Oleh: Moechtar Nasution
Otak kita belakangan ini disuguhi dengan pemberitaan tentang para balon Bupati Madina yang digadang-gadang akan turut meramaikan pentas demokrasi pemilihan kepala daerah. Perbincangan tentang tagline masing-masing bakal calon ini juga tidak kalah serunya. Pun juga dengan pembahasan tentang kriteria yang semakin mengemuka dikalangan masyarakat. Iya inilah hiruk pikuk dunia demokrasi dengan segala ornamennya. Bisa memuat orang lupa diri dan bisa membuat orang betah berlama-lama dikedai kopi.
Mari lupakan perdebatan tentang ini dan lebih bagus mengupas tentang kesiapan para balon kepala daerah untuk bersikap kesatria dalam menerima hasil akhir perolehan suara pilkada nanti. Ini bukan sesuatu yang baru, akan tetapi hanya pengulangan dari kejadian pilkada demi pilkada sebelumnya. Kenapa ini perlu dibicarakan padahal pilkada sebelumnya juga sudah teramat sering dibahas? Tidak lain untuk menjadi pembelajaran kepada mereka yang hari ini sudah mulai menggalang kekuatan suara masyarakat dan menjadi instropeksi diri kepada mereka yang hari ini dan hari-hari selanjutnya akan memasang baliho/spanduk yang mudah-mudahan nanti tidak sampai merusak keindahan kota.
Bagian manakah yang perlu untuk kita garis bawahi dengan tulisan tebal? Iya ini adalah bagian yang sensitif dan bagian yang bisa menimbulkan eskalasi konflik sampai keakar rumput. Dipastikan sangat dibutuhkan kematangan dan kedewasaan dikarenakan semua calon nanti dituntut untuk bersikap sebagai demokrat sejati yakni menerima kekalahan. Harus tercipta dari sekarang sikap, tingkah laku, dan perbuatan yang ksatria yang bisa menjadi contoh teladan didepan pengikutnya sehingga tidak akan melahirkan letupan-letupan aksi kekerasan sebagai ungkapan dan bentuk kekecewaan terhadap kekalahan.
Jelas sekali ini menyangkut kesiapan lahir batin serta mental dan rohani. Jika kalah bisa menimbulkan luka secara psikologis dan bisa berpotensi merusak tatanan kehidupannya sebagai makhluk pribadi dan juga sosial. Fenomena memprotes keputusan KPU sudah menjadi trend dalam setiap ajang politik. Adagium “Tak ada makan siang yang gratis” dalam politik nampaknya sangat dikedepankan sehingga upaya perlawanan secara hukum dijalankan dengan mengajukan gugatan ke MK yang mengakibatkan masyarakat butuh waktu yang cukup lama untuk bisa melihat kepala daerahnya dilantik secara definitif kendatipun sesungguhnya ini juga merupakan bagian dari proses pendewasaan politik.
Fenomena ini seakan menjadi pembenaran bahwa orang Indonesia masih belum bisa seutuhnya memiliki budaya menerima kekalahan. Kita lebih dominan hanya siap untuk menang dan sama sekali tidak siap menerima kekalahan. Kompetisi politik mulai dari tingkat desa hingga level Presiden menjadi contoh dari fenomena ini.
Teori atribusi mampu melihat sikap dominan setiap orang atau kelompok dalam menyikapi kemenangan maupun kekalahan. Teori yang terkenal dalam kajian psikologi sosial ini melihat orang atau kelompok yang menang cendrung untuk melakukan atribusi internal yakni merasionalisasikan kemenangan tersebut sebagai hasil dari upaya, ikhtiar, usaha, dan kemampuan yang dilakukannya. Mereka lebih melihat kemenangan tersebut sebagai klimaks dari perjuangan sehingga kemudian langsung atau tidak langsung mereka akan memberi pengakuan bahwa merekalah yang terbaik, unggul dan berhasil dibanding dengan orang atau kelompok yang kalah.
