Site icon Mandailing Online

Usia dan Syarat Pejabat Politik

Oleh: Dr.M. Daud Batubara, MSi

Namanya Bangsa Mandailing, yang sejak dulu memang dikenal kritis terhadap penyelenggaraan negara. Jiwa kritis ini menunjukkan pula gambaran mereka peduli terhadap gejala-gejala sosial. Saat komunikasi dengan dunia luar di masa lalu, masih dengan “pengelana” (orang pembawa berita atau cerita) bangsa ini juga sudah kepo dengan dunia luar, tentu pokok bahasan juga masih seluas informasi yang diberi “si pengelana” di masa-masa kerajaan.

Kemajuan teknologi, kemudian merubah sarana informasi secara bertahap dengan adanya buku, surat kabar, majalah, kemudian munculnya sarana elektronik berupa radio transistor. Kemudian lebih baik lagi setelah adanya televisi. Kini informasi sudah didominasi aplikasi berbasis internet dengan sangat handal sampai ke pelosok dunia.

Dengan telepon genggam, Bangsa Mandailing pun semakin gencar mengikuti perkembangan fenomena sosial yang tidak saja berlokus huta di Mandailing, tapi juga sudah menjelajah ke pemikiran fenomena sosial nasional bahkan selebar dunia seperti kondisi fenomena sosial yang terjadi di Palestina saat ini.

Munculnya fenomena proses politik pengusungan pasangan Bakal Calon Presiden dan Wakil Presiden RI Bacapreswa) yang menyita perhatian banyak eleman di nusantara, juga menjadi perhatian bagi orang di Mandailing. Saat ini, sangat fenomenal masalah gugat-menggugat oleh pihak-pihak tertentu ke Mahkamah Kontitusi. Objek utamanya adalah batas usia calon presiden, baik usia minimal maupun usia maksimal.

Sekarang lokus itu menjadi objek baru pula karena adanya persepsi putusan tentang usia calon presiden dianggap cacat dan juga adanya praduga bahwa putusan tersebut terpengaruh kolusi dan nepotisme antara lembaga yang mengadili dengan orang tertentu, sehingga memicu pula sangkaan publik sebagai kepentingan pihak tertentu.
Hal ini boleh menjadi kajian serius secara akademis, ketika basis pertimbangan gugatan usia ini  didasarkan pada harapan hidup rakyat di nusantara yang semakin baik, demikian pula dengan kualitas pendidikan yang semakin baik. Sayangnya, munculnya fenomena ini bertepatan dengan proses politik pengusungan pasangan bacapreswa.

Kondisi politik praktis dalam hal bacapreswa kemudian telah memicu persepsi yang seakan adanya kepentingan untuk membuka ruang bagi kandidat tertentu dan di sisi lainnya keinginan untuk menjegal kandidat lainnya. Semakin kuat persepsi masyarakat ketika munculnya sebutan keinginan membangun dinasti kekuasaan, juga pengaduan ke KPK oleh pihak-pihak tertentu karena dianggap adanya kolusi dan nepotisme pada proses gugat-mengugat tersebut.

Bagi orang Mandailing di lopo, melihat sisi lain dari proses persyaratan ini. Pemahaman masyarakat terhadap syarat calon DPRD dan Kepala Daerah konon juga harus menjadi perhatian. Bagaimana tidak ?, ternyata bakal calon-calon pemimpin daerah dan para bakal calon pengambil kebijakan di daerah, rasanya jauh lebih membutuhkan perubahan dengan peningkatan kualitas persyaratan sehingga kedua lembaga ini lebih berkontribusi pada rakyat.

Mungkin masyarakat melihat lokus ini sebagai area yang langsung bersentuhan dengan kehidupan di daerahnya, sehingga lebih menarik untuk membincangkannya. Beberapa konsep yang muncul tentang persyaratan pada calon kepala daerah adalah:

Persyaratan Pendidikan; harus menyesuaikan dengan kondisi pendidikan saat ini. Ketika sarjana di tingkat pedesaan saja sudah banyak, setidaknya prioritas untuk mengedepankan pendidikan harus menjadi syarat yang sangat menentukan. Kalau hal ini terus diabaikan tentu kualitas produk dari para calon DPRD dan calon kepala daerah akan menghasilkan kebijakan yang cenderung sesuai dengan kualitas pendidikannya.

Boleh menjadi pembanding bahwa, jangankan menjadi kepala sekolah, untuk menjadi tenaga pendidik sekolah dasar yang akan mengurusi satu kelas (30 orang) saja, sudah dipersyaratkan pendidikan setingkat sarjana. Karena di sana ada proses yang harus berdasarkan ilmu untuk melakukannya. Bagaimana bila yang akan dipimpin dengan kebijakan untuk satu wilayah dalam heterogenitas dan kebutuhan hajat hidup orang banyak, kemudian dipimpin oleh orang yang mengabaikan pendidikan. Lebih lanjut bagaimana pula pendapat generasi selanjutnya terhadap nilai pentingnya pendidikan.

