Oleh: Devita Deandra
Pemerhati Kebijakan
Baru-baru ini. Pemerintah Republik Indonesia menyatakan, kebijakan penghentian ekspor batu bara ke sejumlah negara adalah upaya dalam menjaga kepentingan rakyat di dalam negeri. Krisis batu bara internasional yang sedang terjadi, membuat pemerintah harus mengamankan ketersediaan batu bara untuk kebutuhan rakyat. Pemerintah memutuskan untuk melarang seluruh perusahaan pertambangan batu bara untuk melakukan ekspor batu bara mulai 1 Januari hingga 31 Januari 2022. Kebijakan yang tertuang dalam surat edaran Dirjen Minerba Kementrian ESDM dan SDA yang terbit pada 31 Desember 2021 lalu, dikatakan oleh Deputi I Staf Kepresidenan, Febri Calvin pada kamis pagi adalah bentuk keberpihakan pemerintah terhadap rakyat (cnnindonesia.com, 06/01/2022).
Hal ini mengacu pada kebutuhan batu bara seluruh dunia akibat krisis batu bara yang terjadi. Oleh karena itu, pemerintah memutuskan untuk mengamankan sumber daya batu bara yang ada guna ketersediaan dan kepentingan dalam negeri, seperti keamanan pasokan listrik.
Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) bereaksi keras atas keputusan pemerintah. Menurut mereka, keputusan tersebut akan mengganggu volume produksi batu bara nasional sebesar 38-40 juta ton per bulan. Selain itu, pemerintah juga akan kehilangan devisa hasil ekspor batu bara sebesar kurang lebih 3 miliar dollar AS per bulan. Hal yang tak kalah penting, keputusan tersebut menciptakan ketidakpastian usaha sehingga berpotensi menurunkan minat investasi di sektor pertambangan mineral dan batu bara (kompas.com, 05/01/2022).
Sungguh mengejutkan Indonesia termasuk negara penghasil batu bara terbesar, mengalami krisis sumber energi bagi negerinya sendiri. Memang mengejutkan, namun ketika kita menyadari bahwa semua ini bermula dari sumber daya alam yang di kuasai swasta maka tidak aneh, ketika negeri ini pun harus menghadapi krisis. Sebab, inilah akibat dari tata kelola sumber energi yang diserahkan kepada swasta dan korporasi, alhasil negara sendiri tidak mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri. Ini semua adalah buah dari penerapan sistem kapitalisme sekuler. Yang mana aturan dalam sistem inilah yang menjadikan individu atau swasta bebas memiliki sumber energi asalkan punya modal untuk mengelolanya.
Parahnya, itu semua didukung oleh negara, negara memang memfasilitasi sehingga para kapital itu bisa dengan mudah memiliki sumber daya alam ataupun sumber daya energi secara ugal-ugalan, alhasil potensi sumber daya alam berkualitas dan melimpah ruah yang ada di negeri ini tidak bisa memberi manfaat yang signifikan terhadap kesejahteraan rakyatnya. Rakyat kecil tetap saja menjadi yang paling dirugikan akibat sumber daya alam yang salah kelola. Alih-alih mendapat energi gratis dari negara, mendapatkan energi yang murah dan mudah saja sulit terlaksana.
Padahal sumber energi tersebut adalah hak atas setiap umat, negara seharusnya mampu mengelolanya dengan benar dan di peruntukkan oleh rakyat banyak. Kalaulah negeri menggunakan paradigma yang benar mengenai pengurusan sumber daya alam.
Sebab, selagi paradigma yang diterapkan masih kapitalis dengan dominasi swasta dalam pengelolaan sumber daya alamnya, maka ancaman krisis energi tak akan mampu teratasi dengan baik dan benar. Alih-alih mengutamakan pemenuhan kebutuhan rakyat, hal yang ada adalah pengabaian kebutuhan rakyat karena tidak akan memberikan keuntungan apa pun bagi pihak swasta. Rakyat hanya sebagai penonton melimpahnya sumber daya alam, realitasnya jangankan menjadi penikmat justru rakyat tak ubahnya sumber pendapatan pajak. Baik listrik, air dan tanah lapang, padahal itu semua adalah harta kepemilikan umum. Yang itu tidak boleh di mikili individu/swasta.
Sebagaimana sabda Nabi Saw. Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api”. (HR. Abu Dawud dan Ahmad). Hadits tersebut menyatakan bahwa kaum Muslim (manusia) berserikat dalam air, padang rumput, dan api. Dan bahwa ketiganya tidak boleh dimiliki oleh individu.
Namun dalam sistem kapitalisme ini, siapa pun yang memiliki modal boleh memeliki sumber-sumber tersebut. Sungguh jauh berbeda dengan Islam. Kapitalisme hanya menguntungkan pemilik modal, sedang Islam mengutamakan kemaslahatan.
Dalam kitab Al-Mughni, Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi menjelaskan bahwa bahan-bahan galian tambang (hasil usaha pertambangan) yang didambakan dan dimanfaatkan oleh manusia tanpa banyak biaya, seperti halnya garam, air, belerang, gas, mumia (semacam obat), petroleum, intan dan lain-lain, tidak boleh dipertahankan (hak kepemilikan individualnya).
Bahan-bahan tersebut menjadi milik seluruh kaum Muslim. Akan merugikan kemaslahatan mereka apabila dimiliki oleh segelintir orang. Dengan kata lain, bahan galian tambang tersebut harus dikelola oleh negara atau pemerintah. Sementara hasilnya dikembalikan untuk kemaslahatan umum.
Maka jelasnya yang salah hari ini adalah tata kelola, bukan sumber energi yang kurang, jika negeri ini mau kembali kepada aturan Islam, tentu sumber daya alam yang melimpah ruah itu akan menjadikan negeri ini kaya akan sumber energi, rakyat juga tidak akan terbebani dengan pajak listrik setiap bulannya, sebab negara akan memberikan itu semua sebagai sikap mengurusan negara terhadap kebutuhan rakyatnya. Dengan mengutamakan kebutuhan dalam negeri, bukan mengutamakan pihak swasta untuk dikirim ke luar negeri dan menghasilkan pundi-pundi yang mereka nikmati sendiri. Wallahu A’lam