Namun sebaliknya, hal yang sama juga dilakukan oleh orang atau kelompok yang kalah. Mereka akan melihat kekalahannya melalui atribusi eksternal yakni mencari celah faktor eksternal yang dianggap merupakan penyumbang terbesar bagi kekalahan yang dialaminya semisal sistim yang dianggap tidak tepat. Yang paling sering dialaskan adalah kecurangan, praktek money politik, kurangnya pengawasan, birokrasi yang berpihak dan sebagainya. Bisa jadi memang hal-hal seperti ini terjadi secara sporadis pada tataran empirisnya seperti contoh kasus pilkada Madina beberapa tahun yang lalu dimana dalam amar keputusannya MK menyatakan terbukti secara massif dan terstruktural melakukan money politik sehingga harus dilaksanakan pemungutan suara ulangan.
Namun sangat memungkinkan juga hal seperti ini diada-adakan untuk tidak menerima kekalahannya dengan bukti yang dicari-cari. Menjadi dalil yang kuat bagi pengikutnya untuk bersikap memberi perlawanan baik secara politik atas kekalahan yang diterima. Jika tidak bisa dikelola dengan baik potensi kerawanan sosial bisa meningkat. Eskalasi konflik menjadi terbuka lebar sehingga melahirkan aksi kekerasan massa. Bukankah sudah banyak contoh didaerah-daerah lain karena ketidaksiapan elit politik menerima kekalahan akhirnya para pendukungnya melakukan tindakan destruktif seperti membakar kantor KPU dan sebagainya.
Menerima kemenangan tidak perlu dibedah secara khusus karena menang dalam pandangan masyarakat diasosiasikan sebagai puncak keberhasilan, kejayaan, kepuasaan dengan segala atribut euforia lainnya sementara kekalahan dipersepsi sebagai sesuatu yang memalukan, kemunduran, dan lain sebagainya. Kalah, dalam konstruksi kultural kita, nyatanya dioposisi-binerkan dengan menang padahal sesungguhnya menang dan kalah merupakan esensi kehidupan manusia yang dinamis. Tokh memang benar tidak ada kawan dan lawan yang abadi. Kita harus bisa meletakkan persoalan menang dan kalah secara rasional dan objektif karena jelas ini berkaitan dengan sifat manusia yang saling membutuhkan sesama.
Zoon Politicon demikian Aristoteles mengatakan. Sarat dengan hubungan yang sifatnya manusiawi. Homo Homoni Socius dan bukan Homo Homoni Lupus (manusia saling memangsa diantara sesama) demikian disebut Thomas Hobbes. Dilihat sebagai hubungan dialogis yang bisa sama-sama berdialektika untuk mencapai kemenangan. Masih sangat memungkinkan untuk bisa berjalan dengan sinergis karena baik yang menang atau kalah sudah tokh sudah sama-sama berupaya mencapai yang terbaik. Bukankah kompetisi sepak bola sering kita saksikan para pemain saling bertukar kaos sebagai tanda persahabatan walaupun memang tidak bisa dinafikan masih jamak ditemukan kekecewaan berlebihan para suporter sehingga melakukan anarkhisme dalam bentuk tindakan kekerasan.
Budaya masyarakat untuk menerima kekalahan memang harus dari sekarang ditransformasikan oleh elit-elit politik keakar rumput sehingga setiap kompetisi apapaun jenisnya diseluruh segmen kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dapat dipandang sebagai kegiatan yang positif sama seperti ajaran agama Islam “berlomba-lombalah kamu dalam berbuat kebaikan”. Penting sekali untuk meredefinisi kembali arti menang dan arti kalah supaya masyarakat jangan melihat perbedaan keduanya secara dikotomi dan parsial.
Perbedaan hendaknya jangan dipertajam tapi diupayakan untuk mencari kesamaannya yakni sama-sama sudah berupaya yang terbaik. Kedua pihak sama-sama menduduki tempat terhormat. Jadi sama sekali tidak ada pihak yang harus dikalahkan walaupun esensinya memang kalah. Tidak ada pihak yang merasa superior dibanding dengan pihak yang kalah. Tidak ada pihak yang merasa paling hebat, paling jago, paling jago strategi dibanding kelompok yang kalah. Pihak yang kalahpun begitu juga jangan menganggap kekalahan yang dialami merupakan suatu proses kesalahan sehingga kemudian mencari kambing hitam dengan justifikasi. Jangan juga menganggap kekalahan itu sebagai kehilangan harga diri, kehilangan kehormatan, dan lain sebagainya. Menang dan kalah harus diterima dengan legowo dan keikhlasan. Mencoba mengambil sikap seperti ini memang berat tapi demi keutuhan masyarakat harus diupayakan.
