PANYABUNGAN (Mandailing Online) – Indonesia pada perspektif terkini dihinggapi tiga penyakit yang mendasar. Yakni penyakit transaksional, oligarki dan feodalisme. Dan ini berimplikasi negatif kepada seluruh provinsi.
Dan sebanyak 296 bupati/walikota dari 500 lebih bupati dan walikota di seluruh Indonesia dipenjara karena persoalan hukum akibat budaya transaksional.
Demikian dinyatakan Direktur Eksekutif Indonesia Constitutional Watch yang juga calon angota DPR RI, Razman Arif Nasution,SH, S.Ag, MA, Ph.D dalam temu pers di sekretariat DPC Partai Gerindra Mandailing Natal, Panyabungan, Senin (1/7).
“Semuanya ditransaksi, semuanya dinilai dengan uang. You beri apa, aku beri apa. Untuk sesuatu komitmen tanpa uang, maka itu tak akan terwujud,” katanya.
Menurutnya, budaya transaksional terwujud dalam beberapa hal. Misalnya, ketika orang akan menjadi presiden maka dia akan membayar partai politik. Termasuk calon gubernur, bupati, walikota. Padahal budaya transaksi ini menurut perundang-undangan tidak disepakati.
Transaksi ini berlanjut sampai kepada rakyat, sehingga rakyat diajak bertransaksi. Transaksi inilah yang berbahaya karena menyebabkan biaya yang tinggi pada pilkada.
Dampaknya, 296 bupati/walikota dari 500 lebih bupati dan walikota di seluruh Indonesia dipenjara karena persoalan hukum. Praktis 50 persen lebih mereka dipenjara.
“Dalam sebuah penelitian kami, untuk maju sebagai bupati atau walikota dibutuhkan sekitar 25 hingga 50 milyar. Ini konkrit, ini data,” bebernya.
System politik yang terbangun dengan transaksional ini memunculkan tokoh-tokoh berduit namun tak memiliki kompetensi kepemimpinan.
“Penyakit kedua budaya oligarki. Oligarki kekuasaan, turun temurun. Ini sudah kita lihat ketika SBY menyatakan tidak menginginkan monarki, dia mengkritik Sri Sultan, ternyata SBY memelihara itu hari ini, apa itu, ketika bicara konteks politik nasional, apa itu, tidak ada satu partai politik di dunia ini yang ketua umumnya itu ayahnya, sekjen-nya anaknya,” ungkap mantan anggota DPRD Madina ini.
Menurutnya, kondisi rakyat yang begitu marah kepada SBY selaku kepala negara, karena SBY dinilai gagal meneruskan apa yang dibuat Soekarno, Soeharto, BJ Habibi, Gus Dur dan Megawati.
Di tangan SBY, Indonesia menjadi negara yang konotasinya auto pilot, negara yang tanpa ada sopirnya pun tetap berjalan. Ini dinilainya berbahaya.
“Kenapa dibilang oligarki? Dia bicara bagaimana menteri untuk tidak berpolitik ketika di sidang kabinet. Tetapi pada sisi lain semua dirampok kembali sehingga jabatan sekjen, jabatan ketua umum, jabatan bendahara dikasih ke lingkungan keluarganya. Ini potret buram. Maka apapun ceritanya, Partai Demokrat sebagai pengusung presiden, orang melihat bahwa Indonesia sekarang makin suram di mata dunia,” sebut Razman.
Kondisi ini juga mejalar pada tataran penyaringan calon legislatif Partai Demokrat, dimana menurut Razman luar biasa nepotismenya. SBY selama ini dinilai sosok demokratis, bicaranya santun, tapi sekarang justru kebablasan.
“Penyakit ketiga,feodalisme. Feodalisme ini gayanya seperti Belanda, orang tidak lagi berfikir bagaimana memberikan kekuasaan kepada rakyat. Di dalam hati pemimpin itu harus ada rakyat, bukan di hati rakyat harus ada pemimpin,” lanjutnya.
Buktinya, kata Razman, ketika SBY dan Menteri SDM diberitahu harus ada upaya hemat BBM, keinginan menjadikan pemerintahan yang baik, keinginan hidup sederhana, keinginan memperkuat basis ekonomi kerakyatan, toh, pada saat yang bersamaan bupati dan walikota dalam prilakunya sehari-hari menggunakan 3 hingga 4 porades setiap hari.
“Ini pemborosan. Ini kotra produktif dengan yang didengung-dengungkan selama ini. Bahwa mereka bukan pada konteks pelayanan, tetapi dilayani,” katanya.
Peliput/editor: Dahlan Batubara
Olo mada baya e……