Oleh: Nahdoh Fikriyyah Islam
Dosen dan Pengamat Politik
Kasus aksi teror kembali mengguncang negeri. Tidak tanggung-tanggung, aksi teror tersebut beruntun terjadi dalam kurun waktu satu minggu. Aksi pertama yang membuat geger adalah ledakan bom bunuh diri di Makassar. Tepat di samping gereja. Pelakunya tewas dan dikabarkan bahwa petugas menemukan potongan-potongan tubuh korban di lokasi kejadian ledakan berlangsung.
Kasus teror kedua terjadi di kantor Mabes Polri yang ditembak mati oleh aparat setempat. Pelaku dikabarkan menodongkan senjata api ke arah salah satu petugas di dalamnya. Aksi tersebut mendapat serangan balik dari aparat polisi dengan menembak mati di tempat. Pelaku teror di Mabes Polri diberitakan ternyata seorang wanita yang mengenakan cadar.
Mirisnya, dua kejadian aksi teror tersebut hingga kini masih terus diblow-up oleh banyak media dengan menginformasikan aksi tersebut dan keterkaitannya dengan ajaran-ajaran Islam dan kelompok dakwah Islam. Sebut saja FPI, dan JAD . Karena menurut berita, barang bukti yang ditemukan dari pelaku adalah atribut FPI, buku-buku islami, dan lainnya.
Pelaku teror di Mabes Polri mengunggah statusnya di IG yang melarang keluarganya riba hingga menambah dugaan kuat bahwa pelaku adalah seorang muslimah yang taat. Serta yang tidak kalah menggelitik adalah temuan dua surat wasiat kedua pelaku yang memiliki redaksi mendekati sama. Bahkan informasi pengenal dikabarkan juga lengkap ditemukan aparat di TKP. Dengan kata lain, aksi teror kali ini sangat unik, administratif, juga menggelitik. Bahkan bagi nitizen, semua itu sangat janggal.
Terlepas dari semua bukti dan opini miring yang dianggap janggal oleh nitizen, faktanya, terdakwa telah tewas meledak bersama bom, dan satu lagi ditembak mati di Mabes Polri. Bagi terdakwa yang telah tewas dengan bom bunuh diri, tentu tidak bisa dikenai sanksi atas perbuatannya. Dan tidak perlu dibahas hukuman baginya. Namun berbeda dengan terdakwa kedua yang tewas di tangan penegak hukum. Apakah sudah sesuai prosedur atau mekanisme penerapan hukum yang berlaku? Atau malah tindakan tersebut bisa dikatakan arogan?
Tindakan aparat yang melumpuhkan terduga teroris menuai pro-kontra. Seperti dilansir dari wartaekonomi.co.id, Jum’at (02/04/2021), menurut Pakar Hukum Pidana Universitas Indonesia, Indriyanto Seno Adji, mengatakan karena prosedur di obyek vital seperti Mabes Polri, dianggap membahayakan keamanan, tidak perlu tembakan peringatan. Tapi deadly shot (tembak mati). Menurutnya hal ini berlaku universal dan dibenarkan secara hukum.
Masih dari sumber yang sama, menurut pakar hukum Petrus Selestinus berpendapat sama. Teroris di Mabes Polri sangat membahayakan keselamatan, karena menodongkan senjata ke polisi. Tindakan itu katanya bisa membahayakan orang-orang di sekitar Mabes Polri. Sehingga keputusan polisi menembak mati sudah tepat. Ia juga mengatakan, Undang-Undang Kepolisian memberi wewenang kepada polisi bahwa dalam keadaan tertentu polisi dapat bertindak berdasarkan penilaian sendiri. Petrus yakin polisi sudah mempertimbangkan berbagai aspek, sebelum kemudian menembak mati teroris.
Namun berbeda dengan yang disampaikan oleh Waketum PPP Arsul Sani seperti yang dilansir dari detikNews.com, Kamis (01/04/2021), ia mengatakan sistem pengamanan dan deteksi dini di kantor-kantor polisi, termasuk Mabes Polri dan objek-objek vital lainnya, perlu ditingkatkan lagi dan tidak ada pengendoran standar pengamanan. Ia sepakat dengan tindakan tegas terhadap pelaku teror, namun tidak dengan melumpuhkannya hingga mati.
