sisi apa saja.
Fachrul menjelaskan, referendum adalah mekanisme demokrasi untuk memberikan hak politik rakyat dalam menentukan masa depan. Dia berpendapat referendum merupakan solusi damai untuk Aceh dan hak konstitusional setiap warga negara. Biasanya referendum digunakan untuk meminta pendapat rakyat secara langsung tentang hal-hal fundamental yang menyangkut nasib dan masa depan rakyat sendiri.
Referendum merupakan penyerahan suatu persoalan supaya diputuskan dengan pemungutan suara umum.
“Mengapa saya berbicara referendum, karena saya wakil Aceh di pusat. Jika rakyat Aceh menginginkan referendum maka sebagai wakil Aceh sangat wajar saya memperjuangkan itu,” ujarnya.
Lebih lanjut dia menjelaskan referendum tidak bertentangan dengan MoU Helsinki 2005. Menurutnya, referendum juga diberikan ruang oleh perjanjian tersebut, jika para pihak tidak dapat memenuhi kesepakatan.
Dalam MoU, kata dia, para pihak bertekad untuk menciptakan kondisi sehingga pemerintahan rakyat Aceh dapat diwujudkan melalui suatu proses yang demokratis dan adil dalam negara kesatuan dan konstitusi Republik Indonesia.
”Artinya substansi perjanjian MoU Helsinki adalah demokrasi dan adil. Dua pondasi ini jika rakyat Aceh tidak merasakan keadilan dan demokrasi, wajar saja seorang mantan panglima GAM Muzakir Manaf sangat kecewa dengan keadaan sekarang,” katanya.
Selain demokrasi dan keadilan, ujar dia, penekanan dari MoU Helsinki adalah kemajuan dan keberhasilan Aceh pascaperjanjian itu ditandatangani.
“Coba kita lihat dalam perjanjian MoU Helsinki bahwa dinyatakan para pihak sangat yakin bahwa hanya dengan penyelesaian damai atas konflik tersebut yang akan memungkinkan pembangunan kembali Aceh dapat mencapai kemajuan dan keberhasilan, hal tersebut merupakan sebuah kondisi perubahan signifikan yang harus dirasakan di Aceh saat ini,” paparnya.
Menurut dia, pernyataan Mualem menunjukkan kekecewaan terhadap kondisi Aceh yang dirasakan jauh dari kemajuan dan keberhasilan. Di sisi lain, lanjut dia, kunci perjanjian ini adalah trust building atau membangun kepercayaan. Dalam MoU Helsinki, para pihak yang terlibat dalam konflik bertekad untuk membangun rasa saling percaya.
“Nah, jika salah satu pihak sudah mengalami kekurangan percayaan (distrust), ini menunjukkan bahwa muncul kekecewaan terhadap proses dan keadaan sekarang. Nah kalau ada yang tanya apakah MoU Helsinki memberikan ruang adanya referendum, silakan baca poin 6.1.c,” jelas Fachrul.
Sumber : jpnn
Editor : Dahlan Batubara
Comments
Komentar Anda