Inilah makna yang paling subtansial dari pelaksanaan ikrar Pilkada Damai. Kita sangat menginginkan adanya peningkatan kualitas berdemokrasi dengan cara yang sehat dan bertanggungjawab.Para elit politik memiliki peran yang signifikan dalam konteks ini khususnya memadukan dan merekatkan kembali persatuan dan kesatuan masyarakat yang sudah terganggu beberapa bulan selama proses tahapan pilkada dimulai. ”Di sinilah demokrasi kita diuji. Bagaimana setiap kandidat yang jelas sebagai calon pemimpin dites kematangan politik dan demokrasinya. Jika mereka tidak memiliki itu, berarti mereka bukan pemimpin. Buktikan dong jargon siap kalah siap menang yang selalu didengungkan di awal Pilkada," kata Prof. Arbi Sanit, Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UI.
Satu hal yang harus disepakati bahwa ini adalah kompetisi, sekali lagi kompetisi dan bukan konkurensi yang memiliki makna sebagai upaya menjatuhkan, mengalahkan atau menundukkan sebagaimana layaknya perang antara negara. Kemenangan baru bisa diperoleh ketika negara lain berhasil dianeksasi dengan menyerah telak. Tentu saja untuk mencapai itu dibutuhkan segala hal mulai dari kemampuan personil militer yang memadai, sistim pertahanan senjata yang mumpuni, amunisi yang tidak pernah ada habisnya, permainan inteligen dan kontra inteligin, infiltrasi, sabotase, propaganda dan lainnya.
Jika pilkada dianggap merupakan konkurensi maka sangat jelas penghalalan segala cara akan dimainkan untuk mencapai kemenangan. Pembunuhan karakter (character assasionation), fitnah, money politik, propaganda, pembentukan opini publik yang negatif terhadap lawan, dan hal yang menabrak regulasi lainnya akan menjadi strategi pemenangan yang jitu. Kesemua ini nanti akan bermuara kepada konflik.
Sejatinya pilkada adalah ajang untuk mencari pemimpin yang lahir dari penilaian terbaik. Namun sayangnya kompetensi, integritas, kapabilitas, moralitas, dan ornement yang bisa terukur dan terevaluasi tidaklah terlalu berarti dikarenakan pemilihan langsung lebih berorientasi kepada kompetisi mendapatkan dukungan suara. Agak berbeda tapi banyak hal yang sama dengan pemilihan Idol ditelevisi dimana kekuatan fote melalu sms sangat menentukan.
Fenomena ini berbeda tapi memiliki kesamaan juga dengan pelamaran CPNS yang semua orang merasa berhak untuk menduduki kursi-kursi yang diperebutkan dengan kuota terbatas dan demi ambisi itu terkadang banyak orang mempergunakan cara-cara yang sangat merendahkan kemampuan nalar dan otak yakni main uang, sogokan, pelicin dan istilah sejenisnya.
Bukalah kembali surat kabar pada masa Pemilihan anggota legislatif yang memberitakan tentang keterkaitan psikologis dengan pemilu. Menjadi kajian menarik ketika itu, Menteri Sosial Salim Al-Jufri menghimbau seluruh daerah khususnya rumah sakit agar mempersiapkan kamar-kamar yang diperuntukkan bagi caleg yang stress dengan tingkat depresi yang berbeda. Hampir semua rumah sakit besar menyediakan fasilitas ini dan ini bukan untuk yang pertama. Setiap pelaksanaan pemilu maka rumah sakitpun harus mempersiapkan diri untuk menampung para calon-calon legislator yang diindikasikan mengalami gangguan mental dan rohani.
Adanya tekanan internal dan eksternal bisa membuat kondisi kejiwaan caleg ini mengalami pasang surut. Dinamikanya akan semakin tinggi ketika hari H hanya menghitung hari. Semakin tinggi tekanan maka biasanya semakin besar potensi untuk stress. Tingginya ekspektasi terjadi karena keinginan yang begitu mengebu-gebu sehingga menghilangkan nalar dan rasionalitas padahal tempat yang diperebutkan tersebut akan selalu diisi dengan perdebatan nalar dan rasionalitas dalam mencari jalan terbaik guna mensejahterakan masyarakat. Banyak caleg yang begitu percaya diri sehingga tidak lagi memperhitungkan kemampuan, kapabilitas, elektabiltas, kapasitas atau jika disinonimkan ini sama dengan percaya diri yang berlebihan dan mendekati narsis.
