Site icon Mandailing Online

Tympanum Garap Film “Lilu”


SIABU (Mandailing Online) – Kemajuan sinematografi di Mandailing Natal, Sumatera Utara terus berkibar. Ini tak terlepas dari para sineas Mandailing yang kian banyak melahirkan karya-karya meramaikan kancah perfilman di tanah air.

Setelah meraih rangkaian sukses memproduksi films berbasis Mandailing “Biola Na Mabugang”, “Biola Na Mabugang II- Tias Ni Bugang”, lalu “Tias Part II”, Tympanum Novem Films kembali menggarap film baru berjudul “Lilu”.

Berbeda dengan film-film terdahulu, “Lilu” ini bergenre anak-anak. “Kita ingin sebuah tontonan bagi anak-anak yang selain berdimensi kearifan lokal, juga bermuatan pendidikan, pencerahan budaya, dan menumbuhkan kecintaan terhadap ilmu pengetahuan,” kata sutradara Askolani Nasution, Minggu (21/10).

Sinopsis “Lilu” tentang tokoh Sangkot, Laung, Gundur, Bibun, Munir, Melati, dan Bunga sebagai teman sepermainan. Ketika mandi-mandi di sungai, mereka tertarik melihat sebilah bambu yang hanyut di sungai, yang ternyata berisi peta harta karun.

Peta itu ternyata jatuh dari kawanan pencari harta karun. Sangkot dan kawan-kawan lalu mengikuti jejak peta itu dan terperangkap dalam petualangan hutan yang seru. Bersamaan dengan itu, sekelompok pencari harta karun menemukan tokoh Melati. Melati lalu disekap untuk memancing kawan-kawannya mengembalikan peta tersebut. Tapi begitu tahu tempat penyekapan Melati, Sangkot segera merancang pembebasannya dengan cerdik.

Film ini, selain mendeskripsikan petualangan hutan dengan berbagai tantangannya, juga menonjolkan berbagai kecerdikan survival di hutan dengan mengandalkan teori-teori pelajaran IPA di sekolah dasar.
Misalnya, menghidupkan api tanpa pemantik, merebus tanpa wadah, listrik DC berbahan ubi kayu, teori-teori pegas, tumbukan, pertumbuhan lumut, gaya berat, kalor, dan lain-lain. Dengan begitu IPA bukan hanya sekedar rumus dan konsep, tetapi bisa menjadi aktual dalam kehidupan sekitar manusia.

Tentang pemilihan tema anak-anak, menurut Askolani, karena sampai hari ini belum ada film tentang dunia anak-anak berkarakter Mandailing. Memang ada film nasional berdimensi anak-anak, Petualangan Sherina misalnya, Ambilkan Bulan, dan lain-lain. Tapi itu juga sudah lama sekali. Apalagi film-film tersebut juga bukan berkarakter Mandailing.

Televisi memang banyak memuat film kartun untuk anak-anak, tetapi materi ceritanya amat membuat miris karena sama sekali tidak menumbuhkan kearifan lokal, lanjutnya. Lebih parahnya lagi, banyak film-film tersebut yang berbau menyesatkan karena menampilkan tokoh-tokoh binatang yang dalam konteks Mandailing sangat tidak nyaman dilihat. Dan itu yang tiap hari ditonton anak-anak kita.

Apalagi, menurut penelitian, rata-rata anak menghabiskan delapan jam setiap harinya di depan televisi. “Ini tidak bisa dibiarkan, karena itu Tympanum menawarkan pilihan yang lebih arif,” kata Askolani di sela-sela pengambilan gambar hari Minggu (21/10) lalu.

Diperankan oleh enam orang anak-anak: Nanda, Reza, Nanda, Rifky, Gundur, dan Nona yang mampu memperlihatkan adegan-adegan yang ekspresif. Seperti biasa, Tim Tympanum berbagi tugas. Cerita/Sutradara: Askolani; Kamera/Editor: Ahmad Syukri; Artistik/Cinematografi: Ali Fikri; Casting/Fotografi: Erwin Tampas, dan Lighting/Properti: Fadhli Husein.

Pengambilan gambar sepenuhnya dilakukan di sekitar Kecamatan Bukit Malintang dan Kecamatan Siabu. Tentang pemilihan lokasi ini, Askolani mengatakan, “Setting yang kita butuhkan hutan dengan berbagai kekayaan floranya. Karena itu, kita tak perlu lokasi yang jauh. Apalagi para pemainnya anak sekolah, kita mengambil gambar setelah pulang sekolah.”
Harus diakui, tahun ini memang mendadak ada daya tarik yang luas terhadap budaya Mandailing, suatu hal yang nyaris tidak ditemukan selama beberapa dasawarsa terakhir. Dulu tak ada produser yang mau produk yang berbahasa Mandailing.

Sekarang malah sebaliknya, semua berlomba mengatasnamakan Mandailing, sekalipun isinya sama sekali tak menggambarkan karakteristik Mandailing. Ini sepatutnya menjadi hal yang patut disikapi secara bijak. Kalau momen ini tak dimanfaatkan, ke depan karakteristik Mandailing ini akan lenyap, kata Askolani. Lihat saja lagu-lagu Mandailing, pilihan kata dan gambar yang disuguhkan amat tidak menggambarkan Mandailing lagi. Seharusnya kita miris melihat ini.(lik)

Comments

Komentar Anda

Exit mobile version