Oleh : Josua Desmonda Simanjuntak
Present Master Program in Faculty of Economics and Management,
Department of Agribusiness Bogor Agricultural University, Bogor (Indonesia)
Kementerian Pertanian melalui Menteri Pertanian, Amran Sulaiman megklaim bahwa Indonesia telah kembali berhasil melakukan swasembada beras pada tahun 2017, dimana hal ini terjadi terakhir kali pada tahun 1984. Selain beras, beliau juga mengklaim bahwa komoditas bawang, cabai, dan jagung juga berhasil swasembada. Menariknya lagi, Kementerian Pertanian juga menargetkan swasembada untuk komoditas kedelai, gula, dan bawang putih. Pertanyaan kemudian muncul, apakah swasembada menjadi satu-satunya indikator yang menunjukkan bahwa pertanian suatu negara dikatakan sukses?
Seringnya kata “swasembada” muncul dalam rencana-rencana strategis pemerintah belakangan ini membawa kita dalam suatu stereotype, -pertanian kita berhasil ketika kita mampu memenuhi kebutuhan pangan kita sendiri tanpa tergantung dengan pihak asing-. Padahal, apabila ditinjau dari perspektif ekonomi global saat ini, kata swasembada sudah menjadi hal yang kuno. Mengapa?
Indonesia saat ini terikat dengan berbagai kerjasama perdagangan bebas internasional yang menyebabkan perekonomian kita sangat tergantung dengan negara-negara lain. Akan terdapat kondisi dimana kita harus mengimpor suatu komoditas dari negara lain agar komoditas unggulan kita bisa diekspor ke negara tersebut. Artinya, dalam penentuan komoditas swasembada, perlu memperhatikan keunggulan komparatif dan kompetitif komoditas kita dibanding negara-negara lain. Hal ini yang kurang diperhatikan pemerintah sehingga keliru memilih kedelai sebagai komoditas swasembada.
Program Swasembada Kedelai adalah Keliru
Faktanya, sejak dicanangkannya program swasembada kedelai pada tahun 2015, produksi kedelai Indonesia menurun hingga tahun 2017 (data BPS). Pata tahun 2015, produksi kedelai mencapai 963.000 ton dengan luas panen 614.000 Ha. Sementara tahun 2017, produksi kedelai kita hanya mencapai 539.000 ton dengan luas panen hanya 356.000 Ha. Dengan proyeksi kebutuhan konsumsi nasional kedelai kita mencapai 2,9 juta ton (pusdatin), maka target swasembada kedelai akan sulit terealisasi.
Data yang tersedia saat ini cukup menggambarkan bahwa upaya khusus yang dilakukan pemerintah untuk memaksakan swasembada kedelai adalah kekeliruan besar. Pemerintah melakukan pengorbanan yang cukup besar hanya untuk mencapai swasembada kedelai.
Pertama, melalui upaya khusus (UPSUS), pemerintah berusaha membuka lahan baru untuk menanam kedelai. Artinya, mengingat lahan pertanian kita yang terbatas, maka penambahan luas lahan kedelai akan mengorbankan lahan-lahan produktif komoditas lain yang produktivitas dan nilai komersialnya lebih tinggi.
Kedua, mengingat Kedelai adalah tanaman yang tumbuh di daerah sub-tropis, maka dibutuhkan biaya dan tenaga yang cukup besar agar komoditas ini memiliki produktivitas yang tinggi di daerah tropis, baik untuk penelitian varietas unggul maupun untuk perawatan hingga panen.
Dengan demikian, menanam kedelai bagi petani memiliki opportunity cost yang besar . Artinya, petani akan cenderung memilih komoditas yang lebih mudah diusahakan dengan dengan tingkat resiko yang lebih kecil dan profit yang lebih tinggi. Pada kondisi ini, pemerintah tidak memiliki kekuatan untuk memaksa petani menanam kedelai, kecuali dengan menaikkan harga kedelai dan memberikan subsidi benih dan pupuk. Akibatnya, anggaran yang dibutuhkan pemerintah hanya untuk komoditas kedelai akan semakin membengkak.
Akan tetapi, kekeliruan pemerintah tidak hanya sampai disitu. “Menaikkan harga kedelai melalui Harga Pembelian Pemerintah (HPP) dan memberikan subsidi belum tentu mampu menaikkan produksi kedelai”. Asumsi pemerintah adalah ketika harga dinaikkan melalui HPP serta memberikan subsidi, maka petani akan mau mengusahakan kedelai serta menambah luas area tanam kedelainya sehingga produksi kedelai petani meningkat berakibat pada produksi agregat nasional meningkat. Akan tetapi, asumsi pemerintah tidak mempertimbangkan bahwa perilaku petani kecil di Indonesia kerap kali tidak sesuai dengan asumsi-asumsi fungsi produksi konvensional.
Menaikkan harga melalui HPP dan memberikan subsidi input akan tepat sasaran apabila petani di Indonesia diasumsikan sebagai petani yang selalu berusaha memaksimalkan keuntungan tanpa adanya budget constraint (batasan biaya).
Sementara pada kenyataannya, petani di Indonesia didominasi oleh petani kecil yang akses permodalannya terbatas dan orientasi usahataninya bukan memaksimumkan keuntungan. Tipe petani kita adalah petani risk averse yang semi-subsisten, tipe petani yang cenderung menghindari risiko bisnis dan melakukan usahataninya hanya untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Pada kondisi tersebut, kenaikan harga kedelai dan adanya subsidi input tidak akan selalu direspon oleh petani.
Ditinjau dari teori ekonomi, ketika target produksi kedelai melebihi ambang batas produksi optimum, maka biaya yang akan dikeluarkan oleh petani untuk komoditas tersebut tidak akan bisa memaksimumkan keuntungan yang didapat oleh petani. Akibatnya petani enggan untuk memproduksi kedelai yang dalam jumlah yang besar.
Oleh karena itu, pemerintah perlu mengkaji ulang kebijakan swasembada pada kedelai. Pemerintah boleh saja menargetkan peningkatan produksi pada komoditas kedelai, akan tetapi pemerintah tidak boleh memunculkan egoismenya dengan memaksakan target swasembada yang justru bisa merugikan petani dan pertanian kita.***