Site icon Mandailing Online

Singkong, Kripik dan Home Industri Madina

kripik sambal di Panyabungan
kripik sambal di Panyabungan

Pelaku industri kripik di Madina sudah lama mengeluh soal bahan baku singkong berkualitas yang makin sulit diperoleh. Krisis bahan baku itu memperburuk perkembangan usaha mereka. Jangankan untuk mengembangkan, bertahan saja sudah syukur.

Ubi kayu asal Madina memiliki cita rasa yang sangat bagus bagi bahan baku kripik. Tetapi, petani di Madina tak banyak menanam ubi kayu. Akibatnya, pelaku industri kripik mau tidak mau harus rela memakai ubi kayu dari Tapanuli Utara meski kripik sebagai produk hilirnya terasa agak pahit. Dan itu tentu melemahkan daya saing kripik Madina dari invasi kripik asal Sumbar.

Mirisnya, sejumlah pelaku industri kripik mapun krupuk sudah mengganti bahan bakunya dari singkong ke tepung lain. Ini amat berresiko! Sebab produk kripik dari Bukit Tinggi, Sumatera Barat akan makin menguasai pasar Madina karena mereka tetap berbahan baku singkong.

Menurut sejumlah pengusaha industri rumah tangga di Panyabungan dan Kotanopan serta Siabu, kripik yang berbahan baku tepung sangat rendah kadar kegurihan dan rasanya dibanding berbahan baku singkong. Produk dari Bukit Tinggi tak akan tersaingi jika kripik Madina bertahan pada bahan baku tepung.

Ini artinya, dayang saing Madina makin rendah, pengusaha akan dibayang-bayangi kemerosotan usaha, berdampak pada pengurangan jumlah tenaga kerja.

Di sisi lain, gairah petani singkong juga menurun akibat menghadapi dilema : Jika petani menseriusi budidaya singkong sebagai usaha primer dengan memperluas areal tanam, maka dilema yang dihadapi adalah rendahnya daya serap pasar Madina saat panen tiba. Makanya petani senantiasa memposisikan tanaman singkong sebagai usaha sekunder bahkan tertier. Ini menyebabkan pasokan singkong di pasaran selalu rendah.

“Jika tanaman singkong dimainkan di areal luas, butuh waktu 2 hingga 4 bulan menuntaskan panennya. Sebab, jika sekali panen, singkong akan membanjiri pasar, berdampak pada menurunnya harga. Kondisi ini menyebabkan petani merugi dari sisi waktu, lalu gairah menurun” demikian rilis KTNA (Kontak tani Nelayan Andalan) Madina.

Menyiasati bahan baku ubi kayu ini, hanya ada dua pilihan. Pertama, pasokan singkong dari luar daerah tetap dipakai dengan catatan cita rasa kripik Madina dibawah kualitas Sumbar.

Kedua, merangsang petani singkong meningkatkan jumlah produksi. Polanya, membuka kran pasar ke luar daerah agar tidak menumpuk di pasar Madina. Misalnya, melakukan kontak dagang dengan pabrik-pabrik tapioca di kawasan Siantar hingga Medan. Tentu, Pemkab Madina diharapkan memainkan peran, bukan saja dari sisi intensifikasi tanaman singkong, tetapi juga menjamin pasar singkong tidak banjir saat panen.

Pilahan kedua lebih logis dimainkan. Berdasar data KTNA Madina, banyak industri berskala menengah di Siantar atau Tebing Tinggi yang kekurangan bahan baku singkong. Ini peluang pasar, karena volume kekurangan itu mencapai sekitar 500 ton per hari. Madina hanya perlu melakukan negosiasi soal komitmen kontiniusitas pasokan bagi mereka dalam rangka mengikat kerjasama.

Tentu keterlibatan pihak secara lintas sektoral menjadi mutlak. Katakan Disperindag menyusun strategi pasar, Dinas Pertanian di sisi intensifikasi. Itu juga belum cukup. Pemkab Madina harus melibatkan pihak KTNA, Kadin atau Hipmi dalam “meja bundar” membahas langkah-langkahnya. Semoga. (Dahlan Batubara)

 

Comments

Komentar Anda

Exit mobile version