Site icon Mandailing Online

THR Bukan Andalan Kesejahteraan

Oleh: Novida Sari, S.Kom
Ketua Majelis Taklim Islam Kaffah Mandailing Natal

 

Pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) tengah menggodok aturan detail mengenai pembayaran tunjangan hari raya atau THR pada tahun ini. Bahkan seiring dengan tren pemulihan industri domestik sebagai dampak pandemi dua tahun terakhir, pembayaran THR harus dilakukan secara penuh. Tidak diperbolehkan bagi para pengusaha untuk membayar THR dengan cara mencicil sebagaimana dua tahun belakangan (ekonomi.bisnis.com, 4 april 2022).

Bahkan kebijakan ini bersifat tegas, tak tanggung-tanggung, kebijakan pembayaran THR telah tertuang dalam Surat Edaran (SE) Nomor M/1/HK.04/IV/2022 tanggal 6 April 2022 tentang Pelaksanaan Pemberian THR Keagamaan Tahun 2022 bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan. Dan akan ada sanksi administratif berupa teguran tertulis, pembatasan kegiatan usaha, penghentian sementara sebagian atau seluruh alat produksi dan pembekuan kegiatan usaha jika pengusaha tidak mengeluarkan THR sesuai dengan Pasal 78 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan.

Kebijakan yang Seolah Menyegarkan

Bagi peradaban yang condong ke Barat, THR adalah salah satu pengobat impian kesejahteraan yang sulit diraih oleh para pekerja/buruh. Karena bagaimanapun, ekonomi kapitalisme senantiasa memberikan besaran gaji yang telah ditakar oleh pihak perusahaan tanpa memperhatikan kesejahteraan pekerja/buruh. Penekanan biaya produksi melalui upah telah menjadi mafhum, karena lebih mudah ditekan dibandingkan dengan modal, tanah, ataupun sumber daya alam.

Dari sini, lahirlah konsep upah besi ala kapitalisme dalam menekan biaya produksi. Sebagaimana besi yang sulit untuk berubah, pengupahan ala kapitalisme juga demikian. Pengupahan pada batas minimum (UMP) sudah ditetapkan sebagai pilihan terbaik. Nilai produksi yang ditekan sedemikian rupa yang berguna untuk kesejahteraan para pengusaha. Namun tidak untuk para pekerja/buruh. Karena pengusaha kebanyakan tidak mau tahu atas kesejahteraan para pekerjanya. Karena konsep upah besi telah dipertimbangkan sedemikian rupa, jika para pekerja ini tidak suka, maka perusahaan masih bisa melirik pada barisan panjang calon pekerja berikutnya yang berminat di perusahaannya.

Keadaan ini bertambah sulit dengan keberadaan negara yang hanya menjadi regulator. Lepas tangannya negara dengan menyerahkan keperluan masyarakat kepada pihak swasta, termasuk penguasaan sumber daya alam sepaket dengan lapangan pekerjaan, yang menjadi hajat hidup orang banyak. Swasta yang mendapatkan lahan basah ini tentu bersandar pada profit semata. Sehingga ketimpangan sosial khususnya di bidang ekonomi kian menganga. Para pekerja/buruh pun menjadi pihak yang dibuntungkan. Kata sejahterapun kian menjadi ilusi.

Di tengah kondisi ini, Pemerintah seolah berbangga dalam menekan perusahaan untuk mengeluarkan THR secara penuh untuk meningkatkan daya beli para pekerja/buruh di hari raya. Lupa akan peranannya sebagai pelindung, penjaga dan pengayomi setiap warga negaranya. Sikap asli yang sebenarnya sudah terang benderang dipertontonkan berulang ke tengah masyarakat. Pengesahan undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja ditengah gelombang protes berbagai kalangan menunjukkan bagaimana manutnya pemerintah pada pihak pengusaha daripada kepentingan rakyat, belum termasuk kasus kartel, minyak goreng dan sebagainya.

Melalui THR, Pemerintah berasumsi pertumbuhan daya beli masyarakat akan meningkat, sehingga mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Namun sayangnya ini hanyalah teori belaka. THR bukanlah solusi kesejahteraan pekerja/buruh. THR hanya solusi tambal sulam atas ketidakberpihakan sistem ekonomi pada pekerja/buruh. THR hanya memberikan sedikit kesempatan untuk sedikit menarik nafas di tengah sulitnya ekonomi dan lapangan pekerjaan. Tidak untuk sisa 11 bulan lainnya di sepanjang tahun. Apalagi di tengah naiknya harga kebutuhan pokok hidup di pasar.

Kesejahteraan dalam Islam

Berkaca secara runut atas permasalahan negeri ini, sistem ekonomi kapitalisme yang menjadi tempat berpijak Pemerintah memimpin inilah akar masalahnya. Pemimpin dan pelindung warga negara hanya menjadi jargon khususnya saat pemilu menyapa. Karena kenyataannya, negara hanya sebagai regulator untuk pengusaha dan rakyat. Hal yang tidak aneh dalam sistem kapitalisme, karena ia berlandaskan pada pemisahan agama dari kehidupan. Tidak ada kaitannya agama dalam pengaturan hidup publik. Sehingga kepemimpinan dan perlindungan Negara sekian jauh, kata sejahterapun sekian sulit untuk diraih.

Islam telah meletakkan fungsi negara sebagai periayah/pengayom setiap urusan masyarakat. Melalui sistem Islam dalam bentuk pemerintahan Kekhilafahan, Khalifah sebagai kepala negara akan menjalankan perannya berdasarkan kepada hukum syara’. Fungsi negara akan dijalankan berdasarkan pada hukum syara’, termasuk dalam sistem ekonominya. Kepemilikan harta akan dikembalikan pada posisinya.

Sumber daya alam yang berlimpah ruah laksana air mengalir akan dikelola oleh negara, bukan swasta. Hasilnya akan dikembalikan dalam bentuk fasilitas umum seperti pendidikan, kesehatan, teknologi, dan fasilitas umum lain yang terasa mahal oleh masyarakat pada hari ini. Sehingga tanpa THR sekalipun, para pekerja/buruh terjamin kesejahteraannya.

Negara akan menindak para pengusaha nakal yang mangkir dalam tanggung jawabnya memenuhi hak para pekerja. Upah yang diberikan harus sepadan dengan manfaat yang disalurkan para pekerja/buruh. Sehingga jika upah pekerja/ buruh belum memenuhi kebutuhan mereka, maka ini menjadi tanggung jawab penguasa. Sehingga kata sejahtera bukanlah sebuah ilusi.

Seperti yang terjadi di masa Khalifah Umar Bin Abdul Aziz, dalam 2 tahun pemerintahannya, tidak ada ditemukan satupun rakyatnya yang berhak menerima zakat. Khalifah menjalankan tanggung jawabnya berlandaskan pada ketakwaan, dengan mengikatkan diri pada hukum syara’, karena sesungguhnya Islam adalah sistem paripurna yang mengatur semua aspek kehidupan.

Seabad sudah usia kapitalisme memimpin dunia, semakin menunjukkan kegagalan demi kegagalannya dalam mewujudkan kesejahteraan pada pekerja dan masyarakat. Sudah saatnya sistem ekonomi kapitalisme diganti dengan sistem Islam. Sistem yang bersumber dari Allah SWT dzat yang mahabenar. Wallahu a’lam bishsawab

Comments

Komentar Anda

Exit mobile version