Pertanyaannya adalah, apakah dengan deadly shot bagi teroris akan menyelesaikan masalah hingga ke akarnya? Sudah berapa kali tersangka teroris ditembak mati tanpa melalui proses pengadilan atau hukum yang berlaku? Meskipun ada yang ditangkap seperti kasus bom Bali, tetapi setelah itu sangat jarang terdengar dibawa ke pengadilan lagi. Lalu, apa guna hukum yang ada?
Semua sepakat bahwa aksi teror menjadi musuh bersama. Karena tidak hanya membahayakan pelaku juga memberikan imbas besar bagi sekitarnya. Namun, jika pelaku tidak membunuh dirinya dengan bom dalam arti masih meneror seperti menodongkan senjata saja, seharusnya tidak perlu dilumpuhkan hingga tewas.
Belum lagi jika ternyata yang diduga bukanlah teroris melainkan masyarakat biasa, tetapi langsung ditembak, bagaimana pertanggungjawaban hukum terhadap perilaku demikian? Apakah hukum lumpuh di hadapan penanggulangan terorisme?
Indonesia sebagai negara hukum tentu meyakini adanya mekanisme punishment bagi pelaku kejahatan. Sebab dengan mekanisme dan prosedur yang dijalankan, terlihat dengan nyata oleh masyarakat bahwa hukum masih tegak dan belum mandul.
Sayangnya, fakta tidak selalu menunjukkan demikian. Hanya karena dalil kantor vital, todongan senjata, terdakwa ditembak tepat di jantungnya hingga tewas. Seandainya tersangka pelaku teror tersebut diberikan kesempatan hidup, maka aparat kepolisian akan mendapatkan banyak informasi berharga darinya. Bukan hanya berguna bagi kepolisian, tetapi juga bagi keamanan negara dan rakyat. Sehingga kepolisian mudah bekerja demi keamanan dalam negeri. Bukankah itu tujuan utama memberantas aksi terorisme?
Seorang gadis muda yang berani melakukan aksi nekat tersebut tentu memiliki motif yang kuat hingga ia berani mengambil resiko mati. Harusnya dari tersangka, kepolisian bisa mendapat keterangan siapa yang menyuruhnya, atau apa motifnya? Adakah kelompok yang menggerakkannya? Atau ada penjamin andai ia hidup. Dimana tempat persembunyiannya dan berapa jumlah mereka. Jika sudah mati, bagaimana mendapat informasi yang valid, akurat, dan cepat? Tidakkah rakyat dan pemerintah sangat membutuhkannya? Agar tidak ada lagi aksi- aksi teror yang meresahkan apalagi sampai mengorbankan nyawa.
Jika aparat kepolisian atau petugas yang menangani terorisme terus melumpuhkan mati di tempat, hal tersebut bisa menjadi suatu tanda tanya besar dibenak masyarakat, apakah status negara hukum yang disandang Indonesia telah gagal? Karena sejatinya, hukum positif di Indonesia dimulai dari prosedur praduga tak bersalah, mengumpulkan bukti-bukti kuat, para saksi yang memberatkan hingga diputuskan sebagai tersangka lalu dijatuhi hukuman sesuai UU yang berlaku.
Tetapi perilaku penegak hukum yang kerap menabrak prosedur hukum sudah bukan rahasia lagi. Bahkan menjadi kebiasaan di negeri ini. Hal tersebut karena kurangnya kesadaran terhadap penegakan hukum sebagai simbol kebijaksanaan dan keadilan dalam suatu negara. Seharusnya para aparat penegak hukum mencontohkan cara menangani terdakwa teror sesuai prosedur hukum pidana yang berlaku. Agar bisa ditindak dengan tegas serta melakukan tindakan preventif hingga menyentuh ke akar masalahnya.
Penegakan hukum yang berubah-ubah dan multitafsir juga menjadi penyebab gagalnya suatu negara menegakkan hukum. Sangat berbeda, dengan fakta suatu negara yang menerapkan hukum Islam. Para penguasaa termasuk aparat penegak hukum menyadari betul arti dari mekanisme hukum yang berlaku. Karena peraturan dipahami sebagai pencegah aksi kejahatan dan sekaligus penghapus dosa bagi pelaku. Sehingga tidak ada yang berani menabrak prosedur hukum dengan sewenang-wenang. Kasus kejahatan seperti teror akan dapat diselesaikan ke akar-akarnya sampai memberantas seluruh komponen yang terlibat. Wallahu a’alam bissawab.
Comments
Komentar Anda