Oleh: Nahdoh Fikriyyah Islam
Dosen dan Pengamat Politik
Aneh! Emang Boleh? Kok gitu sih! Begitulah saling toleransi! Setidaknya, keempat ekspresi tersebut muncul di benak nitizen maupun masyarakat saat membaca atau menyaksikan proses kelahiran anak salah satu pasangan artis kenamaan tanah air. Pasangan selebritis ini membagika momen bahagia mereka atas kelahiran buah hati pertamanya.
Pasangan selebriti tersebut dikabarkan telah melakukan ritual keagamaan sebagai rasa syukur menyambut kehadirang si bayi. Hanya saja, ritual yang dilakukan mengundang kontroversi karena dianggap tidak lazim dan membingungkan. Seperti dilansir dari beberapa media yang memberitakan, bahwa pasangan selebritis berinisial NCW (isteri) dan DA (suami) telah melakukan ritual kelahiran terhadap bayi mereka menurut keyakinan keduanya.
Seperti diketahui bahwa DA adalah seorang Muslim, sementara NCW seorang Kristen tepatnya Katolik. Seperti kebiasaan pria muslim pada umumnya, seorang ayah akan membacakan azan/iqomah untuk pertama kalinya ke telinga buah hati.
Hal itu pula yang dilakukan oleh DA. Di foto berlatar hitam putih, terlihat ia sedang membisikkan azan ke telinga Djiwa. “Sungguh bahagia melihat Djiwa begitu tenang saat mendengar azan pertama”, tulis DA dalam akun IG miliknya.
Namun, si Ibu (NCW) kelihatannya tidak ingin ketinggalan. Buah hati mereka setelah diazankan kemudian dibawa ke Gereja untuk dibaptis sesuai keyakinan si Ibu. Kejadian inilah yang membuat berita tersebut banyak dibagikan dan dikomentari oleh nitizen.
Sebagai negeri mayoritas muslim, tentu memunculkan pertanyaan, benarkah hal demikian boleh dilakukan dalam Islam? Bagaimana menyikapinya dengan benar menurut pandangan aqidah seorang Muslim?
Ritual Kelahiran Dua Agama, Krisis Kepemimpinan Seorang Ayah dan Tergoresnya Fitrah Anak
Sebagai suami-isteri, tentu keduanya merasakan haru dan bahagia. Normalnya manusia, memiliki naluri untuk melestarikan keturunan sebagai tujuan pernikahan. Saat anak lahir, kebahagian itu semakin bertambah. Dan cermin kebahagiaan itu juga terpancar dari beragam ritual yang dilakukan sebagai rasa syukur kepada Sang Pecipta. Termasuk yang dilakukan oleh pasangan selebritis tersebut.
Fakta yang sedang diekspos baru satu. Siapa tahu, di luar sana ternyata juga marak melakukan hal yang sama. Sebab, pernikahan beda agama di Indonesia apalagi di kalangan selebritis bukanlah hal yang baru apalagi tabu. Gaya hidup sekuler yang liberal menjadikan pernikahan kehilangan rambu-rambu syariat.
Sudah sering terdengar bahwa anak-anak dari pasangan suami-isteri yang beda agama tidak memiliki keyakinan yang kuat dan pasti. Mereka tidak luput dari perilaku pindah-pindah keyakinan. Dan itu wajar, sebab dalam rumah, ada dua keyakinan yang membesarkan mereka namun tidak dibimbing dengan kuat dan tegas.
Dalam kasus rumah tangga atau keluarga, tentu kepemimpinan seorang ayah sangatlah dituntut. Saat seorang pria muslim memutuskan untuk menikahi seorang wanita ahlul kitab (non muslim), maka ia harus memikirkan konsekuensi ke depan termasuk aqidah anak-anaknya.
Sebab menurut ajaran Islam, lelaki Muslim adalah imam yang bertanggungjawab penuh terhadap keselamatan anak-anaknya dunia-akhirat. Tentu saja, keselamatan itu akan diraih dengan kelurusan aqidah meyakini Allah swt dan tidak menyekutukannya.
Islam mengajarkan bahwa setiap anak terlahir fitrah. Dan lingkungannyalah termasuk kedua oragtuanya yang kelak akan mencoreng fitrah anak tersebut. Disinilah perlunya keimanan yang kokoh dari orangtua khususnya ayah untuk mempertahankan fitrah anak-anaknya.
Ironisnya, pernyataan dari DA sebagai suami/ayah yang menyatakan bahwa ia percaya doa apapun pasti akan membuat hati tenang. Apalagi tujuannya baik ke bayi yang masih bersih hatinya. Padahal, seharusnya ia paham doa itu hanya sampai kepada Sang Khaliq (Allah swt) jika imannya lurus dan tidak kufur terhadap Allah swt, Rasulullah saw dan hari akhir. Bukan doa apapun. Tetapi doa memiliki syarat untuk diterima.
Ritual kelahiran yang dilakukan keduanya terhadap anak, dan berbagai komentar-komentar yang terkesan saling toleransi antara mereka seolah-seolah menunjukkan bahwa betapa indahnya saling menghargai dalam keberagaman. Dengan kata lain, ada semacam cerminan moderasi beragama ditunjukkan kepada publik dan bisa mendapatkan kebahagiaan. Agama seakan-akan ingin dinyatakan bukan penghalang manusia untuk menikah.
