RANTAUPRAPAT : Perseteruan antara warga Desa Sei Meranti, kecamatan Torgamba Labuhanbatu Selatan (Labusel), Sumatera Utara dengan pihak PT SBI sudah berlangsung lama. Bahkan, catatan yang ada pada wartawan, warga setempat juga pernah
ditangkap tim Satuan Polhut Reaksi Cepat (SPORC). Aksi itu digelar sekaitan
dugaan terjadinya perambahan hutan tanaman industri (HTI) di kawasan hutan
Desa Bagan Toreh kecamatan serupa.
RL (52), AH (23), dan PS (52) masing-masing diciduk dari kediamanya, Kamis
20 Oktober 2010. Sementara, MN dikabarkan ditangkap petugas ketika mengenderai
sepedamotornya menuju kota Cikampak, Torgamba.
Disebut-sebut, tim SPORC dari Departemen Kehutanan itu, beranggotakan 86
orang personil. Dipersenjatai dengan senjata laras panjang dan beberapa
pucuk senpi lainya. Setelah berhasil menangkap ke ekmpat warga itu, petugas
SPORC selanjutnya membawa warga ke Mapolres Labuhanbatu di kawasan jalan HM
Thamrin Rantauprapat.
Pantauan di Mapolres Labuhanbatu ketika itu, personil SPORC berseragamkan
tim Macan Tutul itu, terlihat melakukan pengawalan sembari menanti
penyidikan para warga yang dilakukan langsung di ruangan Kanit Tipiter.
Salahseorang tim SPORC mengakui jika pihaknya menggelar penangkapan warga.
Dan, beberapa personil lainya masih berada dilokasi. Tapi, dia menolak
memberikan informasi lanjut. “Silahkan tanya ke koordinator lapangan
(korlap),” ujarnya. Sesuai informasi yang diperoleh, korlap tim itu bernama
Amenson Girsang. Komandan Operasi Suharyono dan Wadan Octo Manik.
Seorang warga RL kepada wartawan ketika itu di Mapolres mengatakan
penangkapan itu dilakukan sekaitan dugaan rencana penggusuran warga dari
lokasi HTI. “Mereka mau mengusur warga,” ujarnya.
Karena, tambah RL, mereka dituding tidak memiliki ijin mengusahai lahan dari
Menteri Kehutanan dalam mengelola hutan. Padahal, dahulu, katanya mereka
sudah memohon langsung ke Menhut untuk mengusahai hutan itu. “Sudah kita
urus permohonanya ke Menhut,” ujarnya. Bahkan, sepulang dari Jakarta
tembusan berkas-berkas permohonannya sudah disampaikan ke instansi lainnya.
“Termasuk ke DPRD, Pemkab, Polres dan bahkan sampai ke tingkat Polsek dan
Kepala Desa setempat,” bebernya.
Lahan itu, dinilai warga, katanya sebagai lahan tidur. Dan, warga yang
tergabung dalam kelompok tani Swadaya sudah lama mengusahainya. “Sudah 2
tahun mengusahai lahan itu,” jelasnya. Disebutkannya, setidaknya sekitar
300-an KK warga yang menempati lokasi itu. Bahkan, anggota koptan itu,
berasal dari berbagai daerah. Sementara itu, Kanit tipiter Iptu Herry via
selular kepada wartawan mengakui adanya penangkapan warga. Dan, dia juga
menjelaskan jika hal itu bukan *gawean *pihak Mapolres Labuhanbatu.
Melainkan tugas tim SPORC dari Dephut dan Kanwil Dep Kehutanan. “Polres
Labuhanbatu tidak ada *gawean-*nya. Itu, tim SPORC yang datang dari Jakarta
dan Kanwil,” ujarnya.
Namun, tambahnya, tim yang melakukan penangkapan di wilayah hukum Polres
Labuhanbatu hanya menjadikan Polres sebagai tempat penitipan sementara.
“Kaitan Polres hanya tempat menitip,” tandasnya.
Persoalan Berlarut-larut
Data yang dimiliki, saling klaim di areal Hutan Tanaman
Industri (HTI) sudah berlangsung lama. Bahkan, berbuntut sengketa
antara warga dusun Pintu Gajah I, II dan III Desa Sungai Meranti
Kecamatan Torgamba Labuhanbatu dengan pihak PT Sinar Belantara Indah
(SBI).
Catatan yang ada, tanggal 22 Mei 2008 lalu, warga juga sempat mendatangi
Pemkab Labuhanbatu untuk memastikan kepemilikan hak atas tanah yang
berlokasi di areal hutan itu. Puluhan warga yang tergabung dalam himpunan
petani pintu gajah (HPPG) I, II dan III itu sejak pagi mendatangi kantor
bupati setempat. Dalam orasinya dan tuntutannya, warga mengaharapkan kepada
pihak Pemkab Labuhanbatu untuk dapat menyelesaikan persoalan yang tengah
dialami warga.
Ketika itu, Ketua HPPG Beberapa delegasi warga yang dipimpin H Sitohang
dengan beberapa delegasi warga lainnya diterima Plt sekdakab Labuhanbatu
yang juga ketua Tim Penyelesaian Sengketa Pertanahan Labuhanbatu.
Terungkap, warga HPPG yang berjumlah sekira 1742 kepala keluarga (KK)
mengklaim memiliki areal seluas 6.500 ha luas tanah dari 32.000 ha akumulasi
jumlah luas HTI. Pada lokasi serupa, pihak PT SBI juga memiliki lahan seluas
2.200 ha.