Persyaratan usia; di masa lalu membutuhkan perjalanan hidup yang lebih panjang, baru dapat dikategorikan usia matang. Artinya pengalaman panjang sebelum menjadi pemimpin sangat dibutuhkan sebagai penyeimbang pendidikan. Pengkriteriaan yang demikian sah-sah saja karena dahulu saat jelang dan masa kemerdekaan tahun 1945 (saat rancangan naskah UUD dipersiapkan), dominasi pendidikan di nusantara relatif rendah bahkan banyak yang belum mampu baca tulis. Dengan demikian, penting artinya pengalaman panjang untuk pematangan seseorang sebagai bentuk antisipasi dengan  konsekwensinya menuntut usia menjadi lebih tua.

Sedang saat ini, dominasi sarjana sudah merambah sampai ke pedesaan. Ini memberi sinyal yang kuat bahwa syarat pendidikan untuk legislatif maupun kepala daerah harus sudah dipertimbangkan kembali. Dengan pendidikan yang berjenjang akan mempercepat orang menjadi dewasa dalam artian non-fisik. Jadi dengan kondisi pendidikan saat ini mungkin tepat pula untuk memikirkan perubahan persyaratan usia menjadi lebih muda.

Masih dalam hal usia, bila ditinjau dari usia harapan hidup bangsa yang semakin membaik, yang oleh pemerintah telah mengaplikasikannya pada kenaikan masa usia pensiun pegawai, merupakan indikator perlunya peninjauan untuk memberi kesempatan batas usia yang lebih tinggi pada persyaratan batas akhir para calon pejabat politk.

Lepas dari syarat usia dan pendidikan sebelumnya, masih ada hal yang sangat penting pada kajian syarat bagi calon pejabat politik. Sangat setuju bila semua orang mempunyai kesempatan yang sama dalam kancah politik. Tetapi, bukan berarti dengan serta merta pula bahwa tiap orang dapat menjadi calon pejabat politik, baik untuk calon legislatif maupun calon eksekutif. Layaknya harus memiliki pengetahuan atau skill yang dibutuhkan untuk jabatan tersebut.
Sebut saja untuk calon kepala daerah di kabuaten/kota, membutuhkan keterampilan dalam penataan berbagai hal dalam kepemimpinannya. Sebagai bandingan dalam birokrasi di daerah untuk menjabat sekda saja yang menjadi bawahan kepala daerah, sudah harus pernah minimal dua kali menduduki jabatan esselon dua, persyaratan pangkat dan pendidikan yang diperuntukkan untuk jabatan tersebut. Tentu untuk duduk sebagai kepala daerah dari ASN seharusnya memiliki kriteria tertentu, karena ia akan memimpin daerah dan megkoordinasikan TNI dan Polri serta unsur lainnya dengan pangkat setingkat melati dua di pundaknya.
Dengan demikian syarat jadi kepala daerah dari TNI dan Polri setidaknya pernah mendudukuki posisi di bawah jabatan melati dua tersebut. Bagi calon yang berasal dari dunia politik setidaknya pernah menjadi ketua partai di kabupaten/kota atau pernah menjadi anggota dewan. Sehingga baik koordinasi dan keputusan yang diambil untuk rakyat jauh lebih terukur.

Lantas bagaimana bagi yang berminat dari non-pemerintah seperti ekonom. Tentu sebagai pengusaha dapat dipersyaratkan dari jumlah dana yang pernah dikelolanya di perusahaan yang dipimpinnya dibanding dengan besaran APBD. Umpamanya, 2/3 dari jumlah besaran APBD tahun sebelumnya sebagai syarat.

Demikian pula saat menjadi calon legislatif harus memiliki syarat pengkaderan yang sesuai aturan kaderisasi yang baik dan benar, dengan demikian para caleg telah melewati rangkaian kesiapan diri untuk dapat masuk menjadi calon.
Harapannya, dengan seperti ini money politic mulai terkikis, karena tidak lagi semua orang dengan mudah dan serta merta dapat menjadi calon pejabat politik untuk calon legislatif maupun calon eksekutif. Ambisi pada kekuasan karena keberadaan uang akan terbatasi, ketika syarat untuk duduk di jabatan politis mengacu pada tuntutan kualitas yang mumpuni dan terukur sebagai syarat.

Namun konsep kebijakan akan kembali kepada para politikus yang menerbitkan aturan. Secara logika tentu akan ada untung rugi dalam perhitungan orang-orang yang ada dalam lembaga tersebut. Inilah masalah utama yang sulit diterobos ketika berhubungan dengan kepentingan.

Penulis adalah Staf Ahli Bupati Mandailing Natal Bidang Pemerintahan dan Hukum

Comments

Komentar Anda

Exit mobile version