Sayangnya, yang terlihat adalah sebaliknya. Karena dengan dilakukannya kedua ritual kelahiran anak menunjukkan bahwa kepemimpinan seorang ayah/suami yang notabene seorang Muslim sedang dipertanyakan. Seharusnya, suami/ayah mampu menentukan sikap kokoh dalam mempertahankan aqidahnya dan juga anak-anaknya. Bukan memakai toleransi atas nama cinta. Sebab, baik cinta dan toleransi memiliki rambu-rambu yang harus ditaati.
Apalagi terlihat sampai seorang ayah/suami mengiringi pembabtisan anak semakin menguatkan dugaan bahwa suami/ayah tersebut kemungkinan tidak paham dengan imannya sendiri. Lalu bagaimana akan menyelamatkan iman anak-anaknya kelak?
Islam Mendudukkan Perbedaan Bukan Memaksa Persamaan Aqidah
Peristiwa pasangan selebritis tersebut setidaknya telah memberikan nasehat bagi kaum Muslim yang ada di negeri ini. Terlebih kepada barisan pria. Saat sebelum memutuskan untuk menikahi seseorang, persiapkan amunisi terkuat yaitu aqidah (keimanan). Karena hanya dengan iman, seorang lelaki terlihat gagah dalam kepemimpinananya.
Adanya kehidupan rumah tangga adalah langkah awal untuk melatih sekaligus mengamalkan ilmu kepemimpinan bagi seorang suami/ayah. Saat ia memilih seorang calon isteri, tentu harus dengan pertimbangan yang matang dan sesuai kaidah-kaidah syara‘.
Pernikahan dalam perspektif Islam memiliki aturan yang sempurna dan apik. Mulai dari harus dipenuhuinya syarat dan rukunnnya. Serta dihiasi dengan amalan-amalan sunnah berikut adabnya.
Bagi seorang lelaki Muslim, ia diberikan kebolehan untuk menikahi wanita kafir dari kalangan Yahudi dan Nasrani. Tetapi bagi seorang muslimah, hal tersebut diharamkan. Artinya, pernikahan beda agama dalam Islam juga diatur. Hanya lelaki Muslim yang diperbolehkan menikahi wanita non Muslim dan itupun hanya dari kalangan ahlul kitab bukan perempuan musyrik.
Namun, kemubahan (kebolehan) yang diberikan oleh Islam tidaklah berarti keharusan. Melainkan secara hukum, diakui dalam Islam. Sementara di Indonesia sendiri, pernikahan beda agama masih kontroversi dan tidak jelas. Tidak diterima dalam wilayah pencatatan kantor urusan agama dan sipil secara administrasi kenegaraan, tetapi tidak dilarang dalam prakteknya. Serta tidak ada aturan yang diterapkan seperti tertuang dalam Al-quran.
Seorang lelaki Muslim yang menikahi wanita ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani) harus mampu memiliki ketahanan aqidah yang kokoh. Karena membangun rumah tangga yang berbeda keyakinan tentu saja resikonya akan ditanggung bersama terlebih kepada generasi mereka berikutnya.
Ketika ada dua keyakinan dalam rumah tangga, pasti ada yang akan mendominasi. Dan seharusnya yang mampu mendominasi secara kepemimpinan adalah seorang suami. Saat anak lahir, ia mampu terus mengawasi isterinya tentang pendidikannya. Suami harus membimbing isterinya untuk membesarkan anak-anak mereka menjadi seorang Muslim mengikuti si ayah/suami yang muslim.
Suami harus senantiasa menunjukkan ajaran Islam yang mulia di hadapan isterinya. Memperlakukan isterinya dengan makruf, sehingga menimbulkan rasa ketertarikan dan keinginan bagi isterinya untuk memeluk Islam. Keindahan Islam yang diamalkan oleh suami akan terus memikat isterinya.
Hingga pada akhirnya, istri memutuskan untuk ikut keyakinan suami. Sebab, hal tersebut juga merupakan bagian dari dakwah. Bukankah pernikahan adalah ibadah? Sehingga di dalamnya terdapat banyak peluang meraih pahala dan bekerjasama untuk saling mendukung dan menyelamatkan dari bahaya dan kerusakan hidup dunia-akhirat.
Jika suami mampu melakukannya, maka tidak akan terjadi ritual-ritual ganda yang menimpa anak-anak Muslim. Sebagai wali dari keturunannya dan dari garis nasab yang sah, ada kewajiban yang dituntut kepada suami/ayah untuk membentengi keluarganya dari azab api neraka kelak.
Sungguh, kondisi ideal pernikahan beda keyakinan seperti yang seharusnya terjadi hanya akan bisa diterapkan sempurna jika lingkungan dan negaranya mendukung sepenuhnya. Kehidupan masyarakat dan negara yang teratur, beradab, dan santun terlihat nyata di hadapan mata saat syariat Islam itu diterapkan secara kafah.
Islam yang dijanjikan Allah sebagai rahmat bagi seluruh alam bisa dilihat dan dirasakan langsung oleh mereka yang belum beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.
Sementara doa-doa akan terus menghiasi lisan para pemimpinnya untuk kebaikan umat dan keselamatan negerinya. Begitu juga seorang suami yang shaleh pasti tidak putus upaya dan doanya kepada Sang Maha Kuasa agar isterinya diberi hidayah dan dituntun ke dalam Islam. Karena ia ingin kelak tetap bersama dengan isteri dan anak-anak hingga sampai ke Raudatul Jannah.
Penerapan Islam secara total menyelamatkan generasi kaum Muslim dari tergoresnya fitrah mereka akibat sekulerisme dan segala ide turunannya yang liberal termasuk moderasi yang menyesatkan. Wallahu a’alam bissawab.