Oleh: Dewi Soviariani
Ibu dan Pemerhati Umat
Hari ini teknologi maju dengan pesatnya. Berbagai sarana kehidupan tersedia dengan canggih, tentunya harus ditopang oleh sumber energi yang mumpuni juga. Listrik, adalah sumber utama penunjang kemajuan teknologi hari ini. Hampir semua perangkat yang menjadi sarana kemudahan menggunakan sumber energi listrik.
Sayangnya energi listrik yang menjadi kebutuhan penting masyarakat belum bisa diakses secara merata. Masih banyak daerah pelosok yang gelap gulita. Listrik tak dapat menerangi kampung dan desa pedalaman yang minim sarana dan prasarana.
Mirisnya negeri kita melimpah akan cadangan energi, tapi masih banyak daerah yang belum mendapatkan pelayanan listrik. Seperti di daerah Jawa Barat hingga kini masih ada 22.000 KK belum teraliri listrik. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam janji kampanye salah seorang calon gubernurnya, nomor urut 4 Dedi Mulyadi yang menargetkan dalam dua tahun pemerintahannya seluruh warga Jawa Barat akan mendapat aliran listrik (Beritasatu.com. 23/11/2024).
Begitu juga di wilayah lain yang akses infrastrukturnya masih belum memadai. Seperti halnya di Papua, masih ada sekitar 112 desa/kelurahan yang belum teraliri listrik sampai triwulan I 2024. Menurut penuturan Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Jisman P Hutajulu. Tirto.id, Senin (10/6/2024).
Sebaliknya, dari total 83.763 desa/kelurahan berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 100.1.1-6177 tahun 2022 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode, Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau, rasio desa berlistrik sudah sebesar 99,87 persen. Rinciannya, 77.342 desa/kelurahan atau sekitar 92,33 persen mendapat aliran listrik dari PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN.
Pemerintah mengatakan akan melakukan upaya pemerataan aliran listrik di Indonesia dengan menyediakan akses listrik bagi seluruh masyarakat. Beberapa program yang disusun oleh kementerian ESDM misalnya, melalui Ditjen Ketenagalistrikan telah melaksanakan program BPBL selama 2 tahun, dengan realisasi pada tahun 2022 sebanyak 80.183 rumah tangga yang tersebar di 22 provinsi dan pada tahun 2023 sebanyak 131.600 rumah tangga penerima BPBL yang tersebar di 34 provinsi.
Dan beberapa klaim program pemerataan listrik seperti menggunakan pembangkit Energi Baru dan Terbarukan (EBT), Stasiun Pengisian Energi Listrik (SPEL) dan Alat Pengisian Daya Listrik (APDAL) di desa-desa yang memiliki pemukiman tersebar dan tidak memungkinkan untuk dibangun jaringan listrik. Sementara Bantuan Pasang Baru Listrik (BPBL) melalui pengadaan Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (APBN) diperuntukkan bagi rumah tangga tidak mampu yang belum berlistrik.
Sayangnya, hingga kini semua rencana pemerintah tersebut terlihat sulit terealisasi. Mengingat besarnya anggaran yang harus dikeluarkan oleh negara untuk membangun sarana infrastruktur di daerah pedesaan dan pelosok yang kurang diperhatikan. Bahkan fakta yang terlihat tata kelola listrik tidak dilakukan sepenuhnya oleh negara malah diliberalisasi.
Liberalisasi ditandai dengan dominasi swasta dalam mengelola hajat hidup masyarakat. Liberalisasi bidang energi listrik sudah dimulai sejak tahun 2000-an. Pada tahun 1990-an, telah banyak berdiri independent power producer (IPP) melalui perjanjian jual beli listrik atau power purchase agreement (PPA). IPP tersebut mengelola pembangkit listrik dengan menjual sebagian atau seluruh produksi arus listriknya ke PLN. Pada akhirnya, skema kerja sama ini memaksa PLN selaku BUMN membeli listrik kepada IPP sebagai perusahaan pembangkit listrik swasta dengan harga berlipat.
Kebijakan kapitalistik yang hanya berorientasi pada keuntungan semata terlihat jelas. Negara menyerahkan pengelolaan listrik pada swasta dan asing akibatnya listrik menjadi mahal. Korporasi berebut tender menguasai proyek penerangan listrik negara, masyarakat terabaikan dan menderita.
