Oleh: Edi Nasution
Orang Mandailing menyebut musik tradisional mereka dengan ungkapan “uninguningan di ompunta na parjolo sundut i”. Artinya, seni musik dari para leluhur, yang diwariskan secara turun-temurun. Tradisi musik yang cukup terkenal dari Mandailing adalah seni pertunjukan gordang sambilan dan gondang boru (*1 yang dimainkan pada berbagai upacara adat dan ritual.
Pada horja siriaon (*2 (upacara adat perkawinan) dan horja siluluton (upacara adat kematian juga disebut mambulungi), selain gordang sambilan, biasanya gondang boru juga dimainkan untuk mengiringi tortor (tarian adat). Dalam upacara adat ini, pihak-pihak yang menarikan tarian adat tortor antara lain adalah kelompok kekerabatan mora, kahanggi (suhut)(*3 dan anak boru. Karena itulah tortor yang ditarikan oleh kelompok-keleompok kekerabatan itu dinamakan tortor mora, tortor suhut dan tortor anak boru.
Selain itu, dalam setiap horja biasanya kalangan raja-raja juga menarikan tarian adat tortor, sehingga tortor tersebut dinamakan tortor rajaraja, dan tortor yang ditarikan oleh kalangan muda-mudi disebut tortor na poso na uli bulung.
Di masa lalu, gordang sambilan dimainkan ketika suatu huta atau banua sedang mengalami bencana seperti merebaknya wabah penyakit menular. Upacara ritual ini dinamakan paturun sibaso atau pasusur begu. Melalui perantaraan seorang medium (tokoh shaman) yang disebut sibaso, seorang datu (tokoh supranatural sebagai pemimpinan ritus tersebut) melakukan komunikasi dengan sibaso untuk mengetahui penyebab bencana sekaligus solusinya. Selain itu, gordang sambilan atau gordang tano (*4 juga dimainkan untuk meminta hujan turun ketika terjadi kekeringan yang cukup parah, dengan maksud agar aktivitas pertanian dan kehidupan masyarakat dapat pulih kembali.
Ensambel gordang sambilan terdiri dari sembilan buah gendang besar dengan ukuran yang relatif cukup besar dan panjang (drum chime) yang dibuat dari kayu ingul dan dimainkan oleh empat orang. Ukuran dan panjang dari kesembilan gendang tersebut bertingkat mulai dari yang paling kecil sampai kepada yang paling besar. Tabung resonator dibuat dengan cara melobangi kayu, dan salah satu ujung lobangnya (bagian kepalanya) ditutup dengan membran yang terbuat dari kulit lembu kering (disebut jangat) yang diregangkan dengan rotan sekaligus sebagai alat pengikatnya.
Kesembilan gendang tersebut mempunyai nama sendiri yang tidak sama di semua tempat di Mandailing. Di Gunungtua-Muarasoro, nama gendang secara berurutan dari yang paling kecil sampai kepada yang paling besar bernama: eneng-eneng, udong-kudong, paniga dan jangat.
Selain itu, ada pula sejumlah peralatan musik metalofon yang dinamakan: ogung jantan dan ogung boru-boru yang dimainkan oleh satu orang; mongmongan (tiga buah gong kecil) yang dimainkan satu orang; doal (satu buah gong yang lebih besar sedikit dari mongmongan) yang dimainkan satu orang; dan talisasayat (simbal) yang dimainkan oleh satu orang; serta sebuah alat musik tiup dimainkan satu orang yang disebut saleot atau sarune.
Gondang (repertoar lagu) yang dimainkan dengan ensambel gordang sambilan ini antara lain: sabe-sabe, horja, sampuara batu magulang, roba na mosok, aek magodang, mamele begu dan sarama babiat.(*5
Sedangkan ensambel gondang boru terdiri dari dua buah gendang dua sisi berbentuk barrel yang masing-masing dimainkan oleh satu orang. Ensembel gondang boru juga dilengkap dengan berbagai alat musik metalofon dan aerofon seperti yang ada pada ensambel gordang sambilan. Meskipun ensambel gondang boru biasanya hanya dipergunakan untuk mengiringi tarian adat tortor, akan tetapi gondang (repertoar lagu) yang dimainkan dengan ensambel gordang sambilan dapat pula dimainkan dengan ensambel godang boru.
Di beberapa sopo (dangau) baik di sawah maupun di ladang petani dapat dijumpai sebuah alat musik yang terbuat dari seruas bambu yang disebut etek. Alat musik ini, pada bagian bawahnya dilobangi untuk resonansi suara dan pada salah satu bagian ujungnya diarit untuk membuang bagian dalamnya sehingga membentuk huruf “U”.
Etek dimainkan oleh satu orang dengan memakai dua buah stik dari kayu. Di samping dapat digunakan untuk menghalau berbagai macam hama tanaman seperti burung dan kera, Etek juga digunakan sebagai sarana untuk melatih pola-pola ritmik yang biasa dimainkan pada gordang sambilan. Oleh sebab itulah ada satu ungkapan “etek do mulo ni gondang”, yang artinya etek lah asal mula dari gondang. Sedangkan untuk melatih pola-pola ritmik yang dimainkan pada gondang boru, alat musik yang digunakan adalah gondang bulu.
Alat musik ini terbuat dari seruas bamboo yang pada bagian bawahnya sembilunya dibuang dan disayat lebar untuk resonansi suara, dan sembilu pada bagian atasnya dicungkil untuk membuat senar sebanyak tiga buah yang diregangkan dengan pasakpasak (potongan-potongan kayu). Alat musik ini dimainkan oleh satu orang dengan memakai satu buah stik yang terbuat dari sepotong bambu.
Selain kedua alat musik tersebut, di sopo tersebut adakalanya seseorang juga menyembunyikan berbagai alat musik tiup agar tidak diambil orang lain, seperti suling, salung, sordam, katoid dan tulila.
Ketika musim tanam padi tiba, para petani ada yang membuat sebuah alat musikal yang dinamakan gondang aek (kincir air) yang dapat berfungsi sebagai alat pengontrol debit air sawah agar padi yang baru ditanam dapat tumbuh dengan baik. Dan ketika musim panen panen tiba, seringkali didengar bunyi alat musik tiup yang disebut uyup-uyup durame atau olanglio yang terbuat dari puput batang padi.
Baik di areal sawah maupun di ladang dapat ditemukan kolam ikan milik petani yang disebut tobat. Jenis ikan yang dipelihara di dalam tobat antara lain ihan mas, kalu, mujair dan siroken. Di tobat ini biasanya ditanam secara tersembunyi sebuah alat musikal yang terbuat dari bambu yang disebut dongung-dongung.
Alat musikal ini dapat berfungsi sebagai pengontrol debit air tobat. Apabila debit air tobat semakin berkurang, secara otomatis dongung-dongung tersebut mengeluarkan suara terdengung yang cukup keras dan lama, sehingga si pemilik tobat dapat mendengar dan mengetahui bahwa debit air kolam ikannya mengalami gangguan yang dapat berdampak pada kehidupan ikan peliharaannya.
Pada waktu siang hari biasanya suasana huta terasa sepi dan lengang karena warga huta umumnya pergi bekerja di sawah ataupun di ladang masing-masing. Begitupun, tetap ada orang yang tinggal di huta seperti orang-orang yang sudah cukup tua dan beberapa anak gadis yang mengasuh adik-adiknya yang masih kecil-kecil. Tidak jarang, di siang hari yang lengang itu terdengar suara musikal yang dimainkan oleh seorang anak gadis. (bersambung)
Comments
Komentar Anda