Menganggap enteng permasalahan hanya dikarenakan memiliki nilai lebih dari segi keuangan juga turut menciptakan harapan yang berlebihan. Biasanya juga karena menganggap dirinya sudah “menang” sehingga sicaleg ini merubah wujud menjadi orang yang santun, dermawan, mau membantu masyarakat, sering bertandang ke elemen-elemen masyarakat, mengunjungi pengajian, dan sebagainya seolah-olah sudah seperti legislator yang sedang melaksanakan reses. Ketika diumumkan hasil perolehan suara biasanya caleg yang kalah dan memiliki model seperti ini akan langsung “down” karena keterkejutan atau shock menghadapi kenyataan yang tidak seindah dalam bayangan. Jika tidak menang, alamat akan sangat banyak menuai perbedaan pendapat dan permasalahan.
Kasus caleg yang mengalami stress atau gangguan jiwa bisa terjadi karena beberapa hal tetapi biasanya lebih dominan disebabkan karena ketidaksiapan untuk mengganti uang yang sudah terlanjur habis, ketidaksiapan untuk menerima beban hutang, ketidaksiapan untuk tidak menerima diperbincangkan orang lain, ketidaksiapan dengan pandangan masyarakat, ketidaksiapan tidak diperhitungkan diantara sejawat partai, ketidaksiapan untuk kembali kepada kehidupan awal sebelum menjadi caleg dan sebagainya. Ada yang tekanan darahnya meninggi, ada yang tiba-tiba sakit, jantungnya berdetak di luar batas normal atau penyakit fisik lainnya yang disebabkan oleh stress. Kesimpulan semuanya adalah ketidaksiapan untuk kalah.
Yang lebih tidak humanis lagi adanya sikap caleg yang mengusir warga yang tinggal di atas sebidang tanah miliknya dikarenakan warga tidak mencoblos namanya. Ada juga caleg yang mengusir orang dari rumah kontrakan miliknya juga hanya karena berbeda pilihan semata. Inilah fakta dilapangan, maka kita menjadi tidak heran dengan statement Rektor Universitas Islam Negeri Yogyakarta Prof. Dr. Edy Suandi Hamid, M.Ec ketika itu yang mengatakan “Apabila tidak memiliki kesiapan mental yang baik, caleg yang kalah rentan mengalami stres atau depresi berat yang dapat berujung pada gangguan mental,”. Pengalaman pemilu 2009 dan 2014 yang lalu menjadi catatan berharga kepada kita betapa sesungguhnya kita sangat tidak memahami makna demokrasi itu kendati kata demokrasi kerap diumbar kesana-kemari.
Kendatipun masih sangat lama untuk memasuki tahapan-tahapan pilkada namun kesiapan untuk menang dan kalah ini menjadi sangat penting untuk diwacanakan. Harus tercipta pemikiran bahwa yang dikerjakan hari ini adalah berupaya secara sadar untuk berdemokrasi dan berkompetisi dengan cara-cara yang terhormat, bermartabat dan bertanggungjawab. Menyiapkan mental sejak dini untuk menerima kekalahan menjadi vital supaya kemudian nanti tidak menjadi terpukul, terbebani dan shock ketika menerima hasilnya.
Dan jangan lupa bahwa dukungan keluarga amat sangat vital untuk menciptakan mental ini. Diawal pendaftaran ke KPU nanti, dipastikan semua balon sudah memeriksakan kesehatan dengan melampirkan surat sehat jasmani rohani tersebut sebagai salah satu persyaratan. Tentu saja semua calon dalam keadaan prima dan sehat wal afiat. Tapi belum tentu dibulan-bulan berikutnya pasca hasil perolehan suara diketahui.
Sekarang semuanya kita serahkan kepada para mereka apakah mau menerima kekalahan atau tidak? Apakah akan bersikap ksatria atau tidak? Apakah sudah memiliki sikap siap menang atau siap kalah? Yang pastinya sejarah akan mencatat itu semua. Sekali lagi ini adalah upaya bersama dalam rangka meningkatkan kualitas berdemokrasi dinegeri yang kita cintai ini. Selamat memilih sebagaimana masyarakat juga nanti menentukan pilihannya dibilik-bilik suara. Wallahu a’lam bi ash- shawab.
Comments
Komentar Anda