Swasta diberi kebebasan mengelola atau berinvestasi di bidang energi listrik. Akibatnya, PLN selaku BUMN yang berkewajiban mengelola dan mendistribusikan listrik kepada masyarakat memiliki beban berkali lipat, yaitu membeli bahan baku atau tenaga listrik dengan biaya besar, lalu mendistribusikannya dengan segala keterbatasan infrastruktur di wilayah terpencil. Sementara itu, negara tidak menjalankan kewajibannya membangun infrastruktur publik yang memudahkan akses jalan atau pemasangan jaringan listrik pada wilayah yang kondisi geografisnya masih memprihatinkan.
Belum usai permasalahan listrik yang tidak merata, pemerintah malah sibuk mengurus pajak listrik yang dibebankan pada masyarakat, harganya semakin melonjak. Harga listrik semakin hari semakin mahal akhirnya banyak masyarakat yang tak mampu, diputuskan aliran listriknya karena tunggakan pembayaran yang semakin membengkak. Negara tak berempati dan mengabaikan beban yang ditanggung oleh masyarakat.
Kapitalisme melanggengkan para korporasi menguasai listrik negara. Padahal hajat hidup orang banyak ini telah diatur melalui undang-undang harus dikelola sendiri oleh negara tanpa campur tangan pihak lain. Dan harusnya berbiaya murah bahkan gratis. Hal ini sebagaimana tertuang dalam Pasal 33 ayat (2): “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”.
Pasal 33 ayat (3): “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Inilah wajah demokrasi dalam cengkraman kapitalisme, rakyat pelosok tak dapat perhatian, korporasi diberikan ruang yang bebas untuk memalak rakyat melalui peran strategis negara. Negara hanya berperan sebagai regulator saja. Akibatnya penderitaan demi penderitaan terus dipikul oleh rakyat. Sudah saatnya negeri ini berbenah mengelola sumber energi negara dengan adil dan merata.
Lantas role mode seperti apa yang akan diambil jika berbagai kebijakan kapitalisme telah terbukti merugikan masyarakat? Sebagai bangsa mayoritas muslim, sudah sewajarnya jika negeri ini mengadopsi sistem kehidupan Islam dalam menangani berbagai persoalan. Dengan mekanisme terperinci persolan listrik akan diuraikan dengan solusi yang tepat berdasarkan tata kelola Islam.
Dalam Islam, listrik adalah milik umum, harus dikelola negara dan dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk listrik gratis atau murah (mudah dijangkau).
Islam melarang penyerahkan pengelolaannya kepada swasta. Rasulullah ﷺ bersabda, “Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara: padang rumput, air, dan api.”(HR Abu Dawud dan Ahmad). Listrik menghasilkan aliran energi panas (api) yang dapat menyalakan barang elektronik. Dalam hal ini, listrik termasuk kategori “api” yang disebutkan dalam hadis tersebut.
Dalam mengelola layanan listrik ini, negara menyediakan sarana prasarana terbaik sehingga memudahkan rakyat dalam mengaksesnya. Sumber bahan baku untuk pembangkit listrik seperti batubara, gas dan minyak bumi akan dikelola langsung oleh negara, sebab ini merupakan bagian dari tambang yang jumlahnya besar maka tidak boleh dikuasai individu atau swasta yang dapat mengakibatkan kerugian. Pengelolaan listrik tidak boleh melalui pihak lain, semua dikelola secara mandiri oleh negara. Negara adalah pihak yang bertanggung jawab sampainya penerangan listrik ke masyarakat dengan pasokan yang cukup, harga terjangkau, keamanan yang terjamin serta layanan merata sampai ke pelosok.
Selain itu, negara akan membangun sarana dan fasilitas pembangkit listrik yang memadai, setiap daerah baik perkotaan maupun pelosok mendapatkan pelayanan pembangunan infrastruktur yang sama karena semua rakyat berhak atas pelayanan publik tersebut tanpa tembang pilih. Kemudian negara juga mengambil keuntungan pengelolaan sumber energi listrik atau lainnya untuk memenuhi kebutuhan rakyat yang lain, seperti pendidikan, kesehatan, keamanan, sandang, pangan, dan papan.
Dengan mekanisme ini, peran negara terlaksana dengan baik. Masyarakat mendapatkan perhatian secara merata, baik di kota maupun di desa. Pelayanan listrik murah, bahkan bisa gratis mengingat melimpahnya sumber energi di negeri kaya SDA ini. Pengaturan listrik berlandaskan syariat Islam akan menjadikan negara sebagai pengayom urusan rakyat. Listrik terang rakyat tenang. Kemajuan teknologi pun dapat dirasakan oleh semua lapisan masyarakat. Islam solusi tepat permasalahan umat.
Wallahu A’lam Bishawwab