“Entahlah, jika temanku tidak pernah memberikanku sebuah al-Qur’an terjemahan, mungkin aku akan tersesat selamanya. Sebab, melalui al-Qur’an inilah aku menemukan setetes hidayah yang aku cari selama ini. Di sini akhirnya aku temukan sebuah kebenaran bahwa Isa bukanlah Tuhan, tapi hanya seorang Nabi.”
Demikian pengakuan Ahmad Beben, laki-laki keturunan Tionghoa yang kemudian masuk Islam setelah membaca al-Qur’an terjemahan pemberian sahabatnya. Kepada Hidayah, laki-laki berkacamata pemilik nama asli Bernard Juniardi ini pun bicara blak-blakan seputar perjalanan hidupnya menjadi seorang Muslim yang penuh lika-liku, termasuk dirinya yang nyaris diusir kedua orangtuanya.
Yesus Hanya Seorang Nabi, Bukan Tuhan
Aku lahir di Jakarta, 11 Juni 1973. Aku tidak memiliki nama Tionghoa karena kedua orang tuaku sudah memberikan nama khas Indonesia sejak lahir yaitu Bernard Juniardi. Nama depanku sekilas agak kebarat-baratan, tetapi aku bangga dengan nama ini. Ada beberapa alasan kenapa kedua orang tuaku tidak memberikan nama Tionghoa, padahal aku murni keturunan Tionghoa.
Pertama, aku lahir pada situasi di mana orang yang memiliki nama Tionghoa harus diganti dengan nama Indonesia atau nama lainny dan juga agar bisa membaur dengna masyarakat. Sehari-hari aku dipanggil Beben. Sejak kecil aku menganut agama Katolik Roma, bukan agama nenek moyang yaitu Tionghoa. Sejak kecil aku pun diberikan bimbingan dan pengetahuan tentang ajaran-ajaran Katolik. Aku diajarkan bahwa Yesus adalah Tuhan, bukan seorang Nabi. Aku juga diajarkan bahwa Yesus telah meninggal dunia sebagai bentuk pengorbanannya kepada umat manusia. Yang lebih mengerikan lagi, aku didoktrin sebuah citra negatif tentang agama Islam yang suka pada kekerasan dan sebagainya. Pada usia 27 tahun, tepatnya tahun 2000 aku sampai pada momen penting keimananku.
Awalnya, seorang sahabat memberikanku sebuah al-Qur’an terjemahan. Bagiku, kitab suci ini tidaklah begitu asing. Karena itu, aku menerimanya dengan lapang dada. Meski begitu, kadang hati kecilku selalu bertanya-tanya, kenapa aku harus menerima pemberian temanku itu padahal aku beragama Katolik.
Mungkin inilah yang dinamakan takdir! Aku lalu membaca al-Qur’an terjemahan tersebut mulai dari surat al-Fatihah, al-Baqarah, al-Imran, al-Nisa dan seterusnya. Aku baca perlahan-lahan penuh konsentrasi. Tidak ada yang mampu menggugah perasaanku saat membacanya. Semuanya sama seperti aku membaca buku-buku lainnya atau saat aku membaca Injil, kitab peganganku sendiri.
Tetapi, keanehan kemudian menghinggap perasaan dan pikiranku tatkala bacaanku sampai pada Surat Maryam. Tidak pernah kusadari, aku menemukan sebuah ayat yang menjelaskan bahwa Yesus bukanlah Tuhan, tapi hanyalah seorang Nabi. Pengetahuan semacam ini jelas saja membredel keyakinanku selama ini yang mengklaim bahwa Isa adalah Tuhan.
Beberapa saat aku tercenung memikirkan ayat tersebut. Benarkah yang ditulis oleh al-Qur’an itu? Apakah yang diajarkan oleh Injil selama ini adalah salah? Sejuta pertanyaan menggelanyut dalam pikiranku kala itu. Aku nyaris tidak bisa tidur memikirkannya. Aku stress berat.
Lalu aku tanyakan mengenai hal ini kepada pendeta dan pastur. Apakah benar Yesus itu adalah Tuhan? Mereka ternyata tidak bisa menjawab. Andai pun mereka menjawab, tetapi alasan-alasan yang mereka kemukakan tetap tidak rasional atau tidak masuk akal. Ironinya, kenapa hal ini baru aku rasakan sekarang setelah membaca al-Qur’an? Kenapa dari dulu aku tidak pernah meragukannya?
Tidak itu saja, aku pun mulai bertanya pada pendeta dan pastur itu mengenai kematian Yesus. Benarkah Yesus itu sudah meninggal? Jika ya, kenapa beberapa ilmuwan saat menggali kuburnya tidak menemukan jasadnya? Mereka pun tidak bisa menjawab. Begitu pula saat aku menanyakan pada mereka mengenai konsep trinitas, mereka tetap tidak bisa menjawab. Mereka sendiri kehilangan akal untuk menjawab kenapa Tuhan itu ada tiga?