Ironisnya, berdasarkan planologis dari kementerian kehutanan RI di Jakarta
bernomor S.71/Menhut-VI/2008 tertanggal 18 Pebruari 2008 lalu ternyata
selain PT SBI badan usaha swasta lainnya juga diterangkan memiliki lahan di
areal HTI tersebut.
Sampai disini, terungkap persengketaan warga pada areal HTI itu juga
dihadapkan pada persengketaan tanah dengan PT Sumatera Riang Lestari (SRL)
yang sebelumnya bernama PT Sumatera Sinar Plywood Industri (SSPI). Namun,
luas lahan perusahaan itu belum diketahui secara pasti oleh kalangan warga.
Akibatnya, sebagai fasilitator permasalahan, pihak Pemkab Labuhanbatu juga
telah melayangkan surat bernomor 593/1210/TST/2008 pada 28 April 2008 lalu,
perihal penyelesaian permasalahan PT SRL (d/h PT SSPI) dengan kelompok tani
Pintu Gajah Labuhanbatu. Dalam surat itu, disebutkan sebagai fasilitator
permasalahan pihak Pemkab telah melakukan upaya mempertemukan kedua pihak
untuk membicarakan kesepakatan kemitraan yang akan diikat dengan hukum
(MoU). Akan tetapi, dikabarkan hasil kesepakan itu tidak dapat berjalan
semestinya. Sebab, warga menolak secara keras tawaran hubungan secara
kemitraan dan tetap menuntut agar tanah para perserta HPPG agar
dikembalikan.
Hisar Sihotang ketua HPPG mengakui kalau permasalahan sengketa tanah itu
telah berlangsung lama. Yakni sejak keberadaan pihak perusahaan PT SBI.
Padahal, warga yang sejak tahun 1988 lalu telah memiliki tanah itu. Itu,
katanya didasari dengan kepemilikan surat keterangan riwayat tanah (SKRT)
dari pihak aparatur Desa dan Kecamatan setempat. Namun, sejak kehadiran PT
SBI di tahun 1997 lalu, persoalan terus berlanjut hingga belakangan waktu
terakhir.
“Warga telah memiliki tanah itu sejak tahun 1988 lalu. Itu, setelah menerima
SKRT dari pihak kepala desa dan Camat,” bebernya kepada wartawan ketika itu.
Namun, kini tinggal hanya beberapa warga yang memiliki surat sejenis itu.
Sebab, ujar Saelan salah seorang anggota HPPG lainnya yang turut dalam
unjukrasa itu mengakui, kalau SKRT lainnya, sebelumnya telah diambil
salahseorang perangkat desa setempat. Alasannya, untuk memperbaiki dan
memperbaharui surat. “Akan tetapi, dari saat itu hingga kini suratnya tidak
pernah dikembalikan,” bebernya.
Dari luas lahan milik PT SBI, ternyata lebih dari 50 persennya yakni seluas
1.200 ha diduga kuat merupakan milik atas nama salahseorang oknum penting di
Dirjen RLPS Kementerian Kehutanan RI. “Seluas 1200 ha lahan milik PT SBI
diduga adalah milik oknum di kantor kementerian kehutanan RI,” beber H
Sihotang.
Meski demikian, mereka lanjutnya, tidak gentar dan takkan mundur bahkan
merasa optimis tanah mereka tersebut akan kembali kepada warga. “Untuk itu,
kami mengaharapkan kepada pihak Pemerintah agar dapat memfasilitasi
penyelesaiannya. Kami merindukan adanya kebijakan yang pro pada rakyat,”
tegasnya.
Hingga saat ini, katanya lagi, areal lahan yang bersengketa itu telah lama
ditempati warga dan ditanami tanaman kelapa sawit dan karet. Bahkan, warga
bermukim diareal perkebunan yang kini menjadi sumber mata pencaharian
sehari-hari. “Kita sebagai petani menjadikan tanaman perkebunan di tanah
persengketaan itu sebagai sumber mata pencaharian,” jelasnya.
Anehnya, tambahnya lagi, warga yang terhimpun dalam HPPG I, II dan III
bersengketa dengan pihak PT SBI. Akan tetapi, dari keluarnya surat dari
planologi Kementerian Kehutanan yang mengakui kalau areal lahan di sana juga
dimiliki oleh pihak PT SRL, warga kian menaruh kecurigaan akan penyelesaian
sengketa tanah itu. Terlebih lagi, sejarah keberadaan pihak PT SRL yang
konon tidak diketahui warga secara pasti jumlah kepemilikan lahannya.
Bahkan, mereka ujar Sihotang antara pihak PT SRL yang sebelumnya
bernama PT SSPI masih memiliki hubungan manajemen yang erat antara keduanya.
Sehingga, mereka, imbuhnya, menaruh curiga adanya dugaan upaya memonopoli
pemanfaatan lahan HTI disana. “Kami bersengkata dengan PT SBI. Kok, kini
malah melibatkan pihak PT SRL. Serta, apakah keduanya masih memiliki
hubungan jaringan usaha. Kalau dugaan itu betul, maka disinyalir untuk
memanfaatkan lahan itu telah terjadi upaya-upaya monopoli,” tandasnya. (fh)
Sumber : Sumut POs