PANYABUNGAN (Mandailing Online) – Pimpinan Tyimpanum Novem Film’s, Askolani Nasution akhirnya angkat bicara menyikapi pembentukan Asosiasi Produser Tabagsel (APTA) yang terbentuk pekan lalu di Panyabungan.
Dikatakannya, Tympanum dengan tegas tidak akan ikut masuk ke organisasi APTA tersebut karena organisasi ini tidak sesuai dengan desain dan falsafah perjuangan Tympanum. Meski begitu Askolani tetap menghargai orang untuk berkumpul dan berorganisasi.
Bagi Tympanum, persoalan seni budaya Mandailing bukan hanya masalah produser dan pembajakan. Jauh lebih penting masalah pakem budayanya, hak-hak seniman, royalti atas karya, penguatan identitas budaya, profesionalisme dan lain-lain, bukan persoalan bagaimana produser meraih keuntungan.
“Dan Tympanum Novem bukan lembaga murahan yang bisa diajak-ajak, diklaim, atau dijustifikasi untuk tujuan-tujuan tertentu yang tidak sesuai dengan desain dan falsafah perjuangannya. Karena itu, Tympanum tidak akan pernah menjadi domain apalagi menjadi subordinasi dari organisasi tertentu,” tegasnya, Jum’at (31/1/2014).
Tympanum hanya menginginkan sebuah organisasi bersama yang menguatkan media musik dan film dan organ perjuangan penguatan entitas Mandailing sebagai sebuah bangsa. Sisi bisnisnya nomor dua.
“Kita ingin dikumpulkan semua stackholder seniman musik dan film, kita seminarkan konsepnya dulu, undang pembicara yang menguasai persoalan sejarah, norma, filosofi adat, budayawan. Kita sepakati pakemnya, baru kita rumuskan konsep dan strateginya. Itu yang kemudian dituangkan dalam program kerja organisasi. Jadi bukan kumpul-kumpul produser saja, lalu membentuk pengurus. Yang lain tinggal gabung,” imbuhnya.
“Berembuk untuk membuat pakem musik dan film daerah, mulai dari ornamen, arrasemen, genre musik, kostum penyanyi, dan lain-lain, sehinga ditemukan satu pakem musik daerah yang berkarakter Mandailing, seperti musik-musik daerah Minang, Jawa, dan lain-lain,” lanjut Askolani yang juga sutradara ini.
“Dan musik Mandailing itu seperti apa sih? Apa bedanya dengan dangdut nasional? Tidak ada kan! Dan mana panggung budaya yang disediakan untuk kita para pekerja seni? Tidak ada. Karena seniman dianggap sampah,” katanya.
Di sisi lain, Askolani juga mengaitkannya dengan aturan tentang hak-hak seniman, royalti atas karya. Aspek ini juga harus menjadi perjuaangan organisasi.
“Kasihan, banyak penyanyi daerah yang lagunya diputar saban hari, tapi hidupnya tetap tidak sejahtera. Ali Asrun, Mariati, Parlin Lubis, berapa royalti yang mereka terima dari eksploitasi atas lagu-lagu mereka? Harusnya kita fair!,” tegasnya.
Organisasi APTA itu harus lebih luas. Mulai dari kaidah organisasinya, etikanya, program kerja yang bisa memberi harapan kepada seniman budayawan, posisi tawarnya sehingga pemerintah menaruh hormat atas perkumpulan ini, konsep pembangunan tahun ini-lima tahun ke depan dan seterusnya. Dan perjuangan pembangunan Taman Budaya, upaya bagaimana pelajaran budaya masuk dalam kurikulum daerah.
“Yang kita inginkan adalah sebuah organisasi yang bisa menjadi katalisaor revolusi budaya, sebagaimana Cina mengubah negaranya menjadi bangsa yang maju,” pungkasnya.
Editor : Dahlan Batubara
Comments
Komentar Anda