Akhirnya aku memutuskan untuk mendalami lebih jauh mengenai al-Qur’an dan Injil. Selama setahun aku mendalami kedua kitab tersebut, akhirnya kutemukan sebuah kesimpulan bahwa apa yang dikatakan al-Qur’an semuanya adalah benar. Satu hal pula yang membuatku yakin pada al-Qur’an adalah bahwa di mana pun aku menemukan al-Qur’an, pasti tidak ada teks atau bacaan yang berbeda satu sama lain. Ini memberikan gambaran padaku bahwa kitab suci ini pasti ada yang menjaganya. Setelah kurenungi lebih dalam, pasti semua ini ada campur tangan Allah yaitu Tuhannya orang Islam. Kepastian mengenai hal ini pun akhirnya kutemukan pada ayat al-Qur’an yang berbunyi, “Sesungguhnya Kami telah menurunkan Peringatan (al-Qur’an) dan Kami pula yang Menjaganya.”
Pada tahun 2001 akhirnya aku putuskan untuk mempelajari agama Islam lebih mendalam. Aku masuk Pesantren Ash-Shiddiqiyah, Cinere, Depok. Aku dibantu oleh orang-orang Departemen Agama di situ. Setelah yakin, pada 1 Ramadhan 1422 H (2002), akhirnya aku memutuskan untuk masuk Islam. Aku mengucap syahadat di Masjid Raya Bambu Apus, Ciputat, Tangerang disaksikan oleh KH. Ato’ Muzar Munawar dan KH. Muhammad Sidiq Umari serta para staf Departemen Agama.
Pada hari pertama Ramadhan itu pula aku mulai berpuasa dan shalat tarawih. Alhamdulillah, sebulan penuh aku bisa menjalankannya. Sebab, sebelum aku masuk Islam dan tinggal di pesantren aku sudah dilatih berpuasa dan zikir dulu oleh pak kiayi. Karena itu, saat aku masuk Islam pada hari pertama bulan Ramadhan, hari itu juga aku bisa menunaikan ibadah puasa sampai sebulan penuh.
Bagaimana reaksi kedua orang ketika mendengar aku masuk Islam? Saat mendengar aku masuk Islam, aku nyaris diusir kedua orang tua dan nenekku. Aku sempat berkelahi dengan bapakku. Untungnya, Allah masih menolongku sehingga mereka akhirnya mengurungkan niat untuk mengusirku. Sebab, meski bagaimana pun aku adalah anak mereka dan salah seorang anggota keluarga mereka.
Kini, namaku sudah berubah menjadi Ahmad Beben. Nama Ahmad sendiri merupakan pemberian KH. Muhammad Sidiq Umari, sedang Beben adalah nama kecilku. Aku ingin melekatkan nama Islam dan nama masa laluku juga. Aku pun menjadi manusia baru. Aku seperti bayi yang baru lahir lagi.
Setelah masuk Islam, di Masjid Raya Bambu Apus itu langsung kutegaskan pada jamaah bahwa aku masuk Islam tidak untuk main-main. Aku ingin mati dalam keadaan Islam. Aku ingin berdakwah menegakkan agama Islam sampai titik darah penghabisan. Bahkan, kalau bisa, aku meninggal di dalam masjid sebagai mujahid, sebagai orang yang sedang berdakwah.
Dua Sisi Mata Uang
Salah satu resiko yang kuterima setelah masuk Islam adalah aku dipecat dari perusahaan tempatku bekerja. Aku dianggap berani melawan pimpinan. Padahal, pada saat itu aku hanya berusaha mengatakan yang sebenarnya. Ceritanya, aku dan teman-temanku berniat shalat Jum’at, tapi dilarang oleh pimpinan. Aku tetap memaksanya. Bahkan, mengompori teman-teman untuk tetap melakukannya.
Usai shalat Jum’at, aku didatangi oleh pimpinan. Ia murka kepadaku. Ia mengomeliku karena dianggap berani melawan kebijakan perusahaan. Tapi, aku bilang padanya bahwa apa yang aku lakukan semata-mata kewajibanku sebagai seorang Muslim. Shalat itu merupakan perintah Tuhan. Hal ini kukatakan padanya secara gamblang. Tetapi, ia terus mengomeliku. Tidak ada kata ampun lagi, aku pun bilang pada pimpinanku itu bahwa ia seorang kafir. Aku lepas kontrol saat itu, karena ia benar-benar tidak menghargai diriku yang seorang Muslim dan juga teman-temanku yang lain. Usai kejadian itu, tiga bulan kemudian aku dipecat.
Tidak itu saja, aku juga dijauhi oleh teman-teman dan keluargaku. Tapi aku pandang hal ini sebagai resiko. Kini, kegiatanku adalah berdakwah dari satu tempat ke tempat yang lain. Aku dakwahkan apa yang bisa kulakukan. Keterbatasan pengetahuanku tentang agama Islam, tidak menyurutkanku untuk berhenti berdakwah. Ini jauh lebih baik dibandingkan tidak sama sekali. Bahkan, aku ingin meninggal di dalam masjid dalam keadaan berdakwah. Aku ikhlas jika seandainya harus mendapatkan ajalku dalam perjalanan dakwah. Justru inilah yang harus kucari yaitu keridhaan Allah SWT. Amien.(majallah hidayah).
Comments
